Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Derita dari Masa Lalu

23 Juli 2024   10:42 Diperbarui: 23 Juli 2024   10:49 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah perjalanan kami, kami bertemu dengan bayangan-bayangan lain. Setiap bayangan adalah cermin dari diri kami sendiri, mencerminkan setiap dosa yang pernah kami lakukan. Bayangan-bayangan itu mencemooh kami, menertawakan penderitaan kami. Tapi yang paling menyakitkan adalah bayangan pria tua yang kami bunuh. Wajahnya yang penuh luka memandang kami dengan mata penuh kebencian dan kesedihan.

"Kalian pantas mendapatkannya," kata bayangan itu. "Kalian akan menderita selamanya."

Kata-katanya seperti belati yang menusuk jantungku. Aku tahu dia benar. Kami memang pantas mendapatkannya. Tapi di dalam hatiku, ada sedikit harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, kami bisa ditebus. Mungkin penderitaan ini adalah cara kami untuk menebus dosa-dosa kami.

Hari demi hari di neraka terasa seperti keabadian. Rasa sakit yang tak tertahankan menjadi teman sehari-hari kami. Tapi entah bagaimana, dengan adanya Bima di sisiku, aku merasa sedikit lebih kuat. Kami saling mendukung, saling mengingatkan bahwa kami harus bertahan.

Suatu hari, ketika kami sedang berjalan di antara kobaran api, Bima tiba-tiba berhenti. Wajahnya yang penuh luka terlihat lebih tenang. "Rian, aku pikir kita sudah cukup menderita. Mungkin kita bisa menemukan cara untuk menebus dosa kita."

Aku menatapnya dengan penuh harapan. "Bagaimana caranya?"

"Kita harus meminta maaf," katanya. "Kita harus mengakui kesalahan kita dengan tulus. Mungkin dengan begitu, kita bisa mendapatkan sedikit kedamaian."

Aku mengangguk setuju. Dengan hati yang penuh penyesalan, kami berlutut di tengah lautan api, memohon ampun kepada Tuhan dan kepada jiwa-jiwa yang telah kami sakiti. Kami berdoa dengan segenap hati, berharap bahwa penderitaan kami ini bisa menjadi penebusan.

Waktu berlalu, dan meskipun rasa sakit fisik tidak pernah hilang, aku merasa ada sedikit kedamaian di dalam hatiku. Mungkin doa kami didengar. Mungkin, di tengah-tengah neraka ini, kami telah menemukan jalan menuju pengampunan.

Dan di dalam api neraka, bersama sahabatku, aku belajar bahwa meskipun dosa-dosa kami tak termaafkan, ada kekuatan dalam penyesalan dan pengampunan. Kami akan terus bertahan, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, kami bisa ditebus dan menemukan kedamaian sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun