Mohon tunggu...
Inayah Kurniasih
Inayah Kurniasih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa vs Korupsi

16 Januari 2023   22:44 Diperbarui: 16 Januari 2023   22:52 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya akan membeli coconut ice.

Saya akan membeli es kelapa.

Sekilas dua kalimat tersebut tidak jauh berbeda dari segi makna. Kalimat pertama ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dalam penyebutan 'es kelapa'. Kalimat kedua ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni menjelaskan bahwa saya akan membeli es kelapa. Dalam bahasa tulis mungkin belum begitu terasa pengaruh 'emosinya'. Namun, akan sangat terasa bagi penutur dan pendengar jika disampaikan secara lisan. Ternyata berbahasa bukan hanya perkara kata-kata, akan tetapi juga memiliki 'nilai rasa'.

Berbahasa tidak bisa dilepaskan dari hegemoni suatu bangsa. Misalnya saja, bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional dan digunakan banyak negara maju, menjadi sebuah kebanggaan manakala dapat bertutur dengan bahasa tersebut. Dampak pemakaian kata coconut ice dapat berimplikasi lebih prestisius dibandingkan 'es kelapa'. Apalagi masyarakat umumnya menganggap bahwa menggunakan bahasa Inggris menyimpan keistimewaan tersendiri. Bahasa Inggris melambangkan kemajuan dan kemodernan. Bisa dikatakan bahwa bahasa erat kaitannya dengan mentalitas.

Lalu apa kaitannya bahasa dengan pemberantasan korupsi? Penegakan hukum di negara kita masih terkesan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ada hal yang menarik di masyarakat kita bahwa seorang 'maling' ayam harus babak belur dihakimi massa, tetapi 'koruptor' yang mencuri milyaran uang rakyat masih bisa tersenyum bahkan ketika harus di bui pun terkadang masih mendapat pelayanan yang istimewa. Padahal konteksnya sama-sama mengambil hak orang lain.

Politik Bahasa pada Masa Pergerakan

Begitu penting fungsi bahasa dalam membentuk karakter bangsa, tokoh pendiri bangsa H. Agus Salim (1884-1954) dalam sidang Volksraad tahun 1920-an di Batavia berpidato menggunakan bahasa Indonesia (dulu Melayu). Menggunakan bahasa Melayu pada waktu itu merupakan hal yang biasa, apalagi di sampaikan dalam sidang Volksraad. Ada kejadian menarik ketika ia sedang menyampaikan pidato. Dalam pidatonya, terdapat perkataan "Ekonomi" kemudian ditanya oleh Bergmeyer (wakil dari Zending di Volksraad). Sambil mengejek ia bertanya kepada H. Agus Salim "Apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?". H. Agus Salim membalas "Coba tuan sebutkan apa Belandanya?" Dalam bahasa Belanda sendiri istilah ekonomi tidak ada dan Bergmeyer pun tertohok. Usaha H. Agus Salim ini kemudian diikuti pula oleh pemimpin-pemimpin pergerakan lainnya yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia sehingga mendorong lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Salah satu kesepakatannya adalah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Bahasa dalam hal ini bahasa Indonesia tidak boleh dikesampingkan begitu saja dalam membentuk moral bangsa. Bahkan dalam upaya membentantas korupsi, 'politik bahasa' merupakan kebijakan yang sangat strategis. Ada 200 juta-an lebih masyarakat Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia, artinya bahasa Indonesia memiliki kekuatan yang besar dalam membangun bangsa. Tidak berlebihan kiranya ungkapan Laksamana Hang Tuah, bahasa menunjukan bangsa.

Perkuat Kontrol Sosial

Selama ini upaya pemberantasan korupsi terlihat begitu formal dan ekslusif. Masyarakat seakan-akan hanya menjadi penonton dalam upaya pemberantasan korupsi oleh segelintir penegak hukum. Memang masyarakat dihimbau agar bersama-sama memberantas korupsi namun baru sekadar formalitas belum sampai ke jantung masyarakat. Bahasa Indonesia terbukti mampu mempersatukan suku yang beragam. "Politik Bahasa" yang dilakukan para pendiri bangsa juga terbukti mampu membawa bangsa ini menuju kemerdekaan. Korupsi merupakan penyakit bangsa yang harus disembuhkan, dan sudah saatnya bahasa Indonesia ada di garda terdepan.

Mengikut sertakan masyarakat luas dalam memberantas korupsi yang sistemik tidak cukup hanya formal yuridis yang bersifat jangka pendek semata, namun juga harus menggunakan strategi kultural yang berjangka panjang. Tidak semua masyarakat ahli hukum dan memahami detail-detail proses hukum bagi tersangka korupsi. Istilah-istilah seperti 'maling, pencuri, perampok, pencopet' merupakan istilah yang menunjukan tindakan seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Istilah tersebut berasal dari serapan bahasa daerah. Tekanannya memberikan stigma lebih negatif ketimbang penyebutan dengan bahasa Inggris (korupsi/koruptor). Stigma negatif itu sangatt berguna untuk menumbuhkan budaya malu atas perilaku yang tercela yang kian biasa dalam masyarakat kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun