Mohon tunggu...
Nay Sharaya
Nay Sharaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjaga napas dari pena dan kertas yang selalu kuadu, begitulah caraku membahagiakan diriku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jingga di Atap Makassar

25 Desember 2013   17:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ïïï

Matahari sore mulai nampak. Kulihat anak-anak yang berprofesi sama denganku mulai bergegas. Aku duduk di atas trotoar. Gubuk kami berada kurang lebih 10 meter dari sini. Aku bisa mendengar celotehan anak-anak itu dari sini. Kenapa mereka berisik sekali? Apa mereka sedang berpesta? Mungkin saja. "Hm, pesta kalian akan panjang dan menyenangkan, bukan?" Aku menengadah, merasakan rindu yang nyaris menjebol dadaku. Aku lemah sekali, bukan? Bukankah  aku  tak seharusnya merasakan rasa ini? Rasa yang tercipta untuk orang-orang yang sempat tertawa, bahagia dan punya waktu merindui sesuatu? Pandanganku teralih pada judul salah satu berita di koran yang sengaja kusisakan hari ini. Untuk kenang-kenangan. Bukankah aku sudah mulai sering merindukan sesuatu? Lamat-lamat  otakku kembali memutar kejadian itu, beberapa hari lalu. Aku berlari cepat, ini tidak seperti biasanya. Aku bergegas pulang ke gubuk kami di hari yang masih terik. Bayu memberitahu kalau Andang pingsan karena diserempet mobil. Aku malah ragu bagaimana Bayu mengartikan kata 'diserempet mobil'. Karena Andang tidak sadarkan diri. Luka luarnya tidak begitu parah tapi demamnya tinggi sekali. Aku takut kepalanya cedera atau lebih parah lagi. Bibirnya gemetaran hebat. "Aku akan membawanya ke Rumah Sakit, Om!" kataku sambil mencoba menggendong Andang di punggungku, Bayu membantu. "Rumah sakit biayanya mahal. Kita tidak perlu buang-buang uang hanya untuk hal-hal seperti itu. Dia akan sembuh besok," kata Om Bantar enteng, seraya menghisap rokokya dan bersandar di daun pintu. "Tapi...." Ia memotong "Biayanya terlalu mahal." "Tapi dia adikku!" seruku. Untuk pertama kalinya aku berteriak padanya dan untuk pertama kalinya aku mengakui anak itu. Anak yang tersesat bersamaku di terminal Daya. Bukan tersesat, tapi sengaja ditinggal oleh Ibu tiri kami yang berniat pulang ke kampung halamannya. Selama ini kupikir ikatan darah kami telah mengabur oleh debu jalanan. Tapi ternyata aku tak sanggup menganggapnya begitu. "Dia adikmu, lalu kenapa?" "Aku, aku punya sedikit simpanan." Teringat beberapa uang yang kusisihkan selama ini untuk berjaga-jaga. Aku menurunkan Andang dari punggungku, lalu dengan serampangan membongkar tumpukan kardus dan mengambil kaleng berbentuk kubus yang kusimpan di sana. "Aku punya sedikit...." Om Bantar maju dan menghantam wajahku. "Beraninya kau menyembunyikan uang diam-diam. Jadi selama ini kau menipuku, hah?" Beberapa recehan dan lembaran kertas itu berceceran di lantai. "Heh, Ayah? Selama ini aku menyebut dirinya seperti itu?" Tanganku mengepal kembali. Seperti malam itu. "Kak Togar, badan Andang dingin sekali. Dia sudah berhenti menggigil," kata Bayu saat aku baru pulang malam itu. "Untung kau tak membawanya ke rumah sakit. Tak perlu diurusi lagi, dia sudah koit." Om Bantar keluar dari gubuk seusai mengatakan itu. Kupandangi anak lemah itu dari tempatku berdiri, dadanya tak lagi naik turun seperti tadi pagi. Om Bantar berbalik lagi. "Hah, ini masalah, kita harus menyingkirkannya. Kau bawa mayat anak itu, buang di tempat biasa. Orang-orang di sana akan cepat menemukan besok pagi!" perintahnya, kemudian berlalu. Aku yang membunuhnya. Adikku... aku yang membawanya di dalam karung goni dan meletakkannya hati-hati di samping jembatan merah, dini hari. Dini hari agar tak terlihat orang. Aku pandai sekali bukan? Keesokan harinya kujadikan berita itu Headline untuk para pembeliku, Tapi mereka tak peduli. Hari ini pun, mereka tak peduli. "Hah, padahal berita yang kubawa kali ini betul-betul mengesankan. Mereka akan rugi karena tak membacanya." Kulipat potongan koran itu dan berjalan lambat ke gubuk kami. Seorang calo anak jalanan ditemukan meninggal di bawah fly over. Diduga ia meninggal karena keracunan makanan. Dugaan sementara bahwa racun tikus yang ditemukan di sekitar.... Suara sirine mobil itu memekakkan telinga. Semakin dekat dan nyata. Langkahku semakin melambat dan akhirnya terhenti. Aku kembali memandangi lagit di atas sana. Langit sudah menjingga. Tapi anehnya, kali ini aku tidak khawatir. Karena sepertinya mereka sudah menyediakannya untukku. Sebuah jalan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun