1.Indah Budi Sulistiyowati
30302200128
2.Sinta Nur Alfiyani
30302200259
Abstract
 Community Customary Law that live in communities in various regions in Indonesia, including in Maluku Province is a reality that is often ignored and marginalized in development primarily for the acquisition and utilization of natural resources which become the foundation of life is poverty implications. In order to maintain their rights over natural resources and use them properly, then the Government should give a fair treatment and opportunity for customary law community to be involved in determining the utilization of natural resources under their control at territory, as well as with private parties who obtain permission management natural resources customary law community concerned, to provide support in ways that can improve people's welfare.Â
A. Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Sumber daya alam mineral, gas, minyak,batu bara emas, sumber daya hutan, sumber daya pesisir dan laut yang terdapat hampir merata di seluruh Indonesia, merupakan pemberian Tuhan yang sangat bernilai kepada rakyat dan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, ungkapan bahwa Indonesia seperti untaian zamrud di khatulistiwa, atau kolam susu di wilayah nusantara, merupakan ekspresi yang mengambarkan keindahan dan kekayaan alam negeri tercinta ini.
Kekayaan sumber daya alam dipahami sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi, demi peningkatan pendapatan dan devisa Negara, maka pemanfaatan sumber daya alam dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keadilan,demokrasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Implikasi yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumber daya alam 2 yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan namun pasti akan menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya alam.
Pada sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa Negara, juga menimbulkan implikasi sosial budaya yang cukup memprihatinkan. Banyak konflik mengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah atau pihak swasta pemegang konsesi hutan maupun kuasa pertambangan atau izin-izin lainnya yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Implikasi lain yang mengiringinya adalah kemiskinan yang mewarnai kehidupan masyarakat hukum adat di lokasi dimana berlangsung kegiatan --kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, yang pada akhirnya berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat hukum adat terjadi mengiringi praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam selama beberapa dekade terakhir ini. Apabila dicermati secara substansial,sesungguhnya persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana diuraikan di atas bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, berpusat pada negara, menggunakan pendekatan sektoral, dan mengabaikan hakhak asasi manusia. Paradigma ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat, serta mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Pemerintah dalam berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam, selalu berpegang pada konsep yuridis Pasal 33 (ayat 3) Undang-Undang dasar 1945, bahwa bumi, air , dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan berpedoman pada konsep yuridis ini, maka pemerintah dengan dalih pertumbuhan 3 ekonomi dan demi kemakmuran rakyat, kemudian memberikan berbagai izin yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam baik di darat maupun pesisir laut, sebagaimana dijelaskan di atas, tanpa mempertimbangkan secara matang dampak negatif yang dialami oleh masyarakat, terutama masyarakat hukum adat yang mendiami tempat dimana praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam itu dilakukan, serta mengabaikan eksistensi masyarakat hukum adat beserta hakhaknya atas sumber daya alam.
Masalah hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam baik sumber daya alam laut maupun darat sudah menjadi perhatian dan bahkan sudah menjadi bahan pembicaraan yang serius di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena beberapa dasawarsa terakhir ini, hak-hak mayarakat hukum adat atas sumber daya alam hutan dan laut selalu menjadi incaran dan sasaran eksploitasi para investor yang didukung oleh pemerintah dengan memberikan izin konsesi maupun izin pengelolaan lainnya. Jika secara terus menerus eksploitasi ini dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan eksistensi masyarakat hukum adat serta hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat hukum adat dapat mempertahankan eksistensinya serta hak-haknya atas sumber daya alam yang secara de facto maupun de yure telah diakui melalui berbagai instrument hukum.
Secara de facto, jauh sebelum Negara Republi Indonesia ini berdiri, telah hidup bermacam-macam masyarakat hukum adat dalam komunitas-komunitas yang tersebar di seantero nusantara. De yure, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat kini telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
B.Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Pengakuan Terhadap hak-haknya
Indonesia sebagai bangsa menuliskan sesanti Bhineka Tunggal Ika, berbedabeda suku, agama, ras dan golongan namun bersatu dalam satu kesatuan Negara sejak 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai landasan filosofisnya. Sebelum Indonesia merdeka berbagai masyarakat yang berdiam di berbagai komunitas baik di 4 kepulauan besar maupun kecil itu, hidup menurut hukum adatnya masing-masing, sehingga Van Volenhoven membagi- bagi masyarakat Indonesia ke dalam 19 lingkungan Hukum Adat ( adat rechtkringen).
Sementara dalam Penjelasan UUD 1945, dinyatakan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelf besturende land schappen dan volksgemeen shappen, seperti Desa di jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah- daerah mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat diaggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kemudian dinyatakan pula "Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal usul daerah.
Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut aspek teoritis dan aspek yuridis.
1).Aspek teoritis
Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan hukum atau untuk mudahnya disebut saja masyarakat hukum adat yaitu: "......gerombolan-gerombolan yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud.
Hazairin (dalam Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasar hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahanya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Ada 4 (empat) faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu:
1). Adanyasatu kesatuan manusia yang eratur,
2). Menetap di suatu daerah tertentu; Â
3). mempunyaipenguasa; dan
4). mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud,
Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para angota itu mempunyai pikiran atau kecederungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.
Ciri-ciri dan model sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin di atas sudah sejak lama dikenal di Propinsi Maluku dengan ukuran dan nama yang beragam. Kesatuan masyarakat hukum adat ini dari dahulu eksistensinya sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam.
R.Z Titahelu (2003), menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat hukum adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial, ekonomi maupun budaya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu,ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu:
Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat
Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan masyarakat itu
Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang social, politik, budaya maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.
Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat) dimana mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi 6 maupun budaya secara teratur dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat.
2).Aspek Yuridis
Â
Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya di Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sangat beragam dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah juga berbeda-beda.
Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal 3: "Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat , sepanjang kenyataanya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi". Dengan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat memang diakui, tetapi dengan pembatasan tertentu mengenai eksistensinya yakni bila sepanjang kenyataannya masih ada, dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat limitatif.
UUPA sendiri tidak menjelaskan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht sebagaimana dipahami dalam kepustakaan hukum adat. suatu beschikkingsrecht meliputi berbagai kewenangan seperti mengambil hasil-hasil alam dari hutan atau air, berburu hewan-hewan liar, mengambil dan memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan seizin kepala masyarakat hukum adat (lihat Ter Haar)
Dalam era reformasi yang diawali pada tahun 1998, perkembangan adopsi pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak adatnya secara formal dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti berikut:
1. Undang-undang Dasar1945 Perubahan kedua (tahun 2000).
- Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
- Pasal 28 I ayat (3) menyebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.
- Pasal 32 yang menyatakan: " setiap orang berhak mempunyai hak milk pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil sewenang-wenang.
- Pasal 41 menyebutkan "Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hakhak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. TAP MPR ii kemudian telah diterjemahkan ke dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
3. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
- Pasal 1 huruf f: "Hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat"
- Pasal 4 Ayat (3): "Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepetingan nasional".
- Pasal 5 ayat (1); "Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan Negara dan (b) hutan hak 8
- Pasal 5 Ayat (2):" hutan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat"
- Pasal 67 Ayat (1): "Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak atas:
(a) pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarat adat yang berangkutan;
(b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
UU Nomor 41 tahun 1999 (UUK), jika dikaitkan dengan UUPA terlihat perbedaan konsepsi. Dalam konsepsi hukum tanah nasional , dikenal 3 (tiga) entitas berkenaan dengan status tanah, yakni tanah Negara, tanah hak dan tanah ulayat, sedangkan dalam konsep hukum kehutanan, hanya dikenal 2 (dua) status hutan, yakni hutan negara dan hutan hak. Soemarjono (2008) memberikan catatan tentang hal ini, bahwa ruang lingkup bidang pertanahan adalah pengaturan tentang penguasaan tanah, sedangkan ruang lingkup bidang kehutanan adalah pada pemanfaatan hutan. Lebih lanjut. Soemarjono menegaskan bahwa dalam konsep hukum tanah nasional, pembicaraan tentang hak ulayat tidak hanya mengenai status tanahnya saja, melainkan juga meliputi isinya, termasuk di dalamnya hutan (ulayat). Dengan demikian, jika hak ulayat terbukti memang masih eksis dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu, maka apa bila di atas tanah ulayat itu terdapat juga hutan, hutan itu termasuk ruang lingkup hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
UUK menganut persepsi yang berbeda tentang hak ulayat. Jika dalam hukum tanah Nasional hak ulayat disikapi sebagai hak atas tanah termasuk segala isinya (termasuk hutan), maka dalam konsepsi kehutanan,status hutan hanya dibagi menjadi hutan Negara dan hutan hak. Dengan kata lain, hutan adat (menurut catatan Soemarjono, UUK tidak menyebut hutan ulayat) dimasukkan dalam kategori hutan Negara. Konsekuensinya ialah, UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat disamping hutan Negara dan hutan hak. Hal ini dapat disimpulkan dari 9 pengertian hutan adat (ketentuan umum butir 6) bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan hutan Negara (Ketentuan Umum butir 4) didefinisikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Konsekuensi dari ketentuan ini adalah, kalaupun masyarakat itu dinyatakan masih ada , maka kegiatan pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan ini menjadi kegiatan di atas hutan Negara dan bukan di atas hutan ulayatnya, karena sesuai dengan definisinya, bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Penafian keberadaan hutan ulayat inilah yang kemudian dalam praktek pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang dirasakan tidak adil dan tentu saja kemudian menimbulkan konflik diantara masyarakat hukum adat dengan para pemegang hak penguasaan hutan (HPH), perkebunan besar, hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHPI) yang memperoleh izin sah dari pemerintah.
4. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
- Pasal 6 Ayat (2): " Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan peran serta masyarakat"
5. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- Pasal 18, HP-3 dapat diberikan kepada:
a. Orang perseorangan warga Negara Indonesia ,
b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau
c. Masyarakat adat
- Pasal 21 Ayat (4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a) memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
b) mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan/masyarat local; 10
c) memperhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan akses ke sepadan pantai dan muara sungai
- Pasal 61 Ayat (1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan local atas wilayah pesisir dan pulai-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun. Ayat (2) Pengakuan hak-hak Masyarakat adat, masyarakat tradisional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil yang berkelanjutan. Pada dimensi daerah pengakuan dan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dapat di lihat misalnya pada:
1. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak No 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Hukum Baduy.
2. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nunukan No.3/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan Perda Kabupaten Nunukan No 4/2004 tentang hak Ulayat Masyarakat hukum adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
3. Peraturan Daerah Provinsi Maluku No.3/2008 tentang Wilayah Petuanan
C. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Mempertahankan Sumber Daya Alam Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial Recognation).
terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya melalui berbagai peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan di atas, itu menandakan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-hak tradisional yang dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya. Selain itu sebagaimana disebutkan di atas bahwa eksistensi masyarakat hukum adat untuk hidup dalam corak budaya sendiri adalah merupakan kenyataan yang juga harus dihormati. 11 Dengan pengakuan itu maka mereka perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan eksistensi dan kulturnya. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat kiranya juga meliputi selain atas sumber-sumber daya alam yang menjadi lebensraumnya yaitu sumber-sumber kehidupan baik secara simbolis maupun realis, akan tetapi termasuk didalamnya pengakuan terhadap struktur organisasi pemerintahan adat setempat, mekanisme kerja, dan peraturan-peraturan serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan masyarakat setempat, karena tanpa pengakuan itu maka pengakuan terhadap hakhak masyarakat hukum adat hanya menjadi retorika politik belaka.
Di Propisi Maluku, sampai saat ini dijumpai kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang hidup didasarkan pada hukum adatnya dengan nama dan ukuran yang beragam. Melihat kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu realitas, yang kepadanya diberikan pengakuan dan penghormatan sehingga eksistensinya merupakan hak, maka menurut Titahelu (2005), hak sebagai suatu kesatuan masyarakat adat sebenarnya merupakan sesuatu yang ada dengan sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapan yang ada di dalam hukum Negara, baik konstitusi maupun perundang-undangan. Lebih lanjut Titahelu mengatakan bahwa isi atau content ini dapat ditentukan sejauh mana kesatuan masyarakat adat ini hendak diidentifikasi.
Hal ini dapat dlakukan berdasarkan apa yang dinyatakan oleh mereka yang menyebut diri sebagai masyarakat hukum adat itu sendiri. Jadi, pernyataan dalam konstitusi saat ini adalah suatu pengukuhan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan isi sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah suatu realita (sosicial reality) yang ditentukan oleh masyaraat hukum adat itu sendiri berdasarkan prinsip cultural self identification. Oleh karena itu proses memperoleh pengetahuan tentang kesatuan masyarakat hukum adat itu harus dapat diperoleh langsung dari kesatuan masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai masyarakat hukum adat.
Masalahnya sekarang adalah, apakah masyarakat hukum adat yang secara normatif maupun empirik diberikan ruang untuk mempetahankan apa yang menjadi 12 hak-haknya atas sumber daya alam dan hak-hak tradisional lainnya, dan lebih dari sekedar mempertahankan hak-haknya itu, apakah masyarakat hukum adat dapat menggunakan hak-haknya itu? Hal ini menjadi penting untuk dikemukakan karena dari berbagai pengalaman dapat dilihat bahwa masyarakat hukum adat, maupun individu yang ada di dalamnya sebagai suatu realitas seringkali diabaikan dan dipinggirkan. Agar supaya masyarakat hukum adat dapat mempertahankan dan menggunakan hak atas sumber daya alamnya dengan baik, maka Pemerintah (Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota) harus memberikan perlakuan yang adil dan memberikan kesempatan sehingga mereka dapat menyusun program dan kegiatan yang menghasilkan sesuatu secara luas, melampaui cara hidup subsisten. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa setidaknya ada sejumlah hak yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat ,yakni adanya hak millik baik individu (hak milik) maupun kolektif (hak ulayat, hak petuanan) atas tanah dan sumber daya alam lainnya termasuk air, sungai, hutan, hewan, laut dan pesisir dan sebagainya. Agar kesatuan masyarakat hukum adat secara individu ataupun secara keseluruhan dapat berperan dalam mempertahankan dan menggunakan hak-haknya atas sumber daya alam untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik, maka hak untuk hidup sehat agar dapat bekerja, hak untuk memiliki lingkungan yang mampu menghasilkan kebutuan hidup, hak untuk menentukan dapat tidaknya pihak lain (investor) melakukan pengelolaan sumber daya alam di dalam wilayah yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan "persetujuan awal tanpa paksaan"(free and prior informed cosent), harus diberikan juga kepada mereka.
Dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan dapat tidaknya investor melakukan pengelolaan sumber daya alam, menurut Sumardjono, Pemerintah Daerah berperan penting dalam 2 (dua) hal. Pertama, dalam upaya menyeimbangkan kepentingan investor dan masyarakat hukum adat melalui upaya fasilitasi antara kedua pihak untuk mencapai musyawarah tentang bentuk dan isi kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak dan masyarakat luas. Kedua, dengan cara merancang kebijakan daerah yang memberikan keadilan, kepastian 13 hukum, kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pemerintah maupun pihak perusahaan memberikan dukungan melalui cara memberi fasilitas dalam proses produksi yang efisien, pelatihan, managemen, pemberian kredit, pemasaran dan lain-lain sepajang diperlukan oleh masing-masing masyarakat hukum adat. Perusahaan juga mempunyai kewajiban sosial untuk membantu masyarakat sekitar termasuk masyarakat hukum adat, baik dalam bentuk fisik (fasilitas pendidikan, ibadah, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya) maupun non fisik berupa beasiswa dan pemberian peluang untuk melakukan kerjasama/kemitraan. Dengan pengakuan, penghormatan terhadap masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas sumber daya alam bukan hanya sekedar retorika belaka tetapi benar-benar dapat diwujudkan untuk tujuan kesejahteraan.
Untuk itu dalam rangka mewujudkan tata pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang baik (good environment governance) serta mengakhiri praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam yang bercorak ekploitatis, sentralistik, sektoral, dan represif, maka Pemerintah dalam pembentukan undang-undang sumber daya alam perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Nurjaya (2008) antara lain sebagai berikut:
mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam;
 menggunakan paradigma pengelolaan suber daya alam yang berbasis masyarakat (community-based resource management);
menyediakan ruang bagi transparansi dan partisipasi public yang sejati (genuine public participation) sebgai wujud demokratis dalam pengelolaan sumber daya alam;
memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), terutama akses dan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
 menyerahkan wewenang pengelaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan prinsip desentralisasi (decentralization principle);
Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam kepada public (public accountability)
Pe n u t u p
Konflik demi konflik mengenai pengelolaan sumber daya alam akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak menyikapi secara arif. Untuk meminimalisir konflik yang muncul, maka perlu adanya prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan keadilan, demokratis dan berkelanjutan. Eksistensi masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas sumber daya alam adalah suatu realitas yang tidak dapat diabaikan dan dipinggirkan begitu saja baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, karena akibatnya adalah terjadi kemiskinan Oleh karena itu, masyarakat hukum adat dimanapun di Indonesia termasuk di Maluku perlu diberi kesempatan dan diberikan akses untuk dapat berperan lebih luas dalam upaya mensejahterakan kehidupan mereka dengan memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Dukungan pemerintah memegang peranan penting sebagai fasilitator, koordinator, dan pembuat kebijakan. Bagi pihak swasta yang diberikan hak dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah ulayat/petuanan masyarakat hukum adat, perlu juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut serta dalam kegiatan usaha, atau memberikan peluang melakukan kerjasama/kemitraan kepada masyarakat hukum adat, karena bagaimanapun juga perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial untuk membantu masyarakat di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nurjaya, I Nyoman, 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publiser, Jakarta.
Sumardjono,Maria.S.W, 2008, Tanah Dalam Perpektif Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Soekanto, Soejono, 2001, Hukum Adat Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ter Haar, Bzn , Poesponyoto Soebakti, 1981,
 Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta Titahelu,R.Z, 2005,
Hukum Adat Maluku Dalam Konteks Pluralisme Hukum, Implikasi Terhadap Managemen Sumber Daya Alam Maluku, disampaikan pada pengresmian penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum, Pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura,
Ambon ----------- 2005, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Hak Asasi Manusia: Pendekatan Analitis, Konseptual dan Fungsional, Ambon, Makalah, disampaikan dalam Kuliah Umum pada tanggal 3 September 2005, dalam rangka Pebukaan Tahun Akademik 2005/2006 Universitas Pattimura Ambon
https://fhukum.unpatti.ac.id/download/jurnal-paper/konstitusi/Jurnal%20Konstitusi%20Vol%20II%20No%201%20Juni%202010/Jenny%20M%20-%20EKSISTENSI%20MASYARAKAT%20HUKUM%20ADAT%20DALAM%20MEMPERTAHANKAN%20SUMBER%20DAYA%20ALAM.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H