Mohon tunggu...
Andi Inci
Andi Inci Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis Buku RoleJuggling : Perempuan sebagai Muslimah, Ibu dan Istri. Mahasiswi PhD di Jurusan Farmasi, Universiti Malaya dan tinggal di Kuala Lumpur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Permen Abdullah (7)

3 Januari 2014   21:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Hans menutup pintu kamarnya perlahan. Sebenarnya ada sedih yang menggayut di hatinya. Alangkah indahnya malam ini jika dia bisa melaluinya bersama Maria. Ada rasa rindu yang sangat kepada istrinya itu. Apalagi melihat kesungguhan Maria menjaga hubungan dengannya agar tetap baik.Seperti yang dilakukannya barusan, menungguinya pulang dan menyiapkan makan malam untuknya. Ingin rasanya memeluknya dan mengucapkan terima kasih karena telah menunggunya. Tapi rasa marah dan kecewa di hati Hans masih kental. Entah sampai kapan.

Hans tidak mengerti kenapa Maria begitu berkeras dengan prinsip agama yang dipegangnya. Dia bukan Maria yang dulu dikenalnya. Maria yang baik dan menurut kepadanya. Hans tidak melarang Maria taat dengan ajaran agama yang juga sudah dipeluknya itu. Hans hanya ingin Maria tidak terlalu keras dan fanatik. Apalagi mereka tinggal di Eropa.

Hans pula dari keluarga Jerman yang sebagian besar masih berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan lama. Meskipun Hans juga tau keluarganya sudah lama tidak ke gereja. Agama sudah lama mereka tinggalkan. Tapi kebiasaan-kebiasaan seperti perayaan Natal dan tahun baru tidak pernah mereka tinggalkan. Sikap Maria yang tidak mau lagi diajak merayakan Natal dan tahun baru bersama keluarga besar Hans membuat Hans malu. Belum lagi ajaran Maria yang sedikit-sedikit tidak boleh dan apa-apa haram membuat Hans serba salah.

Hans duduk di pembaringan, meluruskan kakinya lalu berbaring sambil menyilangkan tangan di bawah kepalanya. Pikirannya masih berkecamuk. Apa jadinya hubungan mereka nanti. Terus terang, Hans tidak berani membayangkan. Dia masih mencintai Maria dan rasanya akan terus mencintai wanita yang telah memberinya putra satu-satunya yang disayangnya itu.

Aku mencintainya. Aku hanya tidak mau dia berubah. Apakah itu teralu berlebihan. Jika Maria mencintaiku harusnya dia mau mengerti aku. Apakah aku harus mengalah? Tidak cukupkah bukti cintaku selama ini? Perlukah aku menuruti permintaannya, keinginannya, untuk membuktikan cintaku untuknya.

Lantas, apa bukti cintanya untukku? Apa? Bahkan selama ini aku tak pernah menuntut bukti apa pun darinya. Aku hanya tidak ingin Maria tidak berubah. itu lebih dari cukup. Setiap memikirkannya, bukan hanya hatiku yang sakit. Luka dari rindu dendam makin menganga dan mengoyak bagian tubuhku yan lain.

Hhhh…. Hans menghembuskan napas keras. Pikirannya lantas terus melanglang buana hingga ke beberapa tahun yang lalu di Indonesia.

bersambung...


Foto : http://www.oddee.com/_media/imgs/articles2/a96669_a440_crankcalls.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun