Kegelapan menyelimuti sekitarku. Aku terbangun dalam keadaan yang sangat berbeda, di tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Di sekelilingku, hanya ada kesunyian yang menusuk dan hawa dingin yang menyergap. Aku mencoba mengingat di mana aku berada, tetapi semua terasa asing. Perlahan, kesadaran datang. Aku telah meninggal dunia. Aku kini berada di alam barzah, tempat persinggahan sebelum hari kebangkitan.
Kesadaran itu datang dengan sebuah gelombang penyesalan yang tak terlukiskan. Seperti film yang diputar mundur, kehidupan yang telah kujalani mulai terkuak di depan mataku. Aku melihat diriku yang masih bayi, murni dan tanpa dosa. Namun, seiring berjalannya waktu, dosa-dosa mulai bertumpuk seiring langkahku di dunia.Â
Aku menyaksikan diriku di masa kecil, saat pertama kali berbohong kepada orang tuaku. Hal kecil, pikirku saat itu, tapi kini aku merasakan getirnya dampak dari kebohongan itu. Aku melanjutkan dengan mencuri uang saku temanku di sekolah, dan kemudian berbohong lagi untuk menutupi perbuatanku. Momen-momen ini terasa seperti noda hitam yang terus melebar, menodai diriku yang seharusnya polos.
Masa remajaku dipenuhi dengan lebih banyak dosa. Aku melihat diriku tergoda oleh kehidupan glamor. Menghabiskan waktu dengan teman-teman yang tak baik, mencoba berbagai hal yang dilarang, dan terlibat dalam berbagai perbuatan maksiat. Aku merasa hebat saat itu, seperti hidup dalam kesenangan tanpa batas. Tapi di sini, di alam barzah, semua itu tampak seperti duri yang menusuk-nusuk hati.Â
Aku melihat diriku di masa dewasa, semakin dalam terjerumus dalam kegelapan. Aku terlibat dalam penipuan besar untuk mendapatkan uang dengan cepat. Aku mengkhianati teman-teman dan bahkan keluargaku sendiri demi kesenangan duniawi. Aku menikmati kekayaan yang kuperoleh dengan cara kotor, tanpa peduli pada nasib orang lain yang kuperdaya. Setiap tindakan buruk yang kulakukan seperti dicatat dan ditampilkan kembali dengan sangat jelas, menyayat hati.
Setiap dosa yang kulihat membuat diriku merasa semakin tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Di alam barzah ini, tidak ada yang bisa disembunyikan. Segala perbuatan buruk yang kulakukan selama hidup terkuak tanpa filter, membuatku merasa telanjang dan rentan. Aku ingin menjerit, menangis, memohon ampun, tetapi tidak ada yang mendengar.Â
Aku menyadari bahwa dunia adalah tipuan yang memukau, membuatku terjebak dalam kesenangan sesaat dan melupakan tujuan sebenarnya dari hidup. Aku tertipu oleh gemerlapnya dunia, terjerat dalam harta, tahta, dan kenikmatan sementara. Aku menomorduakan segala nilai moral dan spiritual, hanya demi mengejar hasrat yang tak pernah terpuaskan.Â
Siksaan di alam barzah ini tidak hanya datang dari penyesalan batin, tetapi juga dari rasa sakit fisik yang tak terlukiskan. Setiap dosa terasa seperti api yang membakar, menggigit tubuhku. Aku merasakan beratnya beban dosa yang mengimpit, membuatku tercekik. Setiap perbuatan buruk yang kulakukan kembali menghantamku, membuatku merasakan penderitaan yang seakan tak berujung.
Di sini, aku menyadari bahwa tidak ada kesempatan kedua. Tidak ada cara untuk memperbaiki apa yang telah kulakukan. Semua kesempatan telah hilang, dan aku hanya bisa menyesali setiap pilihan salah yang kuambil. Aku melihat bayangan orang-orang yang telah kusakiti, tangisan mereka, dan rasa sakit yang kutimbulkan. Semua itu kembali menghantuiku, membuat rasa bersalah semakin dalam.
Penyesalan ini begitu mendalam, tapi terlambat untuk diperbaiki. Aku terperangkap dalam keputusasaan tanpa jalan keluar. Aku berharap bisa kembali, meski hanya sebentar, untuk memperbaiki kesalahan dan meminta maaf. Tetapi di alam barzah ini, harapan seperti itu adalah kemustahilan. Aku hanya bisa meratapi nasibku, terperangkap dalam siklus penyesalan dan penderitaan.
Aku teringat akan semua nasihat yang pernah kuterima: dari orang tua, guru, dan orang-orang bijak yang pernah kutemui. Mereka sering mengingatkanku untuk menjalani hidup dengan kebaikan dan kebijaksanaan, untuk selalu ingat pada Tuhan dan akhirat. Tetapi aku mengabaikan semua itu, menganggapnya hanya sebagai kata-kata kosong yang tak relevan dengan kehidupan modern. Kini, kata-kata mereka bergema di telingaku, menyayat hatiku karena aku tahu mereka benar.
Di alam barzah ini, aku hanya bisa berdoa agar Tuhan mengampuni dosa-dosaku. Aku memohon ampun dengan segenap jiwa, berharap ada sedikit pengampunan untuk diriku yang hina. Aku menyesali semua tindakan buruk yang kulakukan, semua kesenangan semu yang kukejar. Dunia hanya tipuan yang membuatku terlena, dan kini aku membayar mahal untuk itu.
Di tengah penyesalan ini, aku mencoba mencari secercah harapan. Mungkin, dengan penyesalan yang mendalam ini, aku bisa mendapatkan sedikit pengampunan. Tetapi, seberapa dalam pun penyesalanku, dosa-dosa yang telah kulakukan tetap nyata dan tak bisa dihapus. Aku hanya bisa berharap agar ada kesempatan bagi jiwa-jiwa yang menyesal untuk mendapatkan pengampunan di hari kebangkitan nanti.
Namun, sampai saat itu tiba, aku harus menjalani siksaan dan penyesalan ini. Di alam barzah ini, aku belajar bahwa segala sesuatu di dunia hanyalah sementara, dan hanya amal kebaikan yang akan menemani kita di akhirat. Aku berharap mereka yang masih hidup dapat belajar dari kesalahanku, agar mereka tidak terjebak dalam tipuan dunia seperti diriku. Aku menyesal, tapi penyesalan ini hanyalah sebuah luka yang tak bisa diobati, sebuah perjalanan yang tak bisa diulang kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H