Mohon tunggu...
Inda D. Satria
Inda D. Satria Mohon Tunggu... -

Bekerja sebagai ahli gizi, suka menulis namun sebatas menghayal saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerpen: Menjadi Istri Dokter

18 Februari 2010   09:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi istri dokter…hmmm mungkin banyak kaum hawa yang menginginkan ini, rasanya mungkin bangga bisa punya pacar atau bahkan suami dokter. Tapi kenapa….apa bedanya dokter dengan profesi lain?? Hmmm sampai saat ini pun saya masih tidak mengerti even sekarang saya sudah menjalaninya. Tanpa mengurangi rasa syukur saya tapi saya tetep tidak merasakan sesuatu yang terlalu gimanaaa gitu (gimana hayo…;-)).

Dulu sebelum menikah orang selalu bertanya calon suaminya kerja dimana, saat saya jawab masih kuliah (dan mereka pasti bertanya kuliah dimana yahh aku bilang di kedokteran (dah coass sihhh)) dan dengan nada biasa-biasa saja tanpa ada kebanggan yang berlebih (yang ada hanya rasa bahagia cos mau nikaaaahhh), mereka langsung wahh hebat donk jadi istri dokter…??? Hehgg alis saya langsung bertaut alias berkenyit…hebat…hebat apanya….bingung mode on.

Sekarang pun saat orang lain tahu suami saya dokter hal yang sama terjadi, bahkan lebih parah “wahhh ngga nyangka suaminya dokter”. Wewww emangnya kenapa dengan gue sampai ngga begitu nyangkanya tuhh orang (agak-agak tersinggung nihhh cos orang kurang memandang diriku apa adanya hikkss dengan segala pesona yang saya miliki hehehe…lebay ahh).

Yahhhh orang hanya melihat luarnya saja dengan segala kelebihan yang dimiliki sang dokter. Mereka tidak tahu betapa beraatnya perjuangan seorang istri dokter…huaaa :-‘(. Saat sang dokter baru selesai kuliah alias lulus dan mulai mengisi klinik yang ala kadarnya, yahh penghasilannya juga ala kadarnya hehehe. Tapi Alhamdulillah jangan lupa bersyukur.

Saat sang suami melanjutkan pendidikan spesialis alias menjadi residen…lagi-lagi huaaa…hujan air mata dan emosi jiwa kekekekkkk…tapi adakah yang mengetahui itu, atau mengerti tentang hal itu…? Rasanya tidak karena ternyata hal ini tidak bisa menjadi bahan curhatan, karena diceritakan pun orang lain tidak percaya tentang kesusahan “kami”, seolah-olah sang istri bercerita tersebut hanya dengan maksud untuk sekedar membangga-banggakan suaminya yang dokter. Alhasil aku hanya terdiam memendam rasa yang ingin aku bagi…hanya sekedar untuk meringan beban (cie…pengen curhat ceritanya).

Satu lagi yang lucu (kalau ngga mau dibilang aneh). Saat ini anak-anak kami masih dalam proses produksi dan menunggu lisensi dari Allah untuk hadir di dunia yang indah ini, ehhh ada aja orang yang komentar..”masa suaminya dokter kok ngga tahu cara bikin anak sihhh”. Hmmm mau marah, mau sedih, tapi lebih banyak kasihan sama tuh orang…dia ngga tahu apa kalau anak (lahir), jodoh dan matinya manusia dan makhluk lainnya adalah wewenang dan kuasa mutlak Allah….kita makhuk Allah wajib berikhtiar dan jangan lupa berdoa. Kecuali kalau kami malas berikhtiar dan berdoa, boleh dia bilang itu untuk memacu semangat kami. Tapi it’s oke…ambil hikmahnya aja kita minta dia mendoakan agar kami segera diberi momongan,amin.. amin ya Rabbal’alamin.

Subhanallah…subhanallah…subhanallah….sebentar petir alias geluduk barusan menyambar keras banget.

Tapi terlepas dari semua itu satu hal yang pasti saya sangat mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan terlepas dari apapun profesi suami (Alhamdulillah suamiku dokter hehehe tetep harus disyukuri kan;-)). Apa yang saya tulis ini hanya sedikit gambaran mengenai paradigma orang terhadap profesi dokter. Saya tidak memungkiri banyak kemudahan yang kami dapat karena suami dokter (bukan dalam segi materi lohhh cos suamiku masih sekolah hikks), misalnya kemudahan dalam mengurus sesuatu hanya karena suamiku dokter (kok bisa yahhh…lagi-lagi saya tidak mengerti). Alhamdulillah kami bukan orang yang senang memanfaatkan kondisi ini (tapi kalau kepepet, terpepet atau dipepet suka juga sihh misalnya ada orang/petugas yang jutek bin judes ‘ngelayani kami). Anehnya mereka langung ramah jika secara tidak sengaja yang disengaja (nah lohh) suami bercerita tentang profesinya…hmmmm jadi ngga respek sama mereka itu.

So anyway busway….marilah kita hargai orang lain sebagaimana kita ingin diri kita dihargai oleh orang lain tanpa memandang profesi, status sosial, istrinya siapa kekkk dan segala tetek bengek yang diada-adakan. Hargai mereka sesuai dengan kapasitas mereka saat itu, bila seorang customer hargailah dia sebagai seorang customer dan lain-lain contohnya.

Satu hal lagi…syukuri apa yang telah kita dapat, apapun profesi suami kita karena tanpa rasa syukur apa yang orang lain lihat wahhh bisa jadi tidak berarti apa-apa bila kita tidak atau kurang mensyukurinya (mudah-mudahan saya termasuk orang yang bersyukur).

Thanks yahh dahh mau baca ini, bukan maksud hati curhat sihhh, hanya sedikit curhat hehehe…dan mencoba membuka cara pandang yang menurut saya agak risih dirasakan.

Kapan-kapan disambung lagi ceritanya (masih banyak yang lainnya), sementara ini dulu…See U…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun