Di bawah langit biru yang terbentang luas, aku dilahirkan di kota yang penuh kenangan, Semarang. Setiap sudutnya menyimpan cerita masa kecil yang manis. Dari gemerlap lampu Simpang Lima yang menjadi saksi malam-malam penuh canda, hingga suara riuh pasar Johar yang menyambut pagi dengan semangat. Di sinilah aku mengenal arti kebersamaan dan kehangatan keluarga.Â
Semarang bagiku bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah dengan sejuta kenangan yang melekat erat dalam jiwa. Setiap pagi, aku terbangun oleh nyanyian burung-burung yang bersahutan di pepohonan sekitar rumah. Aku berlarian bersama teman-teman di gang sempit, bermain layangan dan mencuri-curi pandang pada gadis tetangga yang selalu tersenyum malu-malu.
Namun, hidup adalah serangkaian perjalanan yang penuh dengan perubahan. Ketika lulus SMA, aku diterima di salah satu universitas terkemuka di Bandung. Keputusan untuk melanjutkan studi di sana bukanlah hal mudah. Keluargaku bangga, tetapi ada sekelumit rasa enggan untuk meninggalkan tanah kelahiran. Semarang telah memberiku banyak hal, dan aku takut akan melupakannya.
Bandung, kota yang sejuk dan penuh kreativitas, menyambutku dengan tangan terbuka. Di sini, aku menemukan dunia baru. Kuliah di Bandung membuka mataku akan berbagai hal yang belum pernah aku temui di Semarang. Budaya, cara berpikir, dan cara hidup yang berbeda membuatku merasa seperti seorang penjelajah di negeri asing. Aku tenggelam dalam kesibukan kuliah, aktivitas organisasi, dan kehidupan mahasiswa yang dinamis.
Namun, di balik semua kesibukan itu, aku sering merasa hampa. Rindu pada Semarang selalu mengintai, terutama saat malam menjelang. Kenangan masa kecil berkelindan dalam benak, mengingatkanku pada setiap detil kota yang begitu aku cintai. Tapi aku tahu, keputusan untuk belajar di Bandung bukan berarti aku melupakan Semarang. Bagiku, ini adalah bagian dari perjalanan untuk mencari jati diri.
Sayangnya, tidak semua orang melihatnya seperti itu. Teman-teman di Semarang menganggap aku telah melupakan mereka, melupakan kota yang telah membesarkan aku. Mereka melihatku sebagai seseorang yang berubah, seseorang yang lebih memilih kehidupan baru di Bandung. Pepatah Jawa "wang sinawang" sering terlintas di benakku. Orang hanya melihat luarnya saja, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Satu malam, aku menerima telepon dari ibu. Suaranya terdengar lembut namun penuh kerinduan. "Nak, kapan kamu pulang? Kami semua rindu," katanya. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "Teman-temanmu di sini juga sering menanyakan kabar."
Percakapan singkat itu menyadarkanku bahwa betapa pun jauhnya aku pergi, rumah selalu menanti kepulanganku. Dengan tekad bulat, aku memutuskan untuk pulang ke Semarang saat liburan semester tiba. Rasa rindu yang membuncah membuat perjalanan pulang terasa lebih bermakna.
Sesampainya di Semarang, aku disambut dengan hangat oleh keluarga dan teman-teman. Namun, aku bisa merasakan ada jarak yang terbentuk di antara kami. Beberapa dari mereka menganggap aku telah menjadi "orang Bandung" yang lupa akan asalnya. Hal ini membuat hatiku perih, tetapi aku berusaha untuk tetap tersenyum.
Malam itu, aku mengundang beberapa teman dekat untuk berkumpul di rumah. Kami duduk di teras, menikmati angin malam yang berhembus lembut. Aku mencoba membuka percakapan dengan menceritakan pengalamanku di Bandung, tetapi reaksi mereka terasa dingin. Salah satu dari mereka, Budi, akhirnya angkat bicara.
"Kamu kelihatan berbeda sekarang, Yan. Lebih suka kehidupan di Bandung, ya?" tanyanya dengan nada sedikit menyindir.
Aku tersenyum kecut, mencoba memahami perasaannya. "Bukan begitu, Bud. Bandung memberiku banyak pengalaman, tapi Semarang tetap di hatiku. Aku rindu kalian semua."
Salah satu teman lain, Siti, menimpali, "Kita sering merasa kamu sudah lupa dengan kita. Kita dengar kamu jarang pulang, lebih asyik dengan teman-teman baru di sana."
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku memang jarang pulang karena kesibukan kuliah. Tapi bukan berarti aku melupakan kalian atau kota ini. Semarang selalu menjadi bagian dari diriku."
Percakapan malam itu membuka mataku tentang arti persahabatan dan bagaimana kesalahpahaman bisa terjadi. Mereka merasa aku telah meninggalkan mereka, sementara aku hanya mencoba mencari jalan hidupku sendiri. Pepatah "wang sinawang" kembali terngiang. Hidup memang penuh dengan perspektif yang berbeda, dan kita sering kali hanya melihat dari satu sisi saja.
Aku berusaha untuk lebih sering berkomunikasi dengan mereka, berbagi cerita dan mendengarkan keluh kesah mereka. Perlahan tapi pasti, hubungan kami kembali hangat. Aku mengajak mereka untuk mengunjungi Bandung suatu hari nanti, agar mereka bisa melihat sendiri bagaimana kehidupanku di sana. Ajakan itu disambut dengan antusiasme, dan kami mulai merencanakan perjalanan bersama.
Waktu terus berlalu, dan aku berhasil menyelesaikan studiku di Bandung. Pada hari wisuda, keluargaku datang dari Semarang untuk merayakan pencapaian ini. Ada rasa bangga dan haru yang mengalir di antara kami. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, kini saatnya aku kembali ke rumah dan membangun masa depan di tempat yang telah membesarkan aku.
Setibanya di Semarang, aku disambut dengan pelukan hangat dari keluarga dan teman-teman. Mereka kini memahami bahwa kepergianku ke Bandung bukanlah untuk melupakan mereka, tetapi untuk mengembangkan diri dan meraih mimpi. Aku kembali dengan segudang pengalaman dan pengetahuan, siap untuk memberikan yang terbaik bagi kota tercinta.
Aku memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan lokal yang bergerak di bidang teknologi. Dengan bekal ilmu dari Bandung, aku berusaha untuk berkontribusi dalam memajukan industri di Semarang. Aku juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, membantu anak-anak muda untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik. Melalui berbagai kegiatan ini, aku berusaha untuk menunjukkan bahwa meskipun aku pernah pergi, Semarang selalu menjadi rumah yang aku cintai.
Pada akhirnya, hidup memang penuh dengan dinamika dan perubahan. Perjalanan ke Bandung mengajarkanku banyak hal, tetapi Semarang selalu menjadi akar yang menguatkan langkahku. Pepatah "wang sinawang" mengingatkanku untuk tidak cepat menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Setiap orang memiliki perjuangan dan cerita yang berbeda. Kini, aku bangga menjadi anak Semarang yang pernah merantau ke Bandung, kembali dengan membawa segudang pengalaman untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Aku berdiri di tepian Pantai Marina, menatap matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Di kejauhan, suara anak-anak yang bermain layang-layang terdengar samar. Angin laut berhembus lembut, membawa serta aroma asin yang khas. Di momen ini, aku merasa damai. Dua kota, satu jiwa. Semarang dan Bandung, dua tempat yang telah membentuk siapa diriku sekarang. Inilah rumitnya hidup, tetapi juga keindahannya. Wang sinawang, perspektif yang mengajarkanku untuk melihat kehidupan dari berbagai sudut pandang. Dan di sinilah aku, berdiri kokoh, siap menghadapi masa depan dengan segala kenangan dan pelajaran yang telah aku dapatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H