Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Horor

Dendam dalam Kegelapan

14 Juli 2024   13:56 Diperbarui: 14 Juli 2024   13:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah Alex, seorang pria yang terjebak dalam situasi yang penuh keputusasaan dan dendam. Cerita ini dimulai ketika aku memutuskan untuk meninggalkan keluargaku, mencari kebebasan yang selama ini kupikir akan membuatku bahagia. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah sebuah kisah kelam yang tak terduga.

Malam itu, aku duduk sendirian di ujung bar. Suara musik keras dan riuh rendah keramaian bar mengalihkan perhatianku dari keputusan sulit yang akan aku ambil. Aku memandang gelas whisky di depanku, mencoba meredakan rasa gugup yang memenuhi dadaku.

Setelah bertahun-tahun hidup dalam tekanan keluarga yang konservatif dan ekspektasi yang tinggi, aku merasa tercekik. Aku butuh ruang untuk bernafas, untuk menemukan siapa sebenarnya aku di luar bayang-bayang ekspektasi mereka. Maka, tanpa ragu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan semuanya.

Aku mengajak istriku, Sarah, berbicara. Wajahnya pucat saat aku mengungkapkan keinginanku untuk pergi. "Apa yang kau bicarakan, Alex?" desisnya dengan suara gemetar. Aku mencoba menjelaskan bahwa ini bukan tentang dia atau anak-anak kami, tapi tentang aku dan kebutuhanku untuk mengejar impianku sendiri.

Perginya meninggalkan mereka adalah hal terberat yang pernah kumalami. Aku tahu aku meninggalkan luka yang dalam, tapi aku percaya itu akan lebih baik untuk semua orang dalam jangka panjang. Sarah menangis tersedu-sedu, mencoba memahami apa yang sedang aku lakukan.

Beberapa bulan berlalu sejak kepergianku. Aku hidup sendiri di apartemen kecil di pinggiran kota, mencoba membangun kehidupan baru tanpa beban yang membelenggu. Namun, keputusanku meninggalkan keluarga itu mulai terasa seperti kutukan yang menghantui pikiranku setiap hari.

Pada suatu malam, ketika aku sedang duduk sendirian di apartemenku yang sunyi, aku mendapat panggilan telepon yang mengejutkan. Suara yang kukenal begitu baik. "Alex, ini Sarah. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan," katanya dengan suara yang terdengar dingin.

Aku terdiam. Tidak ada yang bisa kukatakan selain permintaan maaf yang dalam. Tapi sebelum aku bisa menjawab, Sarah melanjutkan, "Anak-anakku, mereka ... mereka sakit. Dokter mengatakan ini mungkin karena stres dan kehilangan yang mereka rasakan akibat kepergianmu."

Darahku membeku. Aku merasa bersalah, tapi juga marah pada diriku sendiri. Mengapa aku harus menanggung semua ini? Mengapa aku yang harus menjadi korban pilihan hidup yang salah?

Rasa bersalah dan amarahku bergabung menjadi semacam monster dalam diriku. Aku merasa ditipu oleh hidup, dan aku merasa perlu untuk membalas dendam pada mereka yang telah menyebabkan kehidupanku hancur. Sarah telah menghancurkan hidupku dengan membiarkan anak-anak kami sakit.

Aku mulai mengawasi mereka dari kejauhan, mencatat setiap langkah mereka. Aku mengetahui rutinitas mereka, teman-teman mereka, bahkan orang tua mereka. Aku membayangkan bagaimana aku akan menghabisi mereka satu per satu, memberi mereka rasa sakit yang mereka telah berikan padaku.

Pada suatu malam yang gelap dan hujan, aku memutuskan untuk bertindak. Aku masuk ke rumah Sarah dengan hati yang penuh dendam. Aku tahu mereka sedang tidur, dan aku tidak punya rasa bersalah. Aku mencari-cari pisau dapur di dapur mereka, senjataku untuk membunuh mereka satu per satu.

Sarah dan anak-anaknya tidur dengan tenang. Begitu rapuh. Aku mulai dengan Sarah, menusuknya berkali-kali sampai darahnya mengalir ke seluruh karpet. Anak-anakku terbangun oleh jeritan ibu mereka, dan mereka mencoba berlari. Tapi aku lebih cepat. Aku mengejar mereka, dan satu per satu aku habisi mereka.

Darah mereka mengalir di lantai, mengingatkanku pada rasa sakit dan penderitaan yang telah mereka berikan padaku. Tapi sekarang, aku merasa lega. Dendamku telah terbalaskan. Aku melihat mereka, mayat yang tergeletak di lantai, dan aku tahu bahwa aku telah melakukan hal yang benar.

Saat ini, aku duduk di sel penjara. Hari ini aku diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup karena perbuatan keji yang telah kulakukan. Aku tidak menyesal. Aku tidak menyesal membunuh mereka. Aku hanya menyesal bahwa aku ditemukan terlalu cepat.

Aku tahu bahwa hidupku telah berakhir. Tapi aku juga tahu bahwa dendamku telah selesai. Mereka tidak akan pernah lagi menyakitiku. Mereka tidak akan pernah lagi menghantui pikiranku dengan kehadiran mereka yang menyebalkan.

Ini adalah cerita tentang bagaimana keputusan sederhana dapat mengubah hidup seseorang menjadi malapetaka. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu ketika aku memutuskan untuk meninggalkan keluargaku, dan aku tidak akan pernah melupakan hari ini ketika aku mengambil keputusan untuk membunuh mereka.

Kini, aku hanya menunggu hari-hari terakhirku di penjara ini. Mungkin itu adalah keadilan yang aku terima, mungkin itu adalah karma yang telah mengejar aku sepanjang hidupku. Tapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan pernah lagi menyakiti siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun