Mohon tunggu...
Cerpen

Tangisan Ibu di Negeri Cahaya

1 Januari 2019   22:41 Diperbarui: 1 Januari 2019   23:08 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cuaca di luar kamar yang masih gelap serta sejuk menenangkan hati, alunan adzan di dalam kamar membuatku terbangun dan bersujud syukur bisa menikmati kesan yang tidak pernah kudapatkan di kampungku. 

Semua bentuk ibadah berupa berdiri, rukuk, sujud, dan berdoa menjadi hal yang tidak bisa kutinggalkan setiap detiknya di kota mulia ini. Semua pada asalnya adalah berpahala, tetapi hanya di kota mulia ini aku merasakan betapa masyarakat Muslim adalah masyarakat yang kaya, beda dari anggapan orang orientalis yang merasa bahwa masyarakat Muslim itu hanya sekumpulan orang miskin tak berdaya.

                "Mas, ayo kita shalat Tahajud di masjid, mumpung masih panjang waktunya!", teriak istriku yang bernama Risa.

                "Iya my darling, aku tak wudhu sek yo." Balasku dengan sedikit bahasa Jawa logat Palembang yang bisa disebut bahasa Jombang, singkatan dari Jowo Palembang.

Setelah mengambil wudhu, kami pun pergi menuju Masjidil Haram yang berjarak sekitar 100 meter dari hotel Tower Zam-zam, tempat aku dan istriku menginap. Buru-buru aku dan istriku berjalan ke masjid agar tidak ketinggalan waktu shalat Tahajud layaknya Zorro dikejar oleh musuh-musuhnya, mendadak kami melihat dari jarak 30 meter seorang kakek tua renta sedang berjalan menuju Masjidil Haram dengan merangkak.  Aku dan istriku saling menatap satu sama lain antara keheranan dan kasihan dengan kakek tua renta tersebut.

                "Mas, ayo mas kita harus shalat Tahajud, waktunya sudah mau habis." Ujar istriku buru-buru.

                "Sebentar darling, Tahajud itu hukumnya sunnah, sementara membantu orang yang kesulitan adalah kewajiban kita sebagai makhluk sosial dan beragama".

                "Untuk Shalat Tahajud, insya Allah kita masih sempat, kalaupun tidak sempat maka Allah Tau niat kita sebenarnya. Dengan kita menolong, maka pahala beliau saat shalat akan mengalir ke kita.", ujarku sambil setengah kultum

Akhirnya kami pun menghampiri kakek tua renta itu yang ternyata asli Arab Saudi. Beliau tinggal sendirian di dekat Masjidil Haram dan selalu merangkak untuk berangkat shalat 5 waktu dari rumahnya.

                "Ya Syekh, Hayya Nadzhab ila Hunaka Jamaah", ajakku dengan bahasa Arab Fushah.

                "Masya Allah ya akhi, barakallahufik", balasnya dengan mata berbinar.

Saat itulah aku menggendong orang tersebut ke Masjidil Haram dan kami pun ikut shalat Subuh berjamaah. Dalam sujudku, aku menangis. Menangis karena menyaksikan kakek tua renta yang selalu beribadah tepat waktu dengan merangkak dari rumahnya, yang bahkan aku sendiri merasa kalah dengannya padahal aku telah diberikan Allah keilmuan yang banyak hingga sampai ke kota suci ini, bahkan bisa mengajak istriku dari Indonesia agar tinggal disini selama aku menyelesaikan program doktoral ku. Dan aku pun menangis betapa pedihnya perjuangan ibuku dalam membantuku untuk sampai ke kota suci ini sehingga aku menjadi seperti sekarang.

                Cahaya kegelapan menghantuiku ketika aku masih berumur 12 tahun. Aku besar di suatu kota bernama Palembang, yang biasa disebut kota pempek. Hidupku penuh dengan kesia-siaan yang membutakanku menuju jalan agama. Hidupku penuh dengan kemewahan di dapat dari kesuksesan ayahku bekerja menjadi General Manager PT.SENTOSA, perusahaan logistik ternama di kota Palembang. Kehidupan yang mewah ini membuatku tumbuh menjadi orang manja, tidak berjiwa sosial, bahkan tidak peka terhadap situasi. Dalam benakku sebagai anak kecil berumur 12 tahun, aku bercita-cita seperti ayahku yaitu menjadi intrapreneur yang sukses. Intrapreneur adalah bahasa lain dari pekerja professional di perusahaan orang lain. Bahkan aku sudah dipersiapkan dari kecil, yaitu sekolah di SMP berskala internasional bernama SMP TUMBANG, kependekan dari Tumpuan Bangsa.

                Selama aku bersekolah, aku dikelilingi teman-teman yang tidak banyak mengutamakan agama, sehingga aku pun memiliki sifat "bodoh amat" dengan dunia agama. Bagiku, agama adalah agama, tidak perlu bercampur dengan urusan sekolahku. Untuk apa agama mencampuri urusan hidupku, yang ada hanya akan membatasi kehidupanku. 

Aku tidak mau menjadi orang yang dibatasi, tidak mau menjadi teroris yang mengutamakan agama untuk pembunuhan, dan menjadi orang bodoh yang hanya memikirkan agama nya selalu benar. Pada akhirnya aku habiskan masa mudaku dengan foya-foya, pergi pagi pulang tengah malam, dan menikmati kehidupan seks bebas bersama pacarku. Tidak heran, meskipun masih kecil tapi karena lingkunganku, aku pun merasa tidak berdosa dengan perbuatan seperti itu.

                Ada satu amalan yang ibuku tidak lupa dalam mendidikku, yaitu menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Aku tidak tau apa guna nya, ibuku menyatakan bahwa itu untuk masa depanku, tapi buat apa toh aku sudah hidup enak. Perselisihan hebat antara aku dan mamaku pun tidak luput setiap hari, sehingga aku sedikit temperamen ketika berhadapan dengan ibu. Esok pagi, kehidupanku mulai berubah ketika aku mendengar sayup-sayup pembicaraan ayah dan ibuku di ruang tengah. Selimutku pun kuhempas dan aku menguping sedikit pembicaraan mereka.

                "Ibu, bagaimana ini...ayah kemarin baru ikut kajian tentang parenting, dan ayah akhirnya sadar bahwa ayah tidak boleh menyia-nyiakan anak kita", ujar ayahku.

                "Maksud ayah?" tanya ibuku

                "Iya, ayah mau kelak anak kita menyelamatkan kita dari siksa yang panas, yaitu api neraka".

                "......Alhamdulillah......akhirnya ayah sadar betapa penting nya mendidik anak kita tidak hanya untuk dunia, tapi untuk akhirat. Tenang ayah, ibu sudah mendidik anak kita melalui menabung. Tidak tau sampai kapan, uang sedikit dari sisa uang jajan anak kita selalu ibu suruh tabung".

                "Lalu ibu mau apa dengan uang itu?", tanya ayahku penasaran.

                ".......ibu.....kelak...berharap anak kita bisa naik haji dan belajar agama disana. Kelak anak kita yang akan menyelamatkan kita dari siksa selama beratus-ratus tahun. Meskipun anak kita tidak terlihat seperti itu bahkan sangat jauh, tapi ibu percaya bahwa dia akan menjadi penyelamat kita", ucap ibuku sambil terisak-isak menangis.

                "Ayah, ibu tidak bisa berbuat banyak untuk Andi. Ibu merasa bersalah tidak bisa membuat Andi sadar betapa penting nya kehidupan dia. Cibiran dari tetangga selalu menghampiri ibu tentang Andi, tetapi ibu selalu bilang bahwa Andi adalah calon orang sukses dunia akhirat kedepan. Meskipun tentangga tidak percaya dengan kata itu, tapi...ibu percaya, sangat percaya...." Lanjut ibuku sambil menangis sejadi-jadi nya mengeluh tentang cibiran tetangga yang membuat dia cukup tersiksa.

Tubuhku entah kenapa bergetar, air mata bercucuran dari mataku. Ya Allah, apa yang telah kuperbuat. Untuk pertama kali nya, aku melihat ibu menangis. Kenapa beliau tidak langsung bilang terus terang kepadaku? Kenapa beliau tidak mengutarakan cibiran tetangga terhadapku? Kenapa..kenapa. Sebejat-bejat nya aku, aku paling pantang untuk membuat orang tua menangis, terlebih ibuku. Aku pun ikut menangis dan menyesalkan apa yang telah kuperbuat. Akhirnya aku pun membulatkan tekad bahwa aku harus memenuhi ekspektasi ibuku, yaitu naik haji dan belajar agama. Itu semua kulakukan demi menghapuskan air mata ibuku.

                Mulai hari itu sampai umurku 17 Tahun, setiap hari nya aku hanya menggunakan uang sekitar 10 ribu rupiah dari uang jajan yang berjumlah 50 ribu rupiah sehari. Tidak hanya itu, demi menabung aku pun rela belajar bahasa Arab secara otodidak agar gratis. Akun Instagram yang berisi pembelajaran bahasa Arab aku manfaatkan untuk belajar. Pada akhirnya, ketika aku lulus SMA, aku menjadi mahir dalam berbahasa Arab. Tetapi yang membuatku bingung adalah uangku hanya terkumpul sebesar 50 juta rupiah. 

Agar uang sebesar itu aman, maka aku tabung di Bank Danamon Syariah di paket Tabungan Haji. Berharap uang ini kelak bisa aku gunakan untuk naik haji, meskipun aku tidak tau bagaimana caranya. Saat di masjid, aku bersujud memohon ampunan serta solusi kepada Allah Yang Maha Tau. Tidak lama setelah aku shalat, ada salah satu ustadz lulusan Arab Saudi menghampiriku dan bertanya kenapa aku terlihat bersujud lama sambil menangis, bernama ustadz Faris. Merasa nyaman, aku pun menceritakan semua kisahku dari awal sampai masa aku tidak memiliki tabungan yang cukup untuk naik haji sekaligus menghapus air mata ibuku secepatnya. Aku berharap bisa menyelamatkan ibu dan bapakku dari siksa api neraka dengan berubah menjadi lebih baik dan naik haji sebelum ibuku meninggal. Bagai durian runtuh, ustadz Faris merekomendasikanku agar segera mendaftar Muqobalah di Jogja dengan bantuan temannya di Jogja. Langkah itupun aku ambil dan terbang menuju Jogja. Sebelum berangkat, untuk pertama kali nya aku melihat ibu tersenyum begitu lebar. Raut wajahnya yang seram berubah menjadi manis seperti bunga mawar.

                Selama tes Muqobalah, tentu aku mengalami cukup kesulitan dengan keterbatasanku berbahasa Arab dan ilmu agama yang belum cukup. Maklum, karena sainganku adalah anak-anak pesantren. Selama di Jogja, tidak lupa aku shalat Tahajud untuk kelulusan. 1 bulan setelah masa ujian, aku akhirnya membuka hape yang berdering. SMS kulihat, dan pengumuman itu menyatakan "Dari Universitas Islam Madinah, bahwa Andi Triguna dinyatakan LULUS". Alhamdulillah, perjuanganku belajar dan menahan semua hawa nafsuku sampai memutuskan hubungan dengan pacarku pun terbayarkan. Setelah kukabarkan kepada ibuku, tidak kubayangkan ibu akan berkata "Ibu merasa bahwa tabungan semata tidak akan cukup membuat naik haji, tapi niat usaha dan ikhtiar lah yang membuat cukup". Kata-kata sehalus salju itu pun terbukti. Kata-kata salju yang membuatku tidak hanya belajar disana, bahkan naik Haji pun akan jauh lebih mudah karena biaya transportasi dan penginapan akan berkurang drastis.

                Setelah fokus belajar sampai bergelar S2 dan umroh yang sudah kujalankan berkali-kali, akhirnya aku pulang ke kampung untuk menikah dengan wanita solehah pilihan mamaku. Kehidupanku sangat berubah, dan aku sadar betapa penting nya tabungan yang ibuku persiapkan untukku. Tidak dari segi material semata, tapi tabungan itu adalah bentuk dari perjuanganku dari kecil untuk menginjak tanah air serta menghapus air mata ibuku dan ayahku. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah memberikanku hidayah melalui tabungan naik haji yang tidak hanya membawaku untuk naik haji, tetapi membawaku untuk semangat dalam belajar agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun