"Iya, tapi nggak sebaik kamu. Aku lebih suka basket, sebenarnya. Tapi voli juga seru," balasku, mencoba terdengar santai.
Percakapan kami terus berlanjut, dan aku merasa semakin nyaman. Rina ternyata bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan menyenangkan. Kami berbicara tentang banyak hal, dari hobi hingga impian masa depan. Hari itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku.
Seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Aku sering mengajaknya makan siang bersama atau sekadar duduk di taman sekolah. Teman-teman mulai menggoda kami, tapi aku tidak peduli. Perasaan cintaku pada Rina semakin dalam setiap harinya.
Suatu hari, ketika matahari terbenam, kami duduk di bangku taman. Dengan gugup, aku mengumpulkan semua keberanianku untuk mengungkapkan perasaanku.
"Rina, ada sesuatu yang ingin aku katakan," kataku dengan suara gemetar.
"Ada apa, Raka?" tanyanya lembut.
"Aku... aku suka sama kamu. Dari pertama kali aku lihat kamu di lapangan, aku sudah terpesona. Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini, tapi aku benar-benar jatuh cinta sama kamu."
Rina tersenyum lembut dan meraih tanganku. "Aku juga suka sama kamu, Raka. Sejak kita mulai berbicara, aku merasa kita punya banyak kesamaan. Aku senang kita bisa semakin dekat."
Kata-katanya membuatku merasa seperti terbang ke awan. Hari itu, di bawah langit senja yang indah, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Kisah cinta kami dimulai dari jendela kelas, dan kini kami menjalani hari-hari bersama dengan penuh kebahagiaan.
Setiap kali aku melihat ke jendela kelas XII IPA 3, aku tersenyum, mengenang awal mula kisah cinta yang tak terduga ini. Rina adalah hadiah terindah yang pernah aku dapatkan di SMA, dan aku berjanji akan selalu menjaganya dengan sepenuh hati.