Lima kode yang digunakan Barthes di sini adalah kode hermeneutik (penyajian sebuah teka-teki); kode semik (makna konotatif); kode simbolis; kode proairetik (logika tindakan); dan kode gnomik, atau budaya yang membangkitkan kumpulan pengetahuan tertentu.
Barthes juga percaya bahwa setiap tanda ideologis adalah sistem tanda Denotatif atau sistem tanda Konotatif. Sebuah tanda denotatif, yang merupakan sistem deskriptif yang ketat, adalah hasil dari gambar penanda dan konsep yang ditandai. Tanda konotatif adalah tanda yang telah kehilangan makna historisnya. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: perubahan budaya atau terminologi, suatu peristiwa, atau bahkan hanya evolusi.
Teori Semiotik adalah sebuah teori 'Interpretive' yang dapat diterapkan pada sebagian besar aspek kehidupan sehari-hari meskipun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Semiotika berkaitan dengan cara penerima informasi dapat menarik makna dari tanda-tanda yang melekat dalam informasi yang dikomunikasikan lebih lanjut berpendapat bahwa semiotika mengungkapkan peran manusia dalam konstruksi makna dan fakta bahwa makna tidak disampaikan kepada manusia, tetapi bahwa manusia terlibat secara aktif dalam mencatat bahwa semiotika sangat berharga jika tugasnya adalah melihat melampaui isi teks, ahli semiotika karena itu menekankan fungsi kata-kata dan hubungannya dengan yang lain kata-kata yang digunakan dalam narasi untuk membentuk makna (Barthes, 1977).
Semiotika Roland Barthes (dalam Sobur, 2003) yang menyebutkan bahwa terdapat dua tingkat pertandaan yaitu denotasi dan konotasi sebagai model sistematis dalam melakukan analisis secara semiotik tanda-tanda yang diterima. Tingkatan signifikansi pertama adalah denotasi yang terdiri dari penanda dan petanda. Kemudian pada tingkat kedua adalah konotasi. Denotasi dipahami sebagai makna harfiah atau sesungguhnya. Konotasi identik dengan proses pengikutsestaan ideologi dalam mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung. Signification pada tingkat ini dihubungkan dengan kondisi atau pengalaman pembaca sehingga melibatkan subjektivitasnya (Sunardi, 2004). Selain makna konotasi, signifikansi tahap kedua dalam sistem tanda yang dipaparkan adalah hadirnya mitos. Perspektif Barthes tentang mitos inilah yang membuka ranah baru dunia semiologi, yaitu penggalian lebih jauh dari penanda untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi. Barthes (dalam Sobur, 2003: 208) mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi. Dalam semiotika pembaca digambarkan sebagai penerima karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa terjadi proses yang sama tetapi ada perbedaannya, yaitu bahwa setelah penanda dan petanda ini menyatu, yang muncul adalah tahap kedua yang berupa perluasan bentuk. Penanda pada tahap kedua ini menjadi "ros". Penanda ini disebutnya metabahasa. Sebenarnya istilah denotasi dan konotasi telah lama dikenal. Jasa Barthes adalah memperlihatkan proses terjadinya kedua istilah tersebut sehingga menjadi jelas darimana datangnya perluasan makna itu. Dengan demikian, semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa pada tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebutnya metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang berisi penanda dan petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama disebutnya dengan istilah denotosi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Konotasi dan metabahasa adalah cermin yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda, di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar alam deskriptif. Sementara itu, konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utamanya bersifat sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisial atau ideologis secara umum.
Menurut Barthes, analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi, secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama, yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu. Untuk memberikan ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan pluralitas teks, ia mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasi akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain di sekitarnya, adalah sebuah leksia. Akan tetapi, sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang-kadang hanya berupa satu-dua patah kata, kadang-kadang kelompok kata, kadang-kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, bergantung pada ke-"gampang"-annya (convenience) saja. Dimensinya bergantung pada kepekatan (density) dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan, baik pada tataran kontak pertama di antara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatarantataran pengorganisasian yang lebih tinggi.
A. Apa sih hubungannya laporan keuangan dalam semiotik?
Apabila dikaitkan atau hubungannya dengan pelaporan keuangan simbol, gambar, angka, atau narrative text yang ada dalam annual report bukanlah sekedar simbol melainkan memiliki makna dan sengaja didesain untuk menyampaikan pesan tertentu kepada audiensnya (stakeholder).Â
Contoh laporan keuangan simulacrum sebagai "citra" dalam arti konotatif Barthes adalah citra going concern dan good governance (Pujiningsih et al., 2018) dan citra keberlanjutan organisasi (Machintos et al., 2000). Contoh dari hiper-realitas adalah pendapatan manajemen adalah jika "pendapatan" tidak lagi mengacu pada pendapatan dan pengeluaran riil. Oleh karena itu, pendapatan Jenis data apa yang digunakan dalam penelitian semiotika? makna) tidak lagi mengacu pada fakta yang sebenarnya (McGoun et al., 2007). Berikut adalah persamaan makna mitis menurut Barthes dan hiper-realitas menurut Baudrillard. Data yang digunakan dalam penelitian semiotika adalah teks (Hoed, manajemen disebut hiper-realitas. "Penghasilan" ini hanyalah "model informasi" yang tidak tunduk pada dunia postmodernis. Kedok "ideologi" seperti yang dijelaskan oleh Barthes tentang "mitos" menjadi tidak valid (Callinicos, 2008).
Baudrillard membagi tiga tahap proses penandatanganan. Pertama, tanda merupakan cerminan dari realitas. Tahap kedua, tanda tutup dan penyerapan realitas, disebut simulacrum. Ketiga simulacrum tidak lagi mengacu pada realitas (Machintos et al., 2000). Menurut Baudrillard, tahapan tanda ada pada tabel di bawah ini.