"Aku... aku hanya ingin kalian bahagia," bisiknya lemah. "Maafkan Bapak kalau Bapak merepotkan..."
Aku menggenggam tangannya, mencoba memberikan kekuatan. "Bapak, jangan bicara begitu. Kami sayang Bapak," kataku, meski aku tahu hanya akulah yang benar-benar tulus mencintainya. Kakak-kakakku hanya diam, larut dalam dunia mereka sendiri yang penuh dengan kemaksiatan dan kesia-siaan.
Beberapa hari kemudian, Bapak meninggal dunia. Hari itu menjadi hari paling kelam dalam hidupku. Aku merasa sendirian, tak tahu harus bagaimana melanjutkan hidup. Kakak-kakakku masih saja sibuk dengan kebiasaan buruk mereka. Mereka bahkan tidak peduli untuk mengurus pemakaman Bapak. Aku yang masih belia harus mengurus semuanya sendiri dengan bantuan tetangga.
Di hari pemakaman Bapak, hanya aku dan beberapa tetangga yang hadir. Kakak-kakakku tidak muncul sama sekali. Hatiku benar-benar hancur. Bagaimana mungkin mereka begitu tega? Bapak yang selalu berjuang untuk mereka, kini terbaring di tanah, tanpa ada satu pun dari mereka yang memberi penghormatan terakhir.
Setelah Bapak tiada, hidupku semakin sulit. Aku harus berhenti sekolah dan bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Tapi meski begitu, aku bertekad untuk tidak menyerah. Aku ingin memenuhi harapan Bapak, untuk hidup lebih baik dan tidak terjebak dalam kebiasaan buruk seperti kakak-kakakku.
Waktu terus berlalu, dan aku mulai menemukan jalan hidupku sendiri. Aku bekerja keras, dan akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku pun kembali melanjutkan sekolah sore hari, mengejar cita-citaku. Semua itu kulakukan demi Bapak, demi cinta dan pengorbanannya yang tak ternilai.
Sementara itu, kakak-kakakku tetap saja larut dalam dunia mereka yang kelam. Mereka kehilangan arah, dan tak pernah berubah. Aku sering mencoba mengajak mereka untuk bangkit, untuk berubah, tapi semua usahaku sia-sia. Mereka sudah terlalu jauh tenggelam dalam kebiasaan buruk mereka.
Suatu hari, ketika aku pulang kerja, aku menemukan rumah yang dulu kami tinggali bersama Bapak sudah hancur berantakan. Kakak-kakakku telah menjual segala barang berharga yang ada, termasuk kenangan-kenangan Bapak, untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Hatiku sakit, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Malam itu, aku duduk sendirian di depan rumah yang kosong, menatap langit malam yang penuh bintang. Aku merindukan Bapak, merindukan senyumnya yang hangat dan keteguhannya yang tak pernah goyah. Aku berjanji pada diriku sendiri, akan terus berjuang dan menjalani hidup dengan baik, seperti yang selalu diinginkan Bapak.
"Bapak, aku akan selalu ingat pesanmu. Aku akan hidup lebih baik, demi engkau," bisikku pada bintang-bintang.
Dan meski aku tahu Bapak tak lagi di sini, aku merasa dia selalu melihat dan mendukungku dari atas sana. Cinta dan pengorbanannya akan selalu menjadi kekuatan bagiku, untuk terus melangkah dan mengejar impian-impian yang pernah dia harapkan untukku.