Akhirnya membuat review juga. Sebenarnya banyak film yang aku tonton, dari berbagai genre, tapi untuk membuat review, aku memang selalu pilih-pilih. Biasanya film dengan amanat yang kuat dan tentunya membekas di hatiku, langsung deh buat review. Jadi aku dari dulu sangat tertarik dengan kesetaraan gender, tapi jujur rada gak setuju seratus persen sih. Apalagi adanya gerakan emansipasi wanita atau feminisme, oh lupakan.
Adapun identitasnya:
Judul film       : Kim Ji-young, Born 1982
Sutradara       : Kim Do Young
Durasi          : 1 jam 58 menit
Tanggal rilis     : 20 November 2019
Pemain utama  : Kim Yu Mi sebagai Kim Ji-young
                 Gong Yoo sebagai Jung Dae-Hyun
Bercerita tentang seorang wanita yang memiliki keluarga kecil, bernama Kim Ji-young. Ia keluar dari pekerjaannnya setelah melahirkan dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun, selama menjadi ibu rumah tangga, ia merasa tidak bahagia. Ia hanya disibukkan dengan urusan rumah dan anak, lalu menunggu suami pulang. Diperparah dengan keluarga suaminya yang berpandangan jika istri harus melayani suaminya dengan baik. Puncaknya, ketika ia lelah dengan kondisinya tiba-tiba ia berubah menjadi orang lain (pribadinya). Pernah ia menjadi neneknya, mertuanya, suaminya (kalo ini lupa bener gaknya).
Jujur saja, aku suka banget dengan film ini. Sebenarnya udah lama mau nonton, tapi karena takut baper kalo nonton berbau korea, jadi baru sekarang deh. Aku suka pemainnya, Kim Yu Min (dia kayak orang Jepang gak sih?), suka juga sama Gong Yoo, yang entah kenapa aku baper gitu lihat dia berperan jadi suami, cocok banget (ya memang seharusnya dia udah nikah, woi). Kemistrinya dapat banget, ya mungkin karena ini kali ketiga mereka main bareng (Silenced, Train to Busan, dan 2018 sampai digosipkan mereka bakal nikah, dan gue setuju banget, udah!!).
Film korea Kim Ji-young, Born 1982, penayangannya memang menimbulkan kontroversi karena mengangkat isu gender di Korea Selatan. Tidak sedikit yang menolak film ini, khususnya para pria. Mereka beranggapan film ini telah memberikan pandangan jika pria adalah kaum penindas. Wanita mengalami kungkungan kebebasan karena suami atau ayah mereka. Diperparah dengan budaya Korea Selatan yang memang mengutamakan laki-laki daripada wanita dalam lini kehidupan.Â
Tidak hanya Korea Selatan, banyak negara yang menganggap wanita memang harus di bawah laki-laki. Baik atas dasar budaya ataupun agama. Semakin berkembangnya zaman, timbullah gerakan yang menginginkan wanita sejajar dengan laki-laki dalam segala lini. Mereka menyebut gerakan feminis.
Jujur saja, aku gak setuju sih dengan gerakan feminis. Mungkin karena praktiknya yang menyalahi aturan. Seorang feminis sangat bersikukuh untuk sejajar dengan kaum laki-laki, bolehlah seorang wanita melakukan pekerjaan laki-laki, seperti menjadi pemimpin perusahaan. Namun ketika ia disuruh bekerja menjadi kuli bangunan, mereka protes dengan dalih kodrat wanita yang lemah. Atau membolehkan menentang pendapat suami secara terang-terangan, bahkan menggunakan kekerasan. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya tidak salah jika seorang wanita menginginkan kesetaraan, asalkan tidak lupa dengan kodratnya sebagai wanita. Kita lihat Khadijah istri Rasul, yang memiliki kekayaan melimpah, namun tidak semena-mena dengan suaminya. Atau Fatimah yang ikut perang bertugas di bagian medis, tapi ia tetaplah wanita yang kelak akan menikah.
Seperti di film ini, Kim Ji-young sadar akan kodratnya dan mencari cara lain untuknya bebas bekerja, yaitu dengan menjadi seorang penulis. Lihat, ternyata banyak hal lain yang dapat dilakukan agar seorang wanita bisa 'bebas'. Apalagi di era teknologi seperti saat ini, Â dimudahkan berkreasi tanpa harus melupakan kodratnya sebagai wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H