Mohon tunggu...
NASRUDDIN OOS
NASRUDDIN OOS Mohon Tunggu... melalang buana, kerja g jelas kuliahpun tidak jelas -

Ah, Gelap

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pamplet Itu Belum Kau Tulis Nama

9 Februari 2010   16:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:00 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

PAMPLET ITU BELUM KAU TULIS NAMA

Oleh ; Nasruddin

Aku tahu bahwa bulan itu tidak bulat, saat aku melumat bibir manismu. Sungguh di luar dugaan dan akal sehatku, kau yang terlihat begitu seksi. Walau separuh bayamu itu telah banyak melahirkan anak-anak. Kuakui hanya sedikit kulitmu berkerut. kapan02Jauh di sudut pandang kuberikan itu. Telah lama kau berdiri, sudah 22 tahun lebih, kian hari kian banyak anak-anak berlari-lari dalam pekarangan area yang ditentukan. Tapi sayang, anak-anakmu tak mau menoleh ke belakang lagi. Bila pun ia menoleh mungkin akan membuat dia kaian ragu menuju kota harapan.

Di sini kutulis catatan burukmu dan itu telah kaumunculkan sendiri. Mungkinkah anak-anakmu tak lagi tau alamatmu hanya karena alasan bahwa tata ruang pembangunan telah berubah. Namun, jalan-jalan itu masih jalan yang sama, masih nama yang sama, jalan-jalan itu telah menjadi kenangan yang berpulang ke masa lalu. Kulihat kau berdiri di sana seakan kau masih menampakkan keelokan tubuhmu yang dulu sebagai penarik auramu.

Kondisi sekelilingmu telah berubah. Tapi sayang, kau tak bisa mengikuti perkembangan zaman, “Ah kuno loe”. Aku berpikir sebelum melumat bibirmu, kudapatkan sebuah kedahsyatan yang tiada tara. Ternyata sungguh mengecewakan. Padahal, aku sudah sangat bergairah.

Pamplet itu belum kautulis nama. Ketika anak-anakmu yang sekarang masih setia dan mengabdi padamu. Sore sebelum mentari kembali ke peraduan, warna jingga terlihat di ufuk barat sebagai pertanda bahwa sebentar lagi malam akan tiba. Namun, sering kausebut atau istilah dari zaman ke zaman itu “waktu maghrib.” Mereka selalu duduk di situ bercengkrama melihat para penghuni yang asyik dengan kumpulan-kumpulan besi yang bisa bergerak dengan alasan “punya karet.” Tempat itu juga telah menjadi kenangan sebelum mereka pergi meninggalkanmu. Pekaranganmu sudah sangat bagus, karena memiliki besi-besi yang hanya di depan saja.

Malam yang tak rela membatu, anakmu itu masih suka bermain-main dengan mainannya. Kalau dulu, mereka bermain dengan sesuatu yang menimbulkan bunyi. Kaubilang, “Jangan,” karena itu merusak pendengaran orang. Padahal mereka mendendangkan sebuah lagu lama “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”. Yaaach….. lagi-lagi mereka dapat masalah hanya karena suara mereka terlalu fals. Namun, kini anak-anak itu telah bertambah dan pemikirannya juga kian kritis. Karena, lingkungan mereka mengajarkan itu dan mereka tetap anak-anak yang masih suka bermain.

Aneh…… mungkin ketika masalah keluarga yang ditimbulkan oleh seorang anak atau beberapa orang anak, masalah itu kaubawa keluar sampai kaubuat pengaduan ke kantor polisi. Yaaaa…. Apakah itu betul? atau hanya gertakanmu saja? Mereka memang masih suka bermain-main dengan cat di pamplet yang baru kaubuat itu. Walau belum ada nama. Di situlah tempat mereka bermain-main. Itu juga salah, menurut penilaianmu.

Aku juga menerima bahwa seorang anak harus patuh pada orang-orang yang lebih tua atau terlalu ketuaan. Apa lagi berbicara nasib….. Memang duluan lahir nasibmu! aku bukan membela anak-anakmu yang salah…. lagi pun, aku bukan ahli hukum atau seorang yang bekerja pada perlindungan anak. Paling tidak, aku pernah pergi ke pengadilan dan kasusnya hampir sama, walau tak serupa. Di sana aku “mendengar,” lalu sekarang aku juga berkata padamu bahwa perbuatan anak-anakmu itu… “salah” tapi “tidak jahat.”

Setidaknya kautulis nama pada pamplet itu, agar orang-orang tahu bahwa kau menjual beberapa menu di sini. Walau itu hanya sedikit, karena delapan menu. Orang lain tahu, karena orang-orang itu pernah lewat. Bahkan, ada yang mendengar cerita dari orang-orang yang pernah melewati tempat itu, yang seharusnya kautulis nama di pampletnya.

Kini aku lebih mengenal tentang sosokmu setelah aku melumat bibir manismu. Yaaaach….. ternyata kau hanya manis di bibir atau menurut bahasa yang pernah dipopulerkan oleh pedangdut Meggi Z, “Senyum Membawa Luka.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun