Di Semarang, sebuah kota yang indah dan penuh kenangan, kami tumbuh bersama sebagai tetangga. Namaku Arif, seorang anak dari keluarga sederhana. Di sebelah rumah, tinggal seorang gadis bernama Aulia, putri dari keluarga yang jauh lebih berada. Dari kecil, kami selalu bersama, bermain di gang sempit, menikmati sore di tepi sungai, dan bersepeda keliling kampung.
Aulia selalu menjadi teman yang ceria dan baik hati. Dia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan status sosial. Sementara itu, aku selalu merasa minder. Meskipun kami akrab, perbedaan keadaan ekonomi keluarga kami terasa seperti tembok besar yang membatasi. Aku, dengan segenap kekuranganku, selalu merasa tidak layak berada di samping Aulia, yang hidup dalam kenyamanan.
Saat remaja, perasaan itu semakin kuat. Aku mulai menyukai Aulia, bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu. Setiap kali melihatnya, hatiku berdebar. Namun, rasa rendah diri selalu menghantuiku. Aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku padanya. Kami tetap akrab, ke mana pun pergi, kami selalu berdua. Tetangga-tetangga bahkan sering mengira kami adalah pasangan kekasih. Di mana ada aku, di situ ada Aulia. Namun, bagi kami, itu hanyalah pertemanan yang hangat, atau setidaknya itulah yang kutunjukkan.
Waktu terus berjalan, hingga tiba saatnya aku harus meninggalkan Semarang. Kesempatan kerja membawaku merantau ke luar kota. Aulia dan aku berjanji untuk tetap berkomunikasi. Surat demi surat kami kirimkan, mengisi jarak yang memisahkan kami. Tapi, entah bagaimana, perasaan cinta itu semakin tenggelam dalam kesibukan hidup.
Di perantauan, aku bertemu dengan seorang gadis lain, dan akhirnya kami menikah. Aku memberitahu Aulia tentang rencana pernikahanku dalam sebuah surat. Aku berharap dia akan mengerti dan tetap menjadi sahabatku, seperti dulu. Namun, setelah kabar itu, kami kehilangan kontak. Surat-surat berhenti datang, dan aku pun tenggelam dalam kehidupan baruku.
Setahun berlalu tanpa kabar dari Aulia. Suatu hari, aku mendengar dari seorang teman bahwa Aulia mengalami depresi. Dia bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun selain denganku. Kabar itu mengejutkanku. Aku merasa bersalah dan bingung. Kenapa dia harus menyimpan perasaan itu?
Malam itu, dengan perasaan campur aduk, aku memutuskan untuk menemui Aulia. Rumahnya tampak sepi. Aku mengetuk pintu dan dia yang membukanya. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya masih menyimpan kehangatan yang selalu kuingat. Kami duduk di teras, hanya diterangi oleh lampu temaram dan bulan yang mengintip dari balik awan.
"Aku dengar kabar tentangmu," kataku pelan. "Maafkan aku, aku tidak tahu."
Aulia hanya tersenyum pahit. "Aku juga menyukaimu, Arif. Sejak dulu. Aku selalu menunggu, berharap kau akan mengungkapkan perasaanmu. Tapi kau tidak pernah melakukannya."
Hatiku serasa remuk mendengar itu. Aku menundukkan kepala, tidak berani menatapnya. "Aku selalu merasa rendah diri. Aku pikir kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada aku."