Awalnya, tidak ada keinginan untuk mengenal mereka. Namun, karena mereka berada di sekitar suami dan suami tak keberatan dikelilingi mereka, mau tidak mau aku jadi mengenal mereka, Kawan-kawan Buruh yang tergabung di Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia atau disingkat SPBI. Sebagian besar anggota SPBI ini ibu-ibu, sisanya pemuda juga bapak-bapak.
Dua minggu sekali, mereka berkumpul di kantor organisasi, untuk belajar. Bukan untuk belajar matematika, pastinya. Melainkan belajar segala hal yang terkait dengan perjuangan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Mulai dari memahami undang-undang ketenagakerjaan, Â cara berkomunikasi, strategi menambah anggota baru, tahapan memperjuangkan hak mereka dan mempelajari beberapa kasus yang pernah ditangani SPBI berikut dengan penyelesaiannya.
Mereka belajar tentang sejarah, lalu belajar juga tentang bagaimana mengatur keuangan. Bagi SPBI, pengetahuan ini penting, mengingat pekerjaan yang dilakoni mereka rentan PHK.
Tak cukup sampai di situ, setahun sekali, mereka juga belajar bagaimana menyampaikan aspirasi di depan umum, seperti di depan gedung Disnaker, DPRD, atau di depan pabrik. Ya, mereka belajar demo. Mereka belajar orasi. Mereka diajari mengenal provokator yang bertujuan membuat demo jadi rusuh. Mereka diajari strategi dan sebagainya.
Itu semua berguna saat mereka dihadapkan dengan sebuah kasus di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja. Ya, nyaris di setiap pabrik tempat anggota SPBI bekerja, pasti ada kasus.
Namun, dari sekian banyak kasus, ada 1 kasus yang paling aku ingat.
Kawan buruh itu divonis mengidap kanker. Ia sengaja bertahan bekerja sampai tiba masa pensiun agar mendapatkan pesangon. Pesangon bagi buruh yang pensiun, menurut undang-undang, nominalnya cukup besar. Rencananya, pesangon itu akan ia gunakan untuk berobat. Ia sadar, pengobatan untuk penyakit yang dideritanya itu tidak murah.
Pabrik mau memberikannya. Namun, nominalnya tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jika saja selisih antara nominal pesangon sesuai undang-undang dengan nominal pesangon yang diberikan pabrik sedikit, kawan buruh itu tidak keberatan. Sayangnya, selisihnya banyak, jadi kawan buruh itu memilih untuk meminta bantuan organisasi.
Alhamdulillah, tidak sampai turun ke jalan. Organisasi berhasil membantu kawan buruh itu mendapatkan haknya.
Beberapa kali, aku pernah terlibat perbincangan di luar bahasan organisasi dengan beberapa Ibu-ibu anggota SPBI. Perbincangan kami seputar anak, juga mimpi-mimpi mereka akan masa depan anak mereka. Mereka berharap, bisa menyekolahkan anak sampai sarjana agar tak bernasib seperti mereka. Aku senang sekali mendengar ini. Lebih tepatnya, senang bercampur haru.
Ya, dari cerita mereka, pekerjaan mereka sebagai buruh tak mudah. Apalagi bekerja di bawah mandor yang sifatnya naudzubillah. Namun, demi keluarga, demi masa depan anak-anak mereka, mereka bertahan.