Dimas mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar nada serius Rania. "Apa itu, Ran?"
"Aku merasa... kamu cuma ada saat butuh sesuatu dari aku. Ketika aku yang butuh kamu, kamu selalu nggak ada. Aku nggak tahu, mungkin aku salah. Tapi aku merasa seperti itu."
Dimas terdiam. Ia menunduk, merenungi kata-kata Rania. "Rania, aku... aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Mungkin aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."
"Setiap orang punya kesibukan, Dimas. Tapi kita sahabat, kan? Seharusnya kita saling mendukung, bukan hanya ketika salah satu dari kita membutuhkan sesuatu," balas Rania, suaranya mulai bergetar.
Dimas menatap Rania dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Aku nggak pernah berpikir kalau aku membuatmu merasa seperti itu, Rania. Maafkan aku."
Rania menghela napas panjang. "Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku sayang kamu, Dimas. Tapi aku juga harus menghargai diriku sendiri."
Setelah percakapan itu, Rania memutuskan untuk menjaga jarak dari Dimas. Ia ingin memberi waktu untuk dirinya sendiri, untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan dari hubungan mereka. Rania mulai fokus pada dirinya, mengejar mimpi dan ambisinya tanpa selalu bergantung pada Dimas.
Bulan demi bulan berlalu, dan Rania menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Ia bertemu dengan orang-orang baru, membangun hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung. Meski demikian, kenangan bersama Dimas tetap ada di hatinya.
Suatu hari, Dimas menghubungi Rania. Suaranya terdengar ragu-ragu di telepon. "Rania, aku ingin ketemu. Bisa?"
Rania setuju, meski dengan sedikit keraguan. Mereka bertemu di taman, tempat di mana banyak cerita mereka bermula. Dimas terlihat berbeda, lebih dewasa dan tenang.
"Rania," kata Dimas dengan sungguh-sungguh, "aku sudah banyak merenung sejak terakhir kita bicara. Aku menyadari banyak kesalahanku dan betapa pentingnya kamu buat aku. Aku ingin memperbaiki semuanya, kalau kamu masih bersedia memberi kesempatan."