Mohon tunggu...
Indah Noor Ramadhani
Indah Noor Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - — 1999

—

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Esensial Pemenuhan Kebutuhan Seksual Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

29 Mei 2022   20:00 Diperbarui: 29 Mei 2022   20:02 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hak atas kebutuhan seksual terkait erat dengan hak-hak sipil mendasar yang dilindungi oleh aturan hak asasi manusia nasional dan internasional. Menyangkal bahwa narapidana memiliki kebutuhan biologis berarti pengingkaran kemanusiaan mereka. Berbagai penemuan tentang kegiatan pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan pemasyarakatan merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai perilaku seksual, termasuk masturbasi, gay, agresi seksual, dan perdagangan seks di penjara, telah didokumentasikan di lapangan. Kondisi ini diharapkan dapat memotivasi pemerintah untuk menangani kebutuhan seksual narapidana dengan pendekatan hukum yang humanis, misalnya dengan menetapkan Cuti Mengunjungi KeIuarga (CMK).

Pasal 14 UU Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 mengatur bahwa hak-hak narapidana harus dihormati. Akan tetapi, persyaratan biologis (seksual) narapidana yang sudah menikah tidak diatur secara ketat oleh peraturan ini. Kebutuhan akan reproduksi biologis (seksual) merupakan kebutuhan yang mendasar, sebanding dengan kebutuhan akan rezeki. Narapidana adalah manusia yang memiliki hak untuk terpenuhi kebutuhan biologisnya.

Penyediaan syarat-syarat hubungan intim antara narapidana dan pasangan hukumnya merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi, karena seorang narapidana hanya hilang hak atas kemerdekaannya saja. Sementara itu, hak-hak lain seperti kebutuhan biologis juga harus dipenuhi. Akan tetapi, tampaknya penyediaan fasilitas khusus bagi narapidana sulit untuk diterapkan dalam kebijakan. Kondisi ini dikarenakan lembaga pemasyarakatan di Indonesia terus bergumul dengan isu-isu tipikal seperti kepadatan penduduk dan uang yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para narapidana.

Kurangnya undang-undang atau pembatasan ketat yang menghormati hak-hak dasar narapidana yang sudah menikah untuk memenuhi tuntutan seksual mereka secara alami menciptakan kontroversi dan komplikasi di dalam penjara. Salah satu kejadiannya adalah terbentuknya fenomena epidemiologi yang melibatkan peningkatan dan perkembangan perilaku penyimpangan seksual.

Beberapa contoh temuan penelitian dari banyak penjara di berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan prevalensi gejala penyimpangan perilaku seksual. Berdasarkan temuan penelitian Ade Gunawati Sandi dkk pada 4 Mei 2013 dengan memeriksa kepala rutan KIas II, A Way Hui, Bandar Lampung, 60% dari 20 tahanan pernah melakukan aktivitas seksual, terutama masturbasi. Kondisi ini  menunjukkan bahwa mereka masih memiliki gairah seksual. Sebagian besar narapidana yang melakukan masturbasi menjalani hukuman tiga hingga empat tahun. Selain itu, Ingrid Weddy Viva Febrya dan EImirawati melakukan penelitian pada Maret 2018 di LPP KIas IIA Pekanbaru, penjara bagi perempuan pelanggar hukum. Sekarang ada 302 wanita di penjara, apakah mereka telah dihukum atau tidak. Berdasarkan temuan wawancara dengan Ketua LPP KIas IIA Pekanbaru diketahui ada sekitar 50 narapidana perempuan yang memiliki kecenderungan Iesbian, baik yang diakui maupun yang diamati berdasarkan perilakunya.

Selain kelainan perilaku seksual narapidana di atas, ada persoalan lain yang terkait dengan pemenuhan permintaan biologis (seksual) ini, khususnya kerentanan terhadap praktik suap atas permintaan fasiIitas biIik asmara. Dalam pemeriksaan saksi terhadap terdakwa Wahid Husein (mantan Ketua KPK Sukamiskin) di Pengadilan Tipikor Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Rabu 12 Desember 2018, terungkap praktik suap fasilitas biIik asmara oleh salah satu narapidana di Lapas Sukamiskin, seperti dilansir Kompas.com pada 13 Desember 2018. Adapan biIik asmara dimaksudkan yakni berukuran 2x3 meter persegi serta hanya dilengkapi dengan tempat tidur dan dapat disewa dengan harga Rp 650.000 per individu sekali pakai. Di ssi lain,  keberadaan biIik asmara di penjara dapat merangsang pembentukan prostitusi bawah tanah, yang dapat digunakan oleh narapidana yang sudah menikah dan belum menikah untuk memenuhi tuntutan seksual mereka.

OIeh karena keberadaan bilik asmara dianggap sebagai suatu sarana pemenuhan hak atas kebutuhan biologis (seksual), tidak diatur dalam pelaksanaannya maupun dilarang keras oleh ketentuan  perundang-undangan, maka mau tidak mau akan menjadi persoalan penting di beberapa titik. Kondisi ini disebabkan oleh fakta bahwa posisi kebutuhan biologis (seksual) dipandang sebagai hak fundamental yang esensial, serta harus dipenuhi, terutama bagi narapidana yang sudah menikah dan memiliki pasangan yang sah. Dengan kata lain, keberadaan fasilitas pemenuhan hak atas kebutuhan seksual ini harus diatur sedemikian rupa sehingga jika dilarang keberadaannya, maka harus diatur secara tegas. Sebaiknya, jika kebijakan tersebut memang diperbolehkan, maka harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut.

EsensiaI dari pendekatan hukum yang mempertimbangkan kehidupan seksual narapidana secara nyata. Sebagai pemenuhan hak asasi manusia mendasar, maka diperlukan struktur hukum humanis yang melingkupi kehidupan seksual narapidana. Ada dua hal penting dalam pemenuhan tuntutan seksual narapidana di lembaga pemasyarakatan:

  • Bagaimana impIementasi pemenuhan hak atas kebutuhan seksuaI bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?
  • Bagaimana esensiaI kebijakan pemenuhan hak atas kebutuhan seksuaI bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

PeIaksanaan Pemenuhan Hak Atas Kebutuhan SeksuaI bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

1. Pemberian kesempatan kepada napi untuk melakukan hubungan seks

ConjugaI visit mengacu pada kunjungan ke penjara ketika seorang narapidana diizinkan untuk menghabiskan beberapa jam atau hari secara pribadi dengan tamu, seringkali istri/suami atau pasangan mereka, di kamar yang telah disediakan. Kesempatan ini memungkinkan narapidana untuk terlibat dalam aktivitas seksual, dan kunjungan semacam itu dapat mempertahankan hubungan keluarga serta meningkatkan kemungkinan transisi yang sukses ke kehidupan di luar tembok penjara. Bagi narapidana, hak pemenuhan kebutuhan seksual dicabut, selain kebebasan bergerak, pembatasan kebutuhan juga dibatasi atau dicabut; maka menurut undang-undang tidak diperkenankan untuk akibat-akibatnya. Contohnya seperti seorang narapidana dengan istri yang sedang hamil divonis lima tahun penjara. Dengan demikian pasangan yang bersalah dapat mempertanyakan apakah itu anak saya atau bukan dan berdampak negatif.

2.  Sarana dan fasiIitas yang disediakan

Adanya conjugaI room adaIah saIah satu piIihan yang Iogis. Alternatif ini antara lain dapat mengakomodir kebutuhan narapidana, keluarganya, serta persoalan keamanan. Akan tetapi, fasilitas kamar conjugaI kemungkinan besar akan mengalami kesulitan karena dalam pelaksanaannya membutuhkan SDM yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan, serta lokasinya mesti memadai. Selain itu, meski kapasitas penjara sangat terbatas dan over kapasitas, penerapan ruang konjugasi ini sangat mahal serta sangat besar dalam konstruksi dan pemeliharaannya. Oleh karenanya, diperlukan kerjasama dari para tokoh agama, disertai dengan ketentuan untuk pelaksanaan konjugasi visi yang sampai saat ini belum ada norma yang ditetapkan.

3. Pemberian asimiIasi cuti mengunjungi keIuarga seIama 2x24 jam

Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pembetulan dan Tata Cara Pelaksanaannya, yang dituangkan dalam PP No. 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Narapidana di Lapas berupa kesempatan, mengatur pemenuhan cuti kunjungan keluarga 2x24 jam atau dua hari di rumah keluarga bagi narapidana yang telah memenuhi syarat, terutama pasangan suami istri. Jelas, ini berat untuk dilakukan, karena ada beberapa evaluasi dan minimal setengah dari waktu yang dibutuhkan di penjara untuk mendapatkan atau memenuhi standar. Oleh karenanya, narapidana harus menunggu cukup lama untuk memuaskan dorongan seksualnya. Memang, sistem pemberian cuti mengunjungi keluarga harus diselidiki lebih mendalam, dan pengaturan yang diberikan dapat dibuat lebih spesifik.

EsensiaI Kebijakan Pemenuhan Hak Atas Kebutuhan SeksuaI bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Pemerintah mengawasi pemenuhan tuntutan fisiologis narapidana, khususnya kebutuhan makanan mereka di lingkungan penjara. Akan tetapi, beberapa persyaratan fisiologis, seperti dorongan untuk seks, tidak diatur oleh hukum yang jelas atau ambigu. Dengan demikian, hak asasi narapidana untuk memuaskan hasrat seksualnya tetap tidak terpenuhi. Kondisi ini dikarenakan hasrat seksual adalah kebutuhan manusia yang normal yang harus dipenuhi oleh setiap manusia serta diyakini bahwa narapidana atau individu dapat melakukan penyimpangan seksual jika mereka kehilangan interaksi seksual. Hal ini adalah aspek buruk dari penjara di Indonesia, di mana fenomena epidemiologi yang mempromosikan perilaku menyimpang secara seksual tumbuh. Tingkat pelecehan seksual di tahanan adalah 7,5 kaIi lebih tinggi daripada di populasi umum; ini menunjukkan bahwa masalahnya hanya di puncak gunung es, yang mengarah pada kelebihan kapasitas dan sumber daya yang tidak memadai di penjara.

Pemenuhan kebutuhan biologis merupakan kebutuhan mendasar bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin. Akan tetapi, jika Anda dipenjara, keinginan ini mau tidak mau akan terganggu. Menurut Dr. Boyke, jika seorang pria kesulitan mengungkapkan hasrat seksualnya, hal itu bisa mengakibatkan penyimpangan seksual. Di Lapas, kasus penyimpangan seksual sering terjadi, seperti analisis seksual yang disebabkan oleh hambatan dalam saluran seks narapidana. Di penjara, hubungan sesama jenis telah berkembang luas. Kondisi ini berdampak bila narapidana menjadi korban kelainan seksual tersebut. Biasanya, korban kepuasan seksual di kalangan narapidana adalah individu yang masih sangat muda.

Terkait dengan mereka yang menjalani hukuman di Lapas. Jelas, tingkat proporsionalitas pembatas itu akan berbeda dengan orang yang tidak menjalani hukuman penjara. Hasrat seksual narapidana sebagai hak asasi manusia harus diatur oleh berbagai studi dan batasan yang memiliki pemahaman yang kuat pada institusi nilai komunitas dan tidak mengkompromikan nilai keadilan publik. Kondisi ini dikarenakan seorang tahanan tidak kehilangan apa pun kecuali hak atas kebebasan. Hak-hak lain, seperti terlibat dalam aktivitas seksual, juga harus dihormati.

KesimpuIan yang dapat ditarik daIam esensiaI pemenuhan kebutuhan hak seksuaI narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yakni :

  • Pelaksanaan hak narapidana untuk memenuhi tuntutan seksualnya tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dimana dalam pelaksanaannya tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai atau terdapat conjugaI room yang berkaitan dengan conjugaI visit  yang belum terlaksana dengan baik. Kondisi ini disebabkan berbagai kendala, seperti fasilitas yang kurang memadai serta kurangnya dukungan dan perhatian pemerintah.
  • Pemenuhan hak narapidana atas kebutuhan seksual sangat penting karena penjara di Indonesia terus berjuang melawan kepadatan, meskipun faktanya masalah ini jarang diakui. Kegagalan untuk memenuhi hak atas kebutuhan seksual akan berdampak parah pada narapidana itu sendiri, terutama pada laki-laki yang mengalami hambatan dalam mengekspresikan keinginan seksual mereka, yang dapat menyebabkan penyimpangan seksual. Oleh karena itu,  penjara harus diubah menjadi lebih inventif, atau undang-undang harus diubah, dengan bantuan Komnas HAM.

Adapun saran yang dapat diterapkan seperti :

  • Pemerintah Republik Indonesia mesti melakukan evaluasi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang berhubungan dengan penjara. Adanya kejadian atau penemuan narapidana yang melakukan perilaku menyimpang karena kurangnya fasilitas untuk memenuhi kebutuhan seksualnya harus segera ditanggulangi dengan menerapkan peraturan yang tepat.
  • Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat berinovasi sesuai dengan amanatnya, yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan seksual narapidana. Inovasi ini dapat melibatkan Komnas HAM atau lembaga lain yang dapat diminta untuk bekerja sama menyelesaikan masalah ini untuk mendapatkan solusi terbaik.
  • Bagi narapidana untuk menekan hasrat seksualnya. Kondisi ini akibat tidak dipenuhinya haknya sehingga melakukan hubungan seksual yang menyimpang.
  • Bagi pembuat undang-undang melakukan penelitian tentang undang-undang yang berkaitan dengan fasilitas Lapas. Selain itu, undang-undang yang berkaitan dengan topik yang diselidiki memerlukan kontrol yang lebih tepat terhadap kepuasan tuntutan seksual narapidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun