Mohon tunggu...
Indah Putri Jayanti
Indah Putri Jayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Pendidikan IPS Universitas Negeri Jakarta

keep going, keep growing.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mampukah Program Revitalisasi Menjadi Solusi dari Permasalahan Pemukiman Kumuh?

20 Desember 2020   04:02 Diperbarui: 20 Desember 2020   04:57 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemukiman kumuh bukanlah masalah baru bagi suatu negara, baik itu negara berkembang atau negara maju sekalipun. Permasalahan pemukiman kumuh ini seolah menjadi momok di lingkungan penduduk. Dunia bisa saja terus melesat maju kedepan, namun kondisi seperti ini nampaknya akan selalu ada dan tidak mudah untuk diatasi. Jangankan di Indonesia yang sudah jelas merupakan negara berkembang, di negara maju seperti Jepang pun juga selama ini terdapat pemukiman kumuh yang mungkin belum banyak diketahui orang. Padahal yang kita ketahui selama ini, selain menjadi negara maju Jepang juga dikenal sebagai negara terbersih di dunia. Area pemukiman kumuh ini ada di Kota Kamagasaki, yaitu sebuah kota yang masuk ke dalam Distrik Nishinari di Osaka. Bahkan ketika kita mengetikkan keyword Kamagasaki di mesin pencarian, maka akan muncul berbagai artikel berisikan tentang informasi kawasan kumuh tersebut.

Pemukiman kumuh ini menjadi salah satu masalah yang sulit diatasi karena penyebab adanya masalah ini berangkat dari faktor permasalahan yang cukup kompleks. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan dari akarnya. Menurut Suparno (2006), beberapa dimensi permukaan kumuh yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah lahan di perkotaan, sarana dan prasarana dasar, permasalahan ekonomi, permasalahan sosial budaya, permasalahan tata ruang kota, serta permasalahan aksesibilitas.

Pemukiman kumuh ini biasanya terdapat di wilayah perkotaan di kota – kota besar, seperti Jakarta contohnya. Mengapa demikian, karena timbulnya pemukiman kumuh ini tidak pernah lepas dari dampak adanya urbanisasi. Masyarakat yang berangkat dari desa ke kota dengan tujuan untuk mengadu nasib, biasanya mereka terhalang oleh kondisi ekonomi yang pas – pasan. Sehingga mereka tidak mampu mencari hunian yang layak, dan memilih untuk tinggal di pemukiman kumuh yang berada di tengah – tengah kota. Terhimpitnya kondisi ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh, biasanya hal ini juga mempengaruhi tingkat pendidikan anak – anak mereka. Karena mindset akan mahalnya biaya pendidikan, serta kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Hal ini biasanya berujung kepada kasus dimana seorang anak harus berhenti sekolah, dan hal ini pula yang pada akhirnya menyebabkan tingginya angka unskilled labor atau tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih. Sehingga mereka hanya mampu mengandalkan kekuatan fisiknya untuk bekerja.

Tanpa kita sadari, hal itu telah berulang menjadi siklus beruntun bagi anggota keluarga yang tinggal di lokasi pemukiman kumuh tersebut. Bagaimana tidak, jika dalam satu keluarga, seluruh anak – anaknya tidak ada yang mampu menyelesaikan pendidikan yang seminimal – minimalnya mengikuti program wajib belajar 12 tahun. Hal ini akan semakin banyak menciptakan unskilled labor yang pada akhirnya berujung membuat mereka mau tidak mau hanya bisa menjadi tenaga kerja kasar yang mengandalkan kekuatan fisik saja.

Kondisi lingkungan kumuh atau yang biasa disebut dengan slum area ini juga menjadi salah satu daerah paling potensial akan kriminalitas. Dalam sebuah Tesis yang ditulis oleh Ashar Suryobroto, beliau mengatakan bahwa corak kemiskinan di wilayah pemukiman kumuh cenderung menghasilkan produk sosialisasi yang lebih menonjol ke aspek fisik dalam kehebatan melakukan kejahatan. Selain itu faktor kemiskinan juga menjadi salah faktor pendorong munculnya angka kriminalitas karena masyarakat yang tidak memiliki skill khusus ini tidak mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, oleh sebab itu karena himpitan ekonomi maka tindakan kriminalitas ini menjadi jalan pintas bagi mereka.

Disamping faktor ekonomi yang menjadi penyebab menjamurnya pemukiman kumuh di negeri ini, perlu dilakukan upaya – upaya untuk mengatasi pemukiman kumuh ini. Karena permasalahannya yang cukup kompleks, kita bisa membagi fokus permasalahan ini kedalam dua aspek yaitu ekonomi dan lingkungan. Di pembahasan ini saya akan mengulas lebih dalam ke aspek lingkungannya dibanding aspek ekonomi. Untuk menangani permasalahan pemukiman kumuh itu perlu diperhatikan terlebih dahulu tentang lahan yang digunakan masyarakat. Apakah lahan itu adalah lahan legal atau lahan ilegal, karena keduanya butuh penanganan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan apa yang telah pemerintah upayakan untuk menangani masalah pemukiman kumuh.

Bagi pemukiman kumuh yang berdiri diatas lahan ilegal, pemerintah telah menyiapkan hunian rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebagai hunian yang lebih layak bagi masyarakat yang akan dipindahkan. Namun bagi pemukiman kumuh yang memang berdiri diatas lahan yang legal, maka diperlukan adanya revitalisasi atau perbaikan. Perbaikan ini bisa meliputi perbaikan sarana dan prasarana air minum, sanitasi, serta jalan lingkungan. Program revitalisasi ini menjadi salah satu program yang cukup gencar dilakukan oleh pemerintah setempat maupun pemerintah pusat untuk wilayah pemukiman kumuh yang berdiri di lahan legal. Revitalisasi ini sendiri tidak hanya dilakukan di ibu kota saja, namun juga dilakukan di kota – kota besar selain Jakarta.

Bahkan program revitalisasi di beberapa wilayah tak hanya sekedar memperbaiki sanitasi, jalan lingkungan, ataupun sarana prasarana air minum. Pemerintah dibantu dengan masyarakat setempat juga merevitalisasi pemukiman kumuh itu menjadi objek wisata. Hal ini terjadi di wilayah pemukiman kumuh Jodipan, Kota Malang. Pemerintah setempat dan masyarakat berhasil mengubah wilayah pemukiman kumuh itu menjadi kampung warna – warni yang indah. Sehingga saat ini kampung Jodipan, Kota Malang sudah tidak lagi terlihat sebagai pemukiman kumuh dengan kondisi penduduk yang padat.  

Keberadaan pemukiman kumuh yang tidak ditangani dengan baik tentu menghadirkan berbagai polemik baru nantinya, seperti salah satunya yaitu terganggunya kesehatan masyarakat di pemukiman tersebut. Sejauh ini belum pernah ditemukan adanya penolakan dari masyarakat terkait adanya program revitalisasi ini, justru masyarakat setempat mendukung penuh program ini dan turut andil dalam berpartisipasi untuk memperbaiki lingkungan tempat tinggal mereka. Meskipun revitalisasi ini tidak sepenuhnya mampu menghilangkan pemukiman kumuh di tengah – tengah kota, setidaknya dengan adanya program revitalisasi ini tata ruang kota di wilayah – wilayah tertentu sedikit menjadi lebih teratur dibanding sebelum adanya program revitalisasi ini. untuk mengatasi permasalahan slum area secara keseluruhan ini, tentu diperlukan banyaknya campur tangan dari berbagai pihak supaya permasalahan ini benar – benar dapat ditangani hingga ke akar – akarnya. Namun meskipun demikian, hal ini membutuhkan waktu perencanaan yang matang dan tidak sebentar. Oleh sebab itu sangat diperlukan sekali adanya revitalisasi untuk mencegah semakin menjamurnya kelompok masyarakat yang ada di wilayah pemukiman kumuh serta mencegah semakin tidak beraturannya bentuk tata ruang kota yang telah direncanakan.

REFERENSI

Alhabsyi, Usman., dkk. 2019. Evaluasi Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Permukiman di Kecamatan Tuminting Kota Manado. Jurnal Spasial. Vol. 6, No. 1, (2019), hal 90 – 101.

Arisani, Ratna Eka. 2017. Revitalisasi Kawasan Permukiman Pada Aktifitas Perekonomian Masyarakat di Bantaran Sungai Palu. eJurnal Katalogis. Vol. 5, No. 10, (2017), hal. 130 – 139.

Idawati, Dyah Erti. 2020. Strategi Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh dengan Penerapan Kampung Warna di Bantaran Kruen Dhoe. Jurnal Lingkungan Binaan. Vol. 7, No. 1, (2020), hal. 15 – 28.

Sihombing, Sanggam Bonifasius. 2012. Revitalisasi Pemukiman Kumuh (Studi Kasus Lingk. IV dan V, Kel. Sukaraja, Kec. Medan Maimun). Jurnal DINAMIKA. Vol. X, No. 3, (2012), hal. 400 – 418.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun