Tahun 95, saya sempet kaget banget waktu mobil TIMOR dipasarkan.
Apa? Indonesia udah bisa bikin mobil? Hebat banget!!! Itu yang pertama kali sayapikirkan, kaget, gak percaya sekaligus bangga. Negeri yang katanya negeri agraris ini ternyata bisa bikin mobil juga, gak kalah dengan negara-negara industri Asia timur, Jepang dan Korea. Kesannya hi-tech banget gitu loohhh...
Walau akhirnya saya tau bahwa itu cuma adaptasi merek dari KIA Korea... hehehe
Saya melihat, bangsa ini sedang berlomba-lomba untuk menjadi sebuah bangsa yanghi-tech. Internet di mana-mana, gadget mania, blackberry, wi-fi aka hotspot, bluetooth, iPod, Archos, PSP, MP3, 8 mega pixel, cybershot, layar TFT... Whoooiii... kata-kata yang kayaknya hebat dan keren banget. Yang dengan menyebutkannya, akan terlihat menjadi orang yang ngerti teknologi dan gak bakalan disebut gaptek!
Hi-tech alias teknologi tinggi (katanya). Dan memang saya mengakui kemajuan teknologi di berbagai bidang sangat membantu aktivitas setiap hari. Mulai dari email, browsing cari gambar, nulis di blog, sampai gak perlu lagi nyetel CD Audio karena MP3 copy-nya udah ada di dalam hard disk. Mau jeprat-jepret belajar fotografi juga gak perlu ribet dan mahal lagi karena kamera sudah gak pake film lagi, digital gitu loohhh... Tinggal klik, cepret lalu foto bisa langsung dilihat di kamera langsung, kalo gak suka tinggal hapus, kalo suka bisa langsung di pindahin ke komputer lewat USB, trus langsung dipamerin ke temen-temen lewat mailing list...
Satu hal yang saya perhatikan dari semua itu. Indonesia cuma jadi bangsa pengguna, dan bukan pencipta. Cuma bisa membeli, memakai, dan kalo rusak tinggal bawa keservice center. Gak tau kenapa deh Indonesia gak bisa menciptakan kamera digital sendiri dengan merek lokal. Atau saya berharap banget Indonesia suatu saat nanti bisa bikin mobil sendiri, bener-bener sendiri dengan bahan baku lokal, bukan cuma adaptasi merek, atau sekedar jadi pabrikan karoseri. Padahal katanya bijih besi Indonesia adalah yang terbaik di dunia!
Saya juga suka miris kalo beli segelas frappucino di Starbucks seharga 35 ribu rupiah. Gila!! bisa dapet 20 gelas kopi tubruk kampung kalo saya belinya di warung Indomie Pak Kumis deket rumah. Padahal ternyata setelah saya baca sebuah buku tentang Starbucks, mereka dapetin bahan kopi dari Sumatra, kopi terbaik dunia katanya. Saya pikir selama ini mereka dapetin dari kopi Brazil, yang katanya produsen kopi terbesar dunia. Hmmm... kopi terbaik dunia dari Indonesia, dibawa lewat kapal menuju Amerika, diproses dengan teknologi tinggi lalu dikemas dengan kantong-kantong alumunium kedap udara kembali ke Indonesia untuk kemudian menjadi segelas frappucino dengan harga 35 ribu! Sebuah proses yang panjang dari proses minum kopi...
Swiss, yang terkenal dengan cokelat-nya, ternyata sama sekali gak punya perkebunan cokelat! Semua bahan baku diimport dari Malaysia dan Indonesia. Setelah jadi, dibungkus dengan merek Delfi dan Cadbury, dijual lagi ke Indonesia dengan harga yang berlipat-lipat!
Sebenernya saya melihat bahwa bangsa ini gak punya sejarah buat yang namanya Hi-tech... jadi jangan ngimpi deh Indonesia bakal bisa bikin mobil sendiri... ato bikin kamera digital lokal. Tapi bangsa ini punya tradisi Hi-touch... apa aja yang dipegang sama bangsa ini, dibuat secara telaten dengan sentuhan yang personal dan proses pembuatan yang lumayan lama, bakal laris manis di pasaran. Orang-orang Jawa sudah bisa bikin keris yang maha hebat dari jaman Singosari/Tumapel... Mpu Gandring denganmasterpiece-nya, yang akhirnya sanggup membunuh Tunggul Ametung dan bahkan Ken Arok sendiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, bahwa karya metalurgi anak bangsa saat itu sudah bisa disejajarkan oleh hasil karya bangsa eropa, pedang King Arthur, atau kapak para bangsa viking...
Bangsa agraris ini juga mampu menghasilkan padi terbaik dunia, seperti legenda Dewi Sri yang cuma ada di Indonesia, menandingi padi dari negeri Gajah Putih dan padi dari tanah Vietkong. Karet terbaik, yang akhirnya sekarang dipakai sebagai standar sol sepatu sport merek dunia seperti Nike dan Adidas. Sawit Sumatra, yang menurut saya terbaik. Sayang pengolahannya kalah oleh Malaysia. Lada hitam, dan rempah-rempah lainnya. Bahkan negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Indonesia, dengan tujuan rempah-rempah pastinya.
Ada satu yang sampai saat ini menjadi terkenal seantero dunia. Batik! Selembar kain mori yang kemudian dibatik secara manual oleh Mbok-mbok dapat berharga sampai puluhan juta rupiah. Bisa dibandingkan dengan sutra negeri Panda, atau kain sari dari India. Jelas semua produk di atas gak bakalan mungkin diproduksi secara massal kalo ingin mendapatkan hasil yang sempurna. Secara harga juga akan bisa berlipat-lipat kali dari harga sebuah kain yang diproduksi secara massal.
Sayangnya dari hari ke hari, orang-orang yang mampu menghasilkan produk Hi-Touch ini makin langka, kalo gak mau disebut sebagai PUNAH. Sang anak tak mau lagi meneruskan usaha batik ayahnya, lebih senang kuliah di San Fransisco, dan pulang-pulang kerja di Texmaco sebagai product manager.
Kita adalah apa yang kita mau!
Perpaduan Hi-tech dan Hi-touch sesunguhnya akan menjadi sebuah kekuatan yang dasyat. Hi-tech tetap harus dijaga nilai-nilai manusianya. Hi-touch harus dikelola dengan baik dan benar sehingga tak cuma jadi benda langka dan masuk ke museum, bukan mal. Saya bangga sama Indonesia yang punya Yongki Komaladi, yang bisa bikin sendal dan sepatu keren. Atau Edward Forrer (nama bule, lokal asli) yang udah punya outlet di Aussie. Batik Keris, yang udah bikin Dept Store sendiri kayak Metro atau Sogo. Kopi Tator di Plaza Senayan dan Dharmawangsa Square yang mengimbangi kedigjayaan Starbucks (di Dharmawangsa Square gak ada Starbucks lho!). Album Jezz-nya Karimata (Jezz =Ethnic Jazz).
Pokoknya gak ada cerita lagi tuh malu pake merek lokal. Harusnya kita bisa bangga, karena semua merek lokal itu dibuat dengan bahan baku (benar-benar) lokal. Tapi kita juga mesti sadar, bahwa merek-merek lokal harus di dukung oleh yang namanya Hi-touch negara asing. Tator pasti mesti punya mesin espreso buatan Jerman. Mesin-mesin canggih pembuat sendal dan sepatu dari Jepang. Serta studio rekaman dengan peralatan canggih dari Amerika yang dipakai oleh Karimata.
Yang pasti kebanggaan mesti ada di dada. Karena Indonesia bukanlah bangsa yang Hi-tech, tapi kita sangat unggul dalam masalah Hi-touch... Jadi, gak ada lagi tuh yang namanya impor beras dari Thailand... hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H