KAMPUS “KONYOL”
Oleh : Nasruddin
Suatu hari kampusku diguyur hujan dan air tergenang di beberapa sudut halamannya. 100Bahkan hampir setiap hujan menguyur air selalu tergenang di sana. Ya, ini tentu disebabkan oleh tidak adanya drainase dan tata letak pembangunan yang kurang terkonsep, atau jangan-jangan memang tidak memiliki konsep bagaimana caranya membangun sebuah lingkungan bersih dan nyaman.
Sungguh terlalu naïf, berbicara cinta tapi tak ada rasa cinta untuk membangun sebuah lingkungan yang membuat rasa ketenangan dalam berinteraksi. Minggu kemarin aku duduk dengan seorang teman sambil ngopi di warung cukup sederhana, sambil melepas kangen-kangenan karena memang sudah lama kami tak berjumpa. Segudang bahasa kerinduan terlepas, namun satu hal membuatku mempelajari kata-kata konyolnya.
Seandainya aku bisa berandai-andai mungkin aku akan berandai-andai tentang hal-hal yang lebih konyol seperti berandai-andainya seorang musisi Indonesia Ahmad Dahi pentolan DEWA 19 feat Crisye itu, “Jika surga dan neraka itu tidak ada.” Ya atau mungkin kita harus selalu berbicara jujur tanpa berandai-andai, agar di antara kita kian akrab dan setia, tapi janganlah seperti kejadian sepasang kekasih, malam hari berjanji untuk selalu bersama dan setia. Nah belum lagi sampai 24 jam, semua omongan itu sudah terbukti, bukankah kejujuran yang paling jujur adalah kebohong yang paling besar?
Kami mungkin sudah lama menyadang predikat mahasiswa. Kawan-kawan kami sudah lagi skripsi dan ada sebagian bahkan sudah terlalu banyak mahasiswa seangkatan kami telah wisuda. Kami hanya sedikit yang masih menjadi “anak kampus,” bermacam alasan muncul sebagai pertanggungjawaban, memang masalah klasik tidak bisa kami elakkan. Sudah beberapa tahun tak punya uang untuk bayar SPP, pada hal Eko Prasityo pernah berkata dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah,” mungkin itu salah satu alasan kami bertahan, tapi semua orang pada memburu, memburu-buru hal-hal yang terburu-buru.
Dari sewaktu aku pertama masuk kampus ini sampai bertahan hari ini, tidak banyak berubah. Kalau dulunya di belakang sana ada lapangan bola volly di dekat musallah atau lebih tepat dulunya di depan akademik Tarbiyah, sekarang sudah berdiri beberapa ruang termasuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK).
Hampir setiap tahun diadakan turnamen oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT) tingkat mahasiswa dan pelajar se-Banda Aceh dan Aceh Besar. Di belakang sana lagi sekitar 10 meter ada lapangan bola kaki. Di lapangan bola kaki itu sering dibuat turnamen bola kaki antara mahasiswa yang waktu itu dibuat oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas kalau sekarang lebih dikenal dengan Pemerintahan Mahasiswa
Kini, di sana sudah ada sebuah ruang diberi nama Peradilan Semu dan kantor Fakultas Tarbiyah, serta ada empat ruang kuliah. Kalau pagi untuk mahasiswa akademi Fisioterapi dan sorenya untuk mahasiswa Fakultas Ekonomi. Di sudut sana ada bangunan belum siap atau memang tak mau disiapkan. Bangunan itu berdekatan dengan pusat perkantoran Badan Eksekutif mahasiswa -walaupun tidak semua BEM fakultas memiliki itu, ya contohnya untuk BEM Fisioterapi dan BEM Psikologi.
Aku masih berbincang-bincang dengan kawan tadi, tentang dulunya sebuah kebanggaan aku bilang bahwa di kampusku juga pernah memiliki hal-hal seperti itu, lalu kawanku itu bertanya sekarang ke mana semua itu? Aku binggung tak tau mau jawab apa. Namun kujawab, semua itu sudah kusimpan dalam bingkai. Aku heran dan bertanya sendiri, apakah kampusku ini mapan atau anti kemapanan. Aku binggung dengan hal-hal seperti ini.
Apalagi dua bulan kemarin, ada pembagian beasiswa. Konon orang-orang yang mendapatkannya atau pernah mendapatkan maka mendapatkan lagi pada priode berikutnya. Yan glebih mengherankanku, seorang kawan di kampusku berkata bahwa ada mahasiswa di fakultasnya berkerja juga di universitas atau tepatnya karyawan tapi dia juga mendapatkan beasiswa itu. Ya, kukatakan padanya bahwa itu wajar-wajar saja, karena dia juga termasuk orang dekat dengan pengambil kebijakan itu. “Goblok,” kawanku berkata dengan wajah garang. Aku hanya menatapnya sinis sambil melihat jejak-jejak langkahnya.
Kalau Irak lebih dikenal dengan negeri 1001 malam, tapi kampusku lebih di kenal dengan 1001 masalah. Masalah yang satu belum selesai selanjutnya muncul masalah baru. Memang rumit ketika tumpang tindih masalah dan kebijakan, sehingga aktivitas mahasiswa sering terbengkalai. Kegiatan mahasiswa sudah selesai dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sudah diberi namun utang piutang belum lunas, seperti yang dirasakan oleh kawan-kawan yang aktif di bidang kesenian.
Masalah tadi sungguh mematahkan semangat kawanku. Aku mengetahuinya ketika dia berkeluh kesah sambil memegang sendok kecil sesekali dipukul pada gelas kopi, menimbulkan suara beraturan penuh irama, menurut pengamatanku sich. Sedangkan kegiatan lain yang juga dibuat oleh mahasiswa bahkan melibatkan semua lembaga mahasiswa LPJ dananya belum dikasih tapi semua uang sudah habis dicairkan. Ada apa ini? Seperti inikah momentum pilih kasih. Oh sungguh kasihan jika ada lembaga yang tidak terpilih menjadi bulu kasih itu.
Kini aku tahu kenapa masalah-masalah itu muncul tanpa penyelesaian. Mereka takut kampus itu menjadi modern, menjadi kampus yang maju di negeri ini. Mereka takut membangun daya pikir mahasiswa ke arah progresif.
Sumber : http://inasoos.wordpress.com/2009/05/12/kampus-%e2%80%9ckonyol%e2%80%9d/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H