Selama beberapa minggu berikutnya, Indra melihat bahwa meski tokonya sempat dirusak, Tegar tetap bekerja keras dan tokonya kembali ramai. Indra semakin menderita melihat kesuksesan Tegar yang tak kunjung pudar. Setiap hari, perasaan iri dan dengki di hatinya semakin membesar, membuatnya merasa tidak tenang.
Pada suatu malam yang tenang, Tegar datang ke rumah Indra. Ia membawa sekeranjang makanan dan kebutuhan sehari-hari. "Indra, aku tahu kamu mungkin merasa kesulitan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu. Kita bisa melewati ini bersama."
Melihat ketulusan Tegar, hati Indra mulai bergetar. Ia merasa malu dan bersalah atas perbuatannya. Namun, keserakahan dan rasa iri masih menahan lidahnya untuk mengakui segalanya. Malam itu, Indra tidak bisa tidur. Ia memikirkan semua yang telah dilakukan Tegar untuknya, semua kebaikan yang diberikan tanpa pamrih, sementara dirinya hanya dipenuhi oleh kebencian dan iri hati.
Pagi harinya, Indra memutuskan untuk bertemu Tegar dan mengakui semua kesalahannya. Dengan air mata yang berlinang, ia berkata, "Tegar, aku yang merusak tokomu. Aku yang menulis ancaman itu. Hatiku dipenuhi oleh iri dan dengki, dan aku tidak bisa mengendalikan diriku. Maafkan aku."
Tegar terdiam sejenak, tetapi kemudian ia memeluk Indra. "Indra, aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku hanya ingin kita bisa kembali seperti dulu, sahabat yang saling mendukung."
Dalam pelukan Tegar, Indra merasa beban di hatinya perlahan-lahan menghilang. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah, untuk melepaskan iri dan dengki yang telah membuatnya menderita. Dengan bimbingan Tegar, Indra mulai belajar untuk lebih bersyukur dan bekerja keras tanpa mengharapkan hasil instan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H