Indonesia memiliki target untuk memproduksi 14 juta unit kendaraan listrik di tahun 2035. Pemerintah optimis bahwa 80 persen bahan baku kendaraan listrik sudah ada di Tanah Air. Adanya kendaraan listrik di dalam negeri juga menjadi usaha pemerintah Indonesia mengurangi emisi gas karbon.
Bahlil Lahadalia selaku Kepala BKPM pada akhir Desember 2020 lalu, menerangkan bahwa Indonesia makmur akan mineral nikel. Tidak heran, pemerintah berfokus untuk memproduksi baterai lithium kendaraan listrik dengan menarik banyak investor lokal dan asing untuk bahu-membahu menanamkan modalnya pada industri nikel.
Industri baterai global berkontribusi besar, karena 40 sampai 50 persen komponen mobil listrik adalah baterai. "Baterai listrik ini kompenen utama mobil listrik, mencakup 40-50 persen dari total biaya mobil," ujar Bahlil.
Selain Bahlil, Menteri BUMN, Erick Thohir juga antusias dengan kehadiran kendaraan listrik. Sebagai bukti, awal tahun 2021 dirinya melakukan kunjungan ke Bali untuk melakukan pengecekan pada stasiun pengisian mobil listrik.
"Hari ini saya mencoba mengendarai mobil listrik dan mengecek kesiapan stasiun pengisian kendaraan listrik (charging station) di Bali. Mobil listrik ini sudah dicoba oleh tim PLN dari Jakarta ke Bali, yang apabila dengan BBM ongkosnya adalah Rp1,1 juta, maka dengan mobil listrik hanya Rp200.000. Hal ini tentunya sangat menghemat terutama di saat pandemi seperti ini," ujar Menteri BUMN, Erick Thohir, dalam rilisnya.
Kendaraan listrik juga mengeluarkan emisi yang rendah jika dibandingkan kendaraan BBM sehingga lebih ramah untuk lingkungan. Erick menambahkan mobil listrik menjadi cara untuk mengurangi pindahnya devisa ke luar negeri karena impor BBM. Saat ini nilainya mencapai 1,5 juta barel per hari atau setara Rp200 triliun per tahun.
Di balik keistimewaannya, kendaraan listrik juga memiliki resiko. Hal ini dijelaskan oleh CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus. Dalam memproduksi satu baterai mobil listrik, tailing atau limbah yang dihasilkan sebesar 1,8 ton.
Prinsip hilirisasi wajib selalu dilakukan karena etos yang pertama adalah berkelanjutan serta dapat mengatur cadangan nikel. Semua itu karena baterai mobil listrik merupakan produk hasil hilirisasi. "Artinya dengan cadangan (nikel) 1 miliar ton yang terbukti, harus hitung berapa per tahun yang bisa dieksplorasi. Kedua, lingkungan juga harus perhatikan, ketiga keekonomian," ujar Alex.
Peluang besar ini berdampak bagi perekonomian Indonesia. Tidak main-main dalam memproduksi kendaraan listrik di waktu yang mendatang, apakah kita sudah siap memberikan dukungan penuh kepada target pemerintah ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H