Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencintaimu Tak Membuatku Bahagia

10 Juli 2024   16:07 Diperbarui: 11 Juli 2024   01:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alya duduk di sudut kamar dengan selembar kertas di tangannya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memberikan sentuhan hangat pada ruang yang sepi. Di kertas itu tertulis beberapa baris puisi yang ia tulis untuk Arman, seseorang yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati.


Pertama kali bertemu Arman di kampus, Alya langsung jatuh hati pada pesonanya. Arman adalah sosok yang penuh perhatian. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berdiskusi tentang berbagai hal, dan menikmati kebersamaan yang manis. Namun, seiring berjalannya waktu, Alya mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka.

Suatu malam, saat mereka berdua, Alya mencoba mengungkapkan perasaannya. "Arman, aku merasa ada yang salah dengan hubungan kita," katanya pelan.

Arman menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Alya? Aku pikir kita baik-baik saja."

Alya menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku merasa mencintaimu, tapi entah kenapa aku tidak merasa bahagia. Setiap kali aku berusaha mendekatimu, aku merasa seperti ada dinding yang tidak bisa aku lewati."

Arman terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Alya, mungkin masalahnya bukan pada cinta kita, tapi pada ekspektasi kita terhadap cinta itu sendiri. Mungkin kita berharap terlalu banyak dari satu sama lain."

Kata-kata Arman membuat Alya merenung. Mungkin benar, mereka telah membangun ekspektasi yang terlalu tinggi, berharap bahwa cinta saja cukup untuk membuat mereka bahagia. Namun, semakin hari, Alya menyadari bahwa cinta yang ia rasakan untuk Arman justru membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran perasaan yang membingungkan.

Hubungan mereka terus berlanjut, meski Alya semakin sering merasakan kehampaan. Arman sering sibuk dengan pekerjaannya, dan Alya merasa diabaikan. Setiap kali mereka bersama, ada perasaan canggung yang tak bisa dihilangkan. Alya mencoba bertahan, berharap semuanya akan membaik, tapi rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi.

Suatu hari, Alya memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Nia. Mereka duduk di taman, tempat di mana mereka sering berbagi cerita.

"Nia, aku merasa tersiksa dengan perasaanku sendiri. Aku mencintai Arman, tapi aku tidak bahagia. Aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri," ujar Alya dengan suara lirih.

Nia menatapnya dengan penuh empati. "Alya, mencintai seseorang tidak seharusnya membuatmu merasa tersiksa. Cinta seharusnya membawa kebahagiaan dan ketenangan. Mungkin kamu perlu mempertimbangkan kembali apa yang sebenarnya kamu inginkan."

Kata-kata Nia membuka mata Alya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada cintanya kepada Arman, hingga melupakan kebahagiaannya sendiri. Alya tahu ia harus mengambil keputusan yang sulit demi kebaikan dirinya sendiri.

Pada suatu malam, Alya mengajak Arman bertemu di tempat pertama kali mereka berkenalan. Di bawah cahaya bulan yang redup, Alya mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.

"Arman, aku ingin berbicara serius denganmu," kata Alya dengan suara yang sedikit bergetar.

Arman mengangguk, menatapnya dengan serius. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Alya?"

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku menyadari bahwa mencintaimu tidak membuatku bahagia. Aku merasa kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini. Mungkin kita harus mengambil jalan masing-masing untuk menemukan kebahagiaan kita sendiri."

Arman terkejut mendengar kata-kata Alya. "Alya, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu?"

Alya mengangguk dengan tegas. "Iya, Arman. Aku yakin. Aku harus belajar mencintai diriku sendiri dan mencari kebahagiaan yang sebenarnya."

Arman terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku mengerti, Alya. Jika ini yang terbaik untukmu, aku akan mendukung keputusanmu."

Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang berat. Alya merasa lega setelah mengungkapkan perasaannya, meski ada rasa sakit yang mendalam. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah langkah awal untuk menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Waktu berlalu, dan Alya mulai menemukan kembali dirinya. Ia fokus pada hobi dan impian yang selama ini terlupakan. Alya bertemu dengan orang-orang baru yang membawa kebahagiaan dan inspirasi dalam hidupnya. Meski masih ada kenangan tentang Arman, Alya tahu bahwa keputusannya untuk berpisah adalah langkah yang tepat.

Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman, Alya bertemu dengan Nia. Mereka duduk di bangku yang sama, berbagi cerita seperti dulu.

"Nia, terima kasih atas dukunganmu. Aku merasa lebih bahagia sekarang, meski jalan yang aku tempuh tidak mudah," kata Alya dengan senyum di wajahnya.

Nia tersenyum kembali. "Aku selalu ada untukmu, Alya. Yang terpenting adalah kamu menemukan kebahagiaanmu sendiri."

Alya menatap langit biru yang cerah, merasa damai dengan keputusan yang telah ia buat. Ia menyadari bahwa mencintai seseorang tidak selalu membawa kebahagiaan, tapi mencintai diri sendiri adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.

https://bit.ly/KONGSIVolume1

Ig pulpen
Ig pulpen

Ig pulpen
Ig pulpen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun