Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ohh...Nasib - ku

30 Juni 2024   15:59 Diperbarui: 30 Juni 2024   16:31 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kecil, hidupku selalu penuh dengan keputusan yang salah. Aku tumbuh di sebuah desa kecil yang sunyi, jauh dari keramaian kota. Ayahku seorang petani sederhana, dan ibuku seorang penenun. Mereka selalu berharap aku bisa mengubah nasib keluarga kami, tapi setiap langkah yang kuambil justru menjerumuskan diriku ke dalam penderitaan yang lebih dalam.

Saat remaja, aku memutuskan untuk merantau ke kota demi mencari kehidupan yang lebih baik. Dengan tabungan yang sedikit dan harapan besar, aku pergi meninggalkan desa. Di kota, aku bekerja serabutan, dari menjadi kuli bangunan hingga pelayan restoran. Namun, nasib sial selalu mengikutiku. Aku sering dipecat karena kesalahan-kesalahan kecil yang kulakukan.

Suatu hari, seorang teman lama yang kutemui di kota mengajakku bergabung dengan sebuah bisnis yang tampaknya menguntungkan. Dengan penuh semangat, aku bergabung tanpa banyak bertanya. Namun, ternyata bisnis itu adalah penipuan besar. Ketika polisi menggerebek tempat kami, aku ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun. Masa-masa di penjara itu adalah neraka bagiku. Setiap hari, aku meratapi kebodohanku dan merindukan kebebasan.

Keluar dari penjara, hidupku tidak menjadi lebih baik. Stigma mantan narapidana membuatku sulit mencari pekerjaan. Aku terpaksa hidup di jalanan, mengemis dan mencari makan dari sisa-sisa makanan di tempat sampah. Ketika musim hujan datang, aku sering jatuh sakit, tapi tak punya uang untuk berobat.

Suatu malam, ketika aku meringkuk di bawah jembatan, aku bertemu dengan seorang pria tua. Dia tampak sepertiku, terlunta-lunta tanpa arah. Kami mulai berbicara, dan dia bercerita tentang kehidupannya yang juga penuh dengan penderitaan. Dia memberi nasihat padaku untuk tidak pernah menyerah, meski hidup ini kejam.

Namun, nasihat itu sulit kujalani. Setiap kali aku mencoba bangkit, selalu ada sesuatu yang menarikku kembali ke dasar. Aku pernah mencoba membuka usaha kecil-kecilan, tapi modal yang minim dan persaingan yang ketat membuat usahaku bangkrut dalam waktu singkat. Aku juga pernah bekerja sebagai buruh kasar di pelabuhan, tapi tubuhku yang sudah lemah sering kali tidak kuat menahan beban pekerjaan.

Tahun demi tahun berlalu, dan hidupku tetap sama. Aku melihat teman-temanku satu per satu berhasil dalam hidup mereka, sementara aku tetap terjebak dalam lingkaran kesialan dan kemiskinan. Mereka menikah, memiliki anak, dan menikmati kebahagiaan sederhana yang tak pernah kucicipi.

Kini, usiaku sudah menginjak senja. Rambutku memutih, dan tubuhku semakin ringkih. Aku hidup sendirian di sebuah gubuk reyot di pinggir kota. Setiap hari, aku hanya bisa merenungi hidupku yang penuh dengan kesalahan. Langkah-langkahku yang salah telah menjerumuskan diriku ke dalam jurang penderitaan yang dalam.

Aku sering duduk di depan gubuk, memandang langit senja yang indah. Di balik semua kesengsaraan ini, aku masih bisa menemukan kedamaian kecil dalam keindahan alam. Meskipun hidupku penuh dengan penderitaan, aku belajar menerima takdirku. Aku sadar bahwa tidak semua orang diberkahi dengan keberuntungan. Ada yang harus menjalani hidup penuh dengan cobaan, dan mungkin aku adalah salah satunya.

Meskipun demikian, aku tetap berharap, di sisa-sisa hidupku, aku bisa menemukan sedikit kebahagiaan. Mungkin tidak dalam bentuk kekayaan atau kesuksesan, tapi dalam bentuk ketenangan hati dan penerimaan diri. Hingga saatnya tiba, aku hanya bisa terus berjalan, meski langkahku selalu menjerumuskan diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun