Mohon tunggu...
Ina Tan Lalana
Ina Tan Lalana Mohon Tunggu... -

Kau Tahu Yang Ku Mau!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Gelap

3 Desember 2013   01:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hampir saja menutup jendela ketika dia datang. Mukanya suram, duduk dengan kaki menggantung dan kedua tangan menopang dagu.

“Ada apa?” tanyaku heran.

Dia menatapku dengan pandangan yang murung, “Tadi sore ada pelangi,” katanya datar.

“Ah, iya! Aku juga melihatnya!” aku merasa ujung bibirku naik beberapa derajat, mengingat pelangi yang ramai dibicarakan orang tadi sore. Pelangi tadi sore benar-benar indah. Sempurna setengah lingkaran, bagaikan  tangga turun bidadari khayangan. Rasanya ingin kunaiki pelangi itu dan pergi menangkap awan.

Dia semakin menekuk mukanya.

“Hei, lalu apa masalahnya?” aku jadi bingung sendiri.

“Kau sama saja dengan mereka!” tiba-tiba suaranya naik beberapa oktaf, membuat terkejut hingga mundur beberapa langkah ke belakang.

“Apa maksudmu?” aku semakin tidak mengerti.

Dia bangkit, berdiri tepat di tengah jendela, “Aku benci kalian!!!” teriaknya lagi.

Tenggorokanku tercekat, belum pernah aku melihat dia semarah ini. Tapi aku juga tidak punya ide tentang hal yang membuatnya kesetanan begitu. Aku hanya melongo, menunggu apa yang akan dilakukannya kemudian. Dia membalikkan badan, aku melangkah cepat mendekati, “Hei...” hanya itu yang sanggup terucap.

Dia menoleh ke belakang, menatapku tajam dengan kedua matanya yang kelam, “Tunggu saja, kalian akan menyesal nanti!” dia berbisik dengan suara bergetar lalu menghilang setelah kedipan mata.

“Heii...!!!” aku buru-buru lari ke arah jendela, mencoba mencarinya di luar sana. Dia sudah lenyap. Aku hanya bisa menyimpan tanya.

___

Paginya semua berjalan normal-normal saja. Aku bahkan sempat lupa tentang kejadian semalam. Aku memakan sarapanku seperti biasa, pergi ke sekolah seperti biasa, berteman dan menyapa seperti biasa. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Sampai hari menjelang sore, aku baru menyadari keanehan demi keanehan.

Aku seperti kehilangan sesuatu ketika matahari mulai tergelincir ke barat. Aku tidak menemukannya. Ya, awalnya aku tidak menyadarinya, tapi kemudian aku tahu ini tidak normal. Dia tidak ada ketika aku berangkat bermain bola basket dengan teman-temanku, saat aku bermain, bahkan saat aku selesai bermain. Dia bahkan tidak ada di belakangku saat aku menyeberang jalan dan lampu mobil menyerang dari kejauhan melewati tubuhku. Dia, tidak ada? Ini mungkin seperti lelucon, tapi dia memang tidak ada!

Aku menatap jam tanganku dengan was-was, berharap apa yang kutakutkan tidak benar-benar terjadi. Satu jam, satu setengah jam, bahkan saat matahari tenggelam sempurna di bawah laut utara dia tidak juga datang! Oh Tuhan, kemana dia???

Berangsur-angsur penduduk kota kecilku menyadari keanehan yang terjadi hari ini. Matahari sudah tenggelam, tapi gelap tak juga menyerang. Langit masih biru seperti jam dua belas siang. Terang benderang. Bahkan saat hampir tengah malam pun, kota kami masih terang benderang. Tidak ada bintang, tidak ada kelap-kelip lampu malam.

Penduduk kota kami kebingungan, lebih tepatnya ketakutan. Kami mulai mencari-cari dia. Di balik bangunan, di kolong tempat tidur, bahkan di dalam laci. Oh, bisa kau bayangkan betapa ini seperti mimpi buruk? Kami kehilangan gelap bahkan ketika kami menutup mata!!!

Kami tak lagi bisa membedakan siang dan malam. Kami tidak lagi bisa menikmati senja. Bahkan pelangi pun menjadi tak lagi indah. Oh, Tuhan...kemana dia pergi?! Kami meneriakkan namanya sepanjang waktu, tapi dia tak kunjung datang.

Ini buruk sekali, tak bisa kami bayangkan hal yang lebih buruk daripada ini. Dia pergi begitu saja meninggalkan kami tanpa kami tahu penyebabnya. Berhari-hari, kami tidak tahu tepatnya berapa hari karena belakangan kami jadi kesulitan menghitung hari, kami menderita dan terus memanggil namanya. Berhari-hari kami tidak bisa tidur dan istirahat dengan tenang. Betapa kami mengharapkan dia kembali datang, namun harapan itu tak kunjung menjadi kenyataan.

---

Hampir sebulan, berdasarkan hitungan jam, sejak kami kehilangan gelap dalam kehidupan kami. Semuanya berangsur-angsur membaik. Kami makhluk yang memiliki tingkat penyesuaian diri paling hebat di dunia ini. Meskipun kami sedih dan kecewa, kami berusaha untuk tetap melanjutkan kehidupan meski tak ada lagi gelap dalam kehidupan kami. Kami tidak lagi memiliki bayangan, kami tidak butuh lampu, kami bahkan lupa bagaimana rasanya benar-benar menutup mata yang asli. Tapi kami tetap bertahan, karena kami diciptakan untuk itu.

Di suatu pagi yang dingin tanpa matahari, aku berjalan seperti biasa menuju sekolahku. Melewati rumah tua, aku mendengar seseorang membisikkan namaku. Hei, aku seperti mengenali suaranya! Ha, tidak salah lagi, itu dia!!!

Aku berlari mengikuti arah suara, dengan ceroboh membuka pintu rumah tua itu. Dan, viola! Aku menemukannya! Tempat itu seperti gudang penyimpan harta karun, semuanya gelap, g-e-l-a-p!!!

“Hai, kemana saja kamu selama ini?” jeritku tidak tertahan. Dadaku sesak melihatnya enak-enakan bertebaran di tempat asing ini. Sial, apa maksudnya sih?

“Kau merindukanku?” tanyanya datar. Aku semakin sebal.

“Kau meridukanku kan?” tanyanya sekali lagi. Marahku tak lagi tertahan. “Sudah cukup! Dasar gila! Untuk apa merindukan makhluk tidak berperasaan sepertimu?” semburku sambil menangis keras. Bahuku tergucang-guncang tidak kuat menahan semua kemarahanku padanya.

“Apa kamu sadar apa yang telah kamu lakukan? Kamu melukai mereka semua! Kamu jahat!!!” teriakku lagi, kali ini sambil menghapus air mata dengan lengan baju seragamku.

Wajahnya mengguratkan sesuatu yang aku tak mengerti, dan aku tak mau mengerti. Aku memutar tumit, ingin secepatnya pergi dari tempat ini.

“Kau benar-benar tidak merindukanku...” ucapnya lirih ketika kakiku mulai melangkah. Apa sih sebenarnya yang ada di pikirannya???

“Ini bukan soal merindukan atau tidak, bodoh!” aku kembali menyemburnya dengan emosiku yang meluap-luap, “Ini soal kewajiban! Tanggung jawab!! Kemana saja kamu selama ini? Kamu menghianati kami, kamu menghianati bintang-bintang, kamu menyembunyikan bulan, kamu bahkan merebut hak kami untuk merasakan damainya menutup mata! Kamu itu mahkluk paling jahat yang paling aku kenal!”

Hening. Hanya terdengar sisa isak tangisku. Dia terdiam, masih dengan ekspresinya yang datar. Aku tidak tahan lagi. Kutinggalkan dia begitu saja di rumah tua itu.

---

Aku tidak tahu kapan ini terjadi, tapi yang jelas saat aku berjalan pulang dia muncul di ujung bola basket yang sedang kumainkan ditanganku. Ketika aku menengok ke belakang, dia ada dan menyatu dengan ujung sepatuku, membentuk bayang-bayang. Aku mendesis, “Pergi saja sana! Untuk apa kembali lagi!” teriakku sambil berlari kencang, berharap meninggalkan bayanganku jauh di belakang.

---

Aku tahu dan aku mendengar dengan jelas ketika semua orang meneriakkan pekik syukur dan gembira, menyambut kedatangannya. Tapi aku tak peduli. Aku sama sekali tidak punya alasan untuk bisa menerimanya kembali setelah kepergiannya yang menyakitkan itu. Bah, untuk apa dia kembali berlagak seperti pahlawan setelah meninggalkan kami begitu saja. Saiko!

Kunyalakan lampu kesekian di dalam kamarku di kolong tempat tidur. Selamanya aku tidak akan membiarkannya masuk ke tempat ini. Aku terlalu marah untuk bisa memaafkannya. Ini semua sudah sangat keterlaluan. Dia tidak bisa dimaafkan.

Di tengah euforia kembalinya malam, bulan, dan bintang-bintang aku tetap bertahan di dalam kamarku yang terang benderang. Mengerjakan apa saja yang aku bisa. Membaca buku, menulis puisi, mengerjakan peer, apa saja. Apa saja asal aku bisa mengalihkan pikiranku dari makhluk sinting itu. Tapi kemudian teriakan-teriakan dari luar mengusikku. Aku ingin sekali keluar dan mencari tahu, tapi aku tidak tahan jika harus melihatnya lagi. Teriakan di luar semakin keras, lengkap dengan bunyi benda-benda jatuh dan membentur-bentur tembok. Apa lagi ini? Setelah gelap, apa sekarang giliran angin yang ngambek??

Rasa penasaran yang menggunung membuatku harus menekan gengsiku. Dengan perlahan aku membuka jendela kamarku. Sesenti, dua senti.... gubraakk!!!! Aku terpelanting jatuh ke lantai. Angin mendorong jendela kamarku membuka maksimal. Dan kau tau apa? Aku melihatnya berdiri penuh kemenangan di atas jendelaku.

“Oke, oke, sudah hentikan, aku sudah berhasil membukanya,” katanya santai, kemudian melakukan tos sekilas dengan angin yang berlalu cepat melewatinya.

“Terima kasih bantuannya ya!” dia melambai sekali lagi pada sekawanan angin itu.  Semuanya kembali diam. Angin ribut dadakan itu pergi begitu saja. Aku hanya bisa melongo.

“Maaf, aku terpaksa melakukan ini semua,” dia meringis tanpa rasa bersalah, membuatku membuang muka.

“Hei, kumohon, kau tahu kan rindu bisa membuat kita melakukan apa saja?”rajuknya sekali lagi.

Aku hampir saja meraih daun jendela kamarku dan berusaha menutupnya kembali ketika dia dengan cepat meraih kedua tanganku, “Hei, ayolah, jangan marah lagi...”

Aku berusaha melepaskan tanganku, tapi dia malah membelitku dengan pekatnya hingga aku bahkan tidak bisa melihat diriku sendiri.

“Lepaskan aku!” teriakku frustasi.

“Dengarkan aku dulu...” kudengar suaranya berbisik di belakang daun telingaku. Dia masih membekap erat tubuhku dalam kegelapan, aku marah sekali menyadari ketidakberdayaanku melawannya.

“Maafkan aku, aku memang bodoh,” ucapnya lembut,”Aku hanya ingin merasa dirindukan, diinginkan, dikagumi. Aku ingin menjadi seperti pelangi tempo hari,” suaranya berat. Aku berhenti meronta.

“Aku ingin semua orang menunjuk-nunjuk kagum ke arahku,dan aku... aku ingin kamu tersenyum manis tanpa henti menatapku, itu saja...” Dia tidak bicara apa-apa lagi, hanya menguatkan pelukannya. Aku jadi ingin menangis.

“Hanya karena mereka tidak memujimu, bukan berarti mereka tidak mengagumimu, bodoh,” aku memukulnya keras.

“Hanya karena mereka tidak menunjuk-nunjuk kearahmu, bukan berarti mereka tidak memperhatikanmu. Kamu terlalu berharga untuk sekedar pujian, terlalu indah untuk sekedar dinikmati sejenak. Kamu seribu kali lebih hebat  dengan menjadi kamu yang apa adanya, lalu kenapa harus iri pada makhluk lain? Berakting seolah-olah kamu adalah pelangi, menghilang lama, dan kemudian muncul lagi agar disambut bak aktris terkenal! Dasar bodoh...!” aku memukulnya sekali lagi dan dia terkekeh-kekeh menyambut pukulanku dengan senang hati.

“Iya, iya, aku tahu aku bodoh. Sudahlah... Kan aku sudah minta maaf,” dia mengusap poniku pelan.

Kami bercengkrama hingga larut malam, merayakan malam pertama yang datang entah setelah berapa puluh hari. Bercerita tentang apa saja yang bisa diceritakan, hingga akhirnya aku mengantuk dan dia menarik selimut hingga ujung daguku.

Aku terpejam, sepenuhnya terpejam. Kalian harus tahu betapa aku bahagia melihatnya lagi di saat aku memejamkan mata. Dia menemaniku tidur dengan duduk-duduk di sudut jendela seperti biasa.

“Aku tidak menyangka kamu benar-benar bisa merindukanku hingga seperti itu.” Aku mendengar gumamnya dan hanya bisa menyembunyikan senyuman, pura-pura sudah tidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun