"Amara, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," kata Bima dengan suara bergetar.
"Apa itu, Bima?" tanya Amara, menatapnya dengan mata penuh cinta.
"Kamu pernah kenal seseorang bernama Rangga?" Bima menatap dalam-dalam mata Amara, mencari tanda-tanda kebohongan.
Amara terdiam, wajahnya pucat. "Kenapa kamu bertanya tentang Rangga?" tanyanya dengan suara berbisik.
"Karena dia adalah kakakku," jawab Bima. "Dan aku datang ke sini untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu."
Amara menarik napas dalam-dalam, air matanya mulai mengalir. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu, Bima. Aku tidak tahu bahwa kamu adalah adik Rangga."
"Katakan padaku yang sebenarnya, Amara," desak Bima. "Apa yang terjadi malam itu?"
Dengan suara bergetar, Amara mulai menceritakan kejadian tragis malam itu. "Malam itu, kami bertengkar hebat. Rangga sedang mabuk dan dia memaksa untuk mengemudi. Aku mencoba menghentikannya, tapi dia tidak mendengarkan. Aku merasa sangat bersalah, itu semua salahku."
Bima terdiam, hatinya bergejolak. Dia bisa merasakan kebenaran yang tulus dalam kata-kata Amara, tapi rasa dendamnya masih belum hilang. "Jadi, kamu tidak bersalah?" tanyanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
Amara menggeleng, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku tidak tahu, Â aku hanya tahu bahwa aku sangat mencintai Rangga dan aku tidak bisa menghentikannya. Aku mencoba sekuat tenaga, tapi dia tetap keras kepala."
Melihat tangis dan air mata kesedihan Amara, hati Bima mulai luluh. Dia menyadari bahwa Amara juga korban dalam kejadian ini. Cintanya terhadap Amara semakin kuat, dan dia tahu bahwa dia harus memaafkan dan melupakan masa lalu.