Sebuah Pengantar: Kasus Fatia Haris
Seruan 'Bebaskan Fatia Haris' dan 'Kita Berhak Kritis' memenuhi atmosfer ruang persidangan hingga halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 8 Januari 2024. Massa berbondong-bondong hadir untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan kepada Fatia Maulidya dan Haris Azhar yang sedang menjalani sidang ke-32 (tiga puluh dua) terkait dugaan kasus pencemaran nama baik salah satu Menteri Koordinator Indonesia. Bagaimana tidak? Agenda persidangan hari itu adalah pembacaan putusan atas kasus Fatia Haris terkait dugaan pencemaran nama baik. Persidangan yang dijalani Fatia Haris memakan waktu sekitar 8 (delapan) bulan, waktu yang cukup lama mengingat agenda Fatia Maulidya dan Haris Azhar yang padat sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kasus ini menjadi sorotan publik?
Kasus ini bermula dari video podcast yang diunggah oleh akun Youtube Haris Azhar dengan judul Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam. Dalam video tersebut, Fatia dan Haris menjelaskan kondisi perekonomian Papua beserta dengan operasi militer yang terjadi di dalamnya. Keduanya menyebut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi "bermain" dalam bisnis tambang di Intan Jaya Papua lengkap dengan hasil riset untuk mendukung masing-masing pernyataan mereka. Pernyataan dalam podcast ini kemudian memancing pelaporan dugaan pencemaran nama baik dan membawa Fatia Haris ke meja hijau untuk diproses.
Akhir dari kasus tersebut adalah Fatia Maulidya dan Haris Azhar dinyatakan tidak bersalah karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pencemaran nama baik yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan ini menjadi harapan tersendiri bagi kawan-kawan pembela HAM seperti Fatia dan Haris yang harus menghadapi berbagai tantangan beragam dalam memperjuangkan serta menyuarakan HAM.Â
Pembela HAM atau human rights defender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang, baik secara individu maupun berkelompok, yang bertindak untuk melindungi HAM dengan cara damai seperti melalui aktivisme, seni, kajian akademis, penyedia layanan tertentu, dan sebagainya. Dalam pergerakkannya, biasanya pembela HAM bergerak secara berkelompok melalui komunitas atau Non Governmental Organization (NGO). Namun, tidak menutup kemungkinan bagi individu-individu di luar sana untuk tetap dapat menjadi pembela HAM tanpa berafiliasi dengan organisasi mana pun.Â
Mengenal Pembela HAM: Dedikasi (yang Seringnya) Dibayar Dengan NyawaÂ
Masyarakat sipil merupakan elemen penting dalam berjalannya suatu pemerintahan, terutama di negara dengan sistem kedaulatan rakyat. Pembela HAM yang merupakan bagian dari masyarakat sipil memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam menjamin terlaksananya perlindungan HAM di kalangan masyarakat sipil.Â
Suatu pihak dapat dikatakan sebagai pembela HAM apabila pihak tersebut memiliki komitmen serta aksi nyata dalam mengupayakan perlindungan HAM dengan cara damai. Pihak yang disebut sebagai pembela HAM dapat bekerja sebagai professional dengan bayaran gaji atau bekerja sebagai volunteer yang tidak dibayar. Jadi, tidak ada patokan kaku terkait pengelompokkan pembela HAM. Hal ini dikarenakan cakupan HAM yang luas dan berada di berbagai bidang, sehingga kinerja yang dikeluarkan oleh masing-masing pembela HAM juga tidak dapat digeneralisir.
Di beberapa belahan dunia, bekerja di bidang perlindungan HAM menjadi pekerjaan yang berbahaya. Penyebabnya adalah karena sebagian besar pembela HAM memiliki pekerjaan penting untuk mengungkap pelanggaran HAM di lingkungan yang tidak 'bersahabat'. Contoh kasus dari hal tersebut adalah penyelidikan praktik korupsi di lingkungan dengan pemerintahan yang otoriter atau penanganan kasus kekerasan seksual di komunitas patriarkis. Ketimpangan kuasa dalam kasus-kasus yang harus dihadapi pembela HAM menjadi makanan sehari-hari, dan melahirkan berbagai ancaman lain.