Mohon tunggu...
Inayat
Inayat Mohon Tunggu... Swasta - Freelancer Konsultan Pemberdayaan Masyarakat

Hobby menulis hal hal yang bersifat motivasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosok Tangguh Dari Seorang Ibu Tumini Penjual Kue Cenil Pasar Minggu-Batu Ampar

25 Agustus 2024   17:00 Diperbarui: 25 Agustus 2024   17:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok Tangguh Dari Seorang Ibu Tumini Penjual Kue Cenil Pasar Minggu - Batu Ampar 

Jum'at, 23 Agustus 2024 jam 11.00 saat melakukan survey tentang pelayanan PAM Jaya  tepatnya di kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Kramat Jati, Kota Jakarta Timur karena jauhnya perjalanan yang harus dilalui terlebih masuk lokasi jalan lingkungan yang sempit terkadang harus melalui gang gang kecil menuntut kehati-hatian ekstr.

Wajar jika rasa haus seringkali mendera tenggorokan yang mudah sekali kering pertanda rasa dahaga mulai menghampiri untuk  menghilangkan dahaga  saya berhenti di salah satu toko dipinggir jalan  tepatnya di Kelurahan Batu Ampar untuk membeli dua botol air mineral.

Namun saat akan balik kanan saya tertegun saat melihat sosok seorang ibu yang sudah tidak muda lagi dengan pakaian ala adat jawa menggunakan caping sehingga sulit untuk melihat wajahnya secara keseluruhan  terlebih ibu ini selalu menundukan wajahnya  sambil menunggu pembeli yang lewat  sementara barang dagangannya disimpan dalam bakul  gendong diletakan persis didepannya, karena rasa penasaran melihat sosok seorang ibu yang tangguh diusia yang sudah tidak muda lagi namun masih semangat untuk  mencari pundi-pundi rupiah demi untuk bertahan hidup ditengah ganasnya kehidupan kota Jakarta

Untuk menjawab rasa penasaran   akhirnya saya mendekati ibu tidak lupa sambil membeli sebungkus aneka cenil yang terdiri dari getuk, sagu, jagung, singkong, ketan hitam, ubi ungu, lupis, dan klepon dicampur menjadi satu tidak lupa dicampur dengan kelapa sambil menanyakan apakah  mau campur dengan gula putih atau gula merah ? Saya jawab gula pasir saja

Berapa harga satu bungkusnya?

Harga perbungkus Rp. 7000 saja

Pesan asatu bungkus untuk makan disini sambil istirahat, sebenarnya  hampie jarang  saya makan ditempat dipinggir jalan yang ramai lalu lalang orang tetapi  demi untuk bisa ngobrol dengan ibu akhirnya saya lebih memilih duduk persis disampingnya supaya gampang untuk ngobrol karena tidak mudah menggali informasi dari ibu penjual cenil ini yang lebih banyak diamnya

Sambil makan cenil saya memberanikan diri  bertanya nama ibu siapa ? dan tinggal dimana ?

Saya ibu Tumini  tinggal di dekat statsiun Pasar Minggu  dirumah petak kontrakan  

Ibu di jakarta bersama keluarga ? tidak,  saya hanya sendirian anak-anak semuanya di kampung 

Jadi kalau ada rizki ibu kirim ke kampung atau bagaimana? gak saya biasanya pulang sekali dalam satu bulan 

Lalu ibu sampai disini apakah naik angkot atau bagaimana ?

Saya lebih memilih jalan kaki  sambil menjajakan cenil dari mulai statsiun Pasar Minggu berjalan melintasi  jembatan gantung, menuju kelurahan Bale Kambang, terus berjalan akhirnya sampai juga di wilayah kelurahan Batu Ampar  jadi istirahatnya  semau saya kalau cape istirahat padahal jarak antara  Pasar Minggu ke Kelurahan Batu Ampar lumayan jauh sekitar  8 km jadi kalau pulang pergi ditempuh dengan jalan kaki maka ibu ini dalam sehari biasa menempuh jalan kaki sepanjang   16 km bayangkan jika dihitung selama satu minggu berapa kilo ibu ini berjalan sambil menjajakan cenil sungguh ibu ini menjadi salah satu wanita yang tangguh, wanita optimis terpancar dari wajahnya seolah sedang mengisyaratkan bahwa  mengeluh sudah dihapus dalam kamus hidup ibu Tumini biasa dipanggil mini, beliau hanya sebatang kara hidup di Jakarta dengan mengontrak dirumah petakan sekedar untuk istirahat, terlindung dari dinginnya malam,  sengatan panasnya matahari dan hujan terlebih lokasinya dekat Pasar Minggu lumayan ramai selama 24 jam

                                                                                                                                                                           Dok. Blibli

Meski usia ibu Mini sudah tak lagi muda lagi namun demi bertahan hidup  harus berjuang untuj sesuap nasi di tengah getirnya kehidupan kota Jakarta yang terkadang kurang berpihak kepadanya  namun tetap harus bertahan bagaimana caranya, karena bagi  ibu Mini penghasilan sedikit jauh lebih baik  sing penting halal daripada banyak tetapi dilakukan dengan cara-cara tidak halal pinsip ini yang selalu menjadi pegangan bagi Ibu Mini, dan atas pertimbangan itulah meski   sengatan panas matahari  tak menyurutkan langkah untuk mengais rizki tak ada kamus berpangku tangan untuk bisa bertahan hidup di Kota Jakarta karena pertimbangan kebutuhan sehari-hari belum lagi harus bayar kontrakan sebulan Rp. 800.000 kulit wajah terlihat sudah keriput seolah kurang terawat tak membuat ibu Mini menyerah dari kerasnya kehidupan beliau tetap mengayunkan langkah kakinya dengan optimis sambil menggendong bakul dagangannya  mencari uang supaya bisa bertahan hidup .

Dokpri
Dokpri

Kita bisa belajar dari ketangguhan  ibu mini bayangkan saja seorang ibu yang sudah tua masih kuat berjalan untuk menawarkan dagangannya dari arah statsiun kereta Pasar Minggu melalui jembatan gantung yang lumayan tinggi untuk ukuran seorang ibu terlebih sambil menggendong aneka kue cenil  sampai di Kelurahan Bale Kambang terus berjalan akhirnya terdampar istirahat di Kelurahan Batu Ampar  dengan jarak kurang lebih 8, KM ditempuh dengan berjalan kaki memang tidak terasa karena ibu sambil menjajakan kue yang slalu digendongnya tetapi persoalannya ini dilakukan setiap hari maka jarak yang ditempuh kurang lebih  maka 16 km ibu ini berjalan hanya untuk mendapatkan rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidp sehari-hari, membayar kontrakan, dan tentu saja jika berlebih tidak lupa mengirimkan untuk anak-anaknya yang tinggal di Kampung

Menurutnya  dengan berjualan seperti ini badan saya justru menjadi sehat daripada hanya berdiam diri di rumah malah nambah sakit, dan sebenarnya anak-anak saya sudah menyarankan agar saya pulang kampung saja namun saya menolaknya bagi saya sekeras-kerasnya hidup di Jakarta masih lebih mudah mencari rupiah dari pada pulang ke kampung halaman . Terimakasih Ibu Tumini  

Dokpri
Dokpri

Minggu, 25 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun