Iklan – sekreatif apa pun – dibuat pesan politiknya oleh kandidat beserta konsultan komunikasinya, sedangkan publisitas sangat bergantung dengan kepentingan media yang bersangkutan. McQuail (2010) mengatakan bahwa pemilik media massa memiliki kekuasaan mutlak atas konten dan dapat meminta apa yang mereka ingin masukkan atau keluarkan dalam sebuah pesan media.
Di sinilah kita bisa melihat kekuatan media yang besar dalam meningkatkan elektabilitas, bukan dengan iklan namun dengan publisitas di dalamnya.
Iklan politik – tentu memang memberikan keuntungan kepada media, namun lebih dalam bentuk kapital dan jangka pendek. Sedang publisitas, bisa menjadi bagian dari agenda setting sebuah media yang (mungkin) tujuannya adalah jangka panjang.
Walaupun saat ini social media juga banyak digunakan para kandidat dalam Pilkada DKI 2012 – seperti yang sangat intens oleh pasangan Faisal-Biem – namun kiranya media massa masih memiliki keunggulan terutama untuk para kalangan grassroot. Media massa dengan sifat kelembagaannya, mampu menyebarkan pesan secara sistematis dan tersusun rapi.
Akuntabilitas dan Elektabilitas
Menuju putaran kedua Pilkada DKI, tentu saja dua kandidat masih akan menggunakan media massa dalam strategi pemenangan mereka. Melalui pull-political marketing, kedua kandidat – Jokowi-Ahok dan Foke-Nara – masih akan menggunakan iklan juga publisitas dalam strategi mereka.
Di sinilah peran masyarakat diharapkan dapat mengawal peran media sehingga akuntabilitasnya dapat terjaga.
Menurut Laitila dalam McQuail (2010) akuntabilitas media ditentukan oleh kode jurnalistik suatu negara yang umumnya mengacu kepada enam hal, yaitu (1) Kebenaran informasi; (2) Kejernihan informasi; (3) Perlindungan terhadap hak-hak publik; (4) Tanggung jawab dalam pembentukan opini publik; (5) Standar dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi; dan (6) Menghormati integritas sumber.
Saat ini masalah pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye politik diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008. Namun demikian, banyak pihak yang berpendapat bahwa perundang-undangan tersebut masih harus direvisi guna diberikan kesempatan yang merata kepada setiap kandidat atau partai politik peserta pemilu; juga mungkin sudah saatnya mengatur kampanye melalui social media.
Harapan penulis, siapa pun tokoh yang memenangi putaran kedua nanti tidak akan menjadi bulan-bulanan media massa secara berlebihan seperti SBY di tahun 2009 karena kita tahu popularitas SBY yang begitu tinggi saat itu tidak mampu diredam oleh media. Sebuah bumerang bagi demokrasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H