Mohon tunggu...
nore inar
nore inar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pe-lu-pa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepulang Arisan

22 Oktober 2013   06:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini senin pertama di bulan September. Seperti biasa, setiap hari senin di minggu pertama bulan berjalan, selalu di gelar arisan rutinan, Arisan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan namanya, namun lebih sering di singkat dengan Arisan KKSS. Hari ini pertama kalinya aku menghadiri Arisan, sebab pada saat yang sama ayahku harus dinas malam di pos keamanan Desa Tibo, ibuku tak mungkin pergi sendirian, lagipula ibu tak mengerti cara mengendarai mobil.

Sebenarnya aku tak begitu antusias menghadiri acara seperti ini. Dimataku, arisan hanyalah tempat rumpi ibu-ibu dan bapak-bapak. Belum lagi bahasa yang mereka gunakan, aku paling tak mengerti dengan bahasa Makassar, meski Makassar adalah kota kelahiranku, tapi tetap saja aku tumbuh dan dibesarkan di Kota Palu. Satu-satunya hal yang membuatku bersemangat hanyalah kenyataan bahwa saat arisan adalah saatnya wisata kuliner. Apalagi kali ini menunya adalah Sop Konro, makanan favoritku.

Awalnya aku berpikiran bahwa akulah satu-satunya anak muda yang datang ke acara ini. Sebelum akhirnya mataku tertuju pada seorang lelaki muda berkacamata dengan kemeja putih bergaris-garis cokelat  yang duduk sekitar tiga kursi dari tempatku berada.

“Subhanallah... Masya Allah...” tak henti-hentinya hatiku meneriakkan Asma Tuhan, sungguh, aku kagum sekaligus heran, bagaimana bisa ada Malaikat di acara seperti ini?

Sepertinya dia bernasib sama denganku. Baguslah. Ternyata aku bukanlah satu-satunya anak muda di acara ini.

“Astaghfirullahaladzim...” cepat-cepat aku memohon ampun, bukan hanya karena aku takut dengan panah beracun yang akan dilesakkan oleh Iblis, tapi juga karena aku teringat dengan Mas Is, lelaki yang telah di jodohkan denganku.

Dengan segera kutundukkan pandanganku, melepaskan segala pesona lelaki berkacamata itu. Namun,bayangan wajahnya justru semakin lama semakin jelas di memoriku. Matanya, hidungnya, senyumnya, ahh...benar-benar Malaikat.

“Astaghfirullahaladzim...” Gumamku lagi. Perlahan, ada sedikit rasa sesal, mengapa tempo hari aku mengiyakan perjodohan itu.

“Kamu sudah liat orangnya, kan?” Tanya ibu sesaat setelah kami tiba di rumah, sepulang arisan.

Aku belum bisa menebak kemana arah pembicaraan itu, maka kuputuskan untuk diam dan menunggu ibu meneruskan kalimatnya.

“Kalau nggak salah, tadi dia pake kemeja putih bergaris-garis cokelat.” Kata ibu lagi.

“Deg!” jantungku mulai berdegup kencang, menyadari kalau ternyata yang ibu bicarakan ini adalah malaikat yang kulihat di arisan tadi. Lelaki dengan kemeja putih bergaris-garis cokelat.

“Dia Mas Ishak, calon suamimu, Nduk”

Terdiam. Sesaat kurasakan jantungku berhenti berdetak, seperti tak percaya dengan perkataan ibu barusan. Dan setelahnya kudapati bunga-bunga seperti sedang bermekaran di hatiku. Terimakasih Tuhan...  Malaikat itu ternyata Mas Is, calon suamiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun