Hak atas kebutuhan seksual terkait erat dengan hak-hak sipil mendasar yang dilindungi oleh aturan hak asasi manusia nasional dan internasional. Menyangkal bahwa narapidana memiliki kebutuhan biologis berarti pengingkaran kemanusiaan mereka. Berbagai penemuan tentang kegiatan pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan pemasyarakatan merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai perilaku seksual, termasuk masturbasi, gay, agresi seksual, dan perdagangan seks di penjara, telah didokumentasikan di lapangan. Kondisi ini diharapkan dapat memotivasi pemerintah untuk menangani kebutuhan seksual narapidana dengan pendekatan hukum yang humanis, misalnya dengan menetapkan Cuti Mengunjungi KeIuarga (CMK).
Pasal 14 UU Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 mengatur bahwa hak-hak narapidana harus dihormati. Akan tetapi, persyaratan biologis (seksual) narapidana yang sudah menikah tidak diatur secara ketat oleh peraturan ini. Kebutuhan akan reproduksi biologis (seksual) merupakan kebutuhan yang mendasar, sebanding dengan kebutuhan akan rezeki. Narapidana adalah manusia yang memiliki hak untuk terpenuhi kebutuhan biologisnya.
Penyediaan syarat-syarat hubungan intim antara narapidana dan pasangan hukumnya merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi, karena seorang narapidana hanya hilang hak atas kemerdekaannya saja. Sementara itu, hak-hak lain seperti kebutuhan biologis juga harus dipenuhi. Akan tetapi, tampaknya penyediaan fasilitas khusus bagi narapidana sulit untuk diterapkan dalam kebijakan. Kondisi ini dikarenakan lembaga pemasyarakatan di Indonesia terus bergumul dengan isu-isu tipikal seperti kepadatan penduduk dan uang yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para narapidana.
Kurangnya undang-undang atau pembatasan ketat yang menghormati hak-hak dasar narapidana yang sudah menikah untuk memenuhi tuntutan seksual mereka secara alami menciptakan kontroversi dan komplikasi di dalam penjara. Salah satu kejadiannya adalah terbentuknya fenomena epidemiologi yang melibatkan peningkatan dan perkembangan perilaku penyimpangan seksual.
Beberapa contoh temuan penelitian dari banyak penjara di berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan prevalensi gejala penyimpangan perilaku seksual. Berdasarkan temuan penelitian Ade Gunawati Sandi dkk pada 4 Mei 2013 dengan memeriksa kepala rutan KIas II, A Way Hui, Bandar Lampung, 60% dari 20 tahanan pernah melakukan aktivitas seksual, terutama masturbasi. Kondisi ini  menunjukkan bahwa mereka masih memiliki gairah seksual. Sebagian besar narapidana yang melakukan masturbasi menjalani hukuman tiga hingga empat tahun. Selain itu, Ingrid Weddy Viva Febrya dan EImirawati melakukan penelitian pada Maret 2018 di LPP KIas IIA Pekanbaru, penjara bagi perempuan pelanggar hukum. Sekarang ada 302 wanita di penjara, apakah mereka telah dihukum atau tidak. Berdasarkan temuan wawancara dengan Ketua LPP KIas IIA Pekanbaru diketahui ada sekitar 50 narapidana perempuan yang memiliki kecenderungan Iesbian, baik yang diakui maupun yang diamati berdasarkan perilakunya.
Selain kelainan perilaku seksual narapidana di atas, ada persoalan lain yang terkait dengan pemenuhan permintaan biologis (seksual) ini, khususnya kerentanan terhadap praktik suap atas permintaan fasiIitas biIik asmara. Dalam pemeriksaan saksi terhadap terdakwa Wahid Husein (mantan Ketua KPK Sukamiskin) di Pengadilan Tipikor Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Rabu 12 Desember 2018, terungkap praktik suap fasilitas biIik asmara oleh salah satu narapidana di Lapas Sukamiskin, seperti dilansir Kompas.com pada 13 Desember 2018. Adapan biIik asmara dimaksudkan yakni berukuran 2x3 meter persegi serta hanya dilengkapi dengan tempat tidur dan dapat disewa dengan harga Rp 650.000 per individu sekali pakai. Di ssi lain, Â keberadaan biIik asmara di penjara dapat merangsang pembentukan prostitusi bawah tanah, yang dapat digunakan oleh narapidana yang sudah menikah dan belum menikah untuk memenuhi tuntutan seksual mereka.
OIeh karena keberadaan bilik asmara dianggap sebagai suatu sarana pemenuhan hak atas kebutuhan biologis (seksual), tidak diatur dalam pelaksanaannya maupun dilarang keras oleh ketentuan  perundang-undangan, maka mau tidak mau akan menjadi persoalan penting di beberapa titik. Kondisi ini disebabkan oleh fakta bahwa posisi kebutuhan biologis (seksual) dipandang sebagai hak fundamental yang esensial, serta harus dipenuhi, terutama bagi narapidana yang sudah menikah dan memiliki pasangan yang sah. Dengan kata lain, keberadaan fasilitas pemenuhan hak atas kebutuhan seksual ini harus diatur sedemikian rupa sehingga jika dilarang keberadaannya, maka harus diatur secara tegas. Sebaiknya, jika kebijakan tersebut memang diperbolehkan, maka harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
EsensiaI dari pendekatan hukum yang mempertimbangkan kehidupan seksual narapidana secara nyata. Sebagai pemenuhan hak asasi manusia mendasar, maka diperlukan struktur hukum humanis yang melingkupi kehidupan seksual narapidana. Ada dua hal penting dalam pemenuhan tuntutan seksual narapidana di lembaga pemasyarakatan:
- Bagaimana impIementasi pemenuhan hak atas kebutuhan seksuaI bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?
- Bagaimana esensiaI kebijakan pemenuhan hak atas kebutuhan seksuaI bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?
PeIaksanaan Pemenuhan Hak Atas Kebutuhan SeksuaI bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
1. Pemberian kesempatan kepada napi untuk melakukan hubungan seks
ConjugaI visit mengacu pada kunjungan ke penjara ketika seorang narapidana diizinkan untuk menghabiskan beberapa jam atau hari secara pribadi dengan tamu, seringkali istri/suami atau pasangan mereka, di kamar yang telah disediakan. Kesempatan ini memungkinkan narapidana untuk terlibat dalam aktivitas seksual, dan kunjungan semacam itu dapat mempertahankan hubungan keluarga serta meningkatkan kemungkinan transisi yang sukses ke kehidupan di luar tembok penjara. Bagi narapidana, hak pemenuhan kebutuhan seksual dicabut, selain kebebasan bergerak, pembatasan kebutuhan juga dibatasi atau dicabut; maka menurut undang-undang tidak diperkenankan untuk akibat-akibatnya. Contohnya seperti seorang narapidana dengan istri yang sedang hamil divonis lima tahun penjara. Dengan demikian pasangan yang bersalah dapat mempertanyakan apakah itu anak saya atau bukan dan berdampak negatif.