Mohon tunggu...
Inarotul Faizah
Inarotul Faizah Mohon Tunggu... lainnya -

I am a spirit woman and sistematic :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Siluet di Puncak Burangrang

11 Desember 2013   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 15 November 2013.

“Iz..ada acara nggak?”

“Kapan?”

“Sore ini..”

“Aku lagi nggak enak badan euy, tadi aja bolos kuliah. Nggak kuat bangun tadi tuh..”

“Kamu sakit?”

“Iyyah...Emang mau pada pergi kemana?”

“Mau ke puncak Burangrang..”

“Wah??aslinyah?”

“Iyya...ikut nggak?”

“Aku sore ini ada les sii, emang berangkat jam berapa?”

“Abis jumatan berangkat..”

“Siapa aja?”

“Haikal, Sahid, Zaenal, Andi, Hanin, aku, Koko...”

“Waah..banyakan ya?? Ikutan dong...”

“Asli mau ikutan?”

“Heoh...sembuh deh pasti sembuh entar..dan aku bolos les.hehe”

Aku tak bisa menahan lagi hasratku untuk menggapai puncak  gunung. Nampaknya sakit kepala yang terus menyengat kepalaku tak kupedulikan lagi.  Burangrang..nama gunung yang lama ku dengar namun belum pernah kugapai. Rindu sekali rasanya ingin menikmati puncak gunung di Bandung ini. Salah satunya Burangrang.

11.00

Aku packing dengan barang seadanya. Tas gunung, headlamp, baju ganti, sleeping bag, matras, raincoat, kresek, alat mandi, alat shalat, dan tentu saja makanan. Untuk peralatan lain sudah dibawa oleh temanku, Haikal. :D. Makasih haikal...T_T

30 menit. Packing selesai. Aku buka buku “Bandung di Lingkung Gunung”, dan mencari informasi mengenai Gunung Burangrang yang akan aku dan kawan sependakianku daki.

Gunung Burangrang berada pada elevasi 2050 mdpl. Ada dua jalur menuju puncak Burangrang. Lengkong Haji dan Jalur Komando. Karena musim hujan akhirnya kami memutuskan untuk melewati jalur Komando yang relatif lebih aman, daripada jalur Lengkong Haji yang terjal dan licin.

Seusai shalat dzuhur. Aku makan dan cek barang bawaan. Tas gunung  60 liter telah penuh sesak dengan barang-barang camping. Tas gunung diangkat ke pundak, aku berkaca membenarkan letak kerudungku. Oke. Pendakian Siap!!

Aku pakai sepatu gunungku dan kutalikan dengan yakin. Lalu berangkat ke gate 2 UPI. Aku dan kawanku, Andi, menunggu kawan-kawan yang lain disana. Langit nampak mendung. Tetes-tetes gerimis mulai berjatuhan. Dan hujan mengguyur  bumi Bandung.

Aku dan kawanku yang lain mencari tempat untuk berteduh. Mengamankan tas gunung kami yang telah siap dipanggul hingga puncak Burangrang. Satu persatu kawanku tiba.

“Udah..jadi segini doang yang akan ikut?” ucap Haikal.

“Vicky, Hanin, Sahid, Zaenal? Jadi ikut nggak?”, tanyaku.

“Mereka lagi ngerjain Geo Tanah euy..”

“Oh..yaudah atuh berarti hanya bertujuh ya..”

“Yaudah yuk berangkat..”

Kami bertujuh. Rizka, Yanti, Haikal, Koko, Deni, Andi, dan aku sendiri berangkat ke terminal. Kami berangkat menggunakan angkot jurusan Parongpong, lantas dari terminal Parongpong, kami sambung dengan naik angkot jurusan Komando. Dan kami diantar hingga pos penjagaan TNI di dekat Curug Layung.

Dengan sigap seolah calon-calon perwira, kami turun, lalu meminta izin penjaga pos TNI itu.

“Bapak, punten..izin mendaki bapak...”

“Udah langsung aja keatas sana, sok aja kalau mau mendaki mah..buruan. Ntar keburu komandannya datang kesini lagi dan kalian nggak akan diperbolehin naik kesana. Mau ke Burangrang bukan?”

“Sumuhun bapak...”

“Yaudah sok naik aja kesana. Tapi beneran ini teh mau naik? Hujan deras gini, tanahnya licin lho. Kanan kiri jurang”

“Bismillah bapak, doakan atuh ya bapak...”

“Iyya di doakan ..ati-ati ya Karasep, Garelis..”

“Siap bapak!!”

Dengan sigap juga kami langsung memakai raincoat. Dan kami tutup tas gunung kami dengan cover bag. Hujan semakin deras. Halilintar menyambar-nyambar. Kilat pun demikian.

“Kal, yakin?”tanyaku ragu.

“Yakin iz..ada Alloh ini”

Aku mantapkan hatiku untuk mendaki Burangrang di tengah hujan yang sangat lebat dan halilintar yang menyambar-nyambar. Semuanya telah siap dengan raincoat masing-masing. Kecuali Yanti dan Deni. Mereka hanya memakai pelindung matras, tersebab tak membawa raincoat.

Disambut guyuran hujan yang semakin deras, kami mulai berjalan meninggalkan pos penjagaan TNI. Asli lah, ini pendakian pertama dibawah derasnya hujan. Nekad memang.hehe

Kini aku baru tahu kenapa banyak pendaki yang dilarang mendaki oleh TNI jika ketahuan lewat jalur komando ini. Alasannya hanya satu. Di wilayah ini, tepatnya didekat Situ Lembang sering digunakan untuk latihan tembak anggota militer. Sehingga takutnya ketika mereka sedang latihan ada peluru yang nyasar dan mengenai pendaki. Jadi aja gitu deh..

16.00 WIB

Ucapan bapak penjaga pos TNI yang baik hati ternyata memang benar. Hujan yang semakin deras membuat tanah yang kami injak terlampau licin. Sehingga tak hanya sekali dua kali kami terpleset. Namun kami tetap semangat mendaki Burangrang.

“Jalannya selang-seling aja ya..cowok-cewek cowok-cewek, saling menjaga ya..”, ucap Haikal.

“Siap komandan”, ucap kami bersamaan lalu diiringi dengan gelak tawa.

Sepanjang perjalanan selalu dipenuhi dengan gelak tawa khas persahabatan. Ngobrol ngalor ngidul, ngebuli salah satu oknum bullying.:) dan kami menikmati itu sepanjang perjalanan.

Hingga tiba di tanah lapang terahir yang harus kita lewati, namun sebelumnya kami tak tahu kalau itu adalah tanah lapang terahir yang harus kami lewati, lalu menuruni jalan yang gelap dan terjal, karena hari sudah mulai malam. Dan headlamp hanya ada satu saja, maka kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tanah lapang terahir itu.

Beban di pundak kami turunkan.

“Aaaah.....enaknya...minum dong minum...”

“Ayo bangun tenda dulu..” titah komandan Haikal.

“Siap komandan :D”

Lagi-lagi dipenuhi dengan gelak tawa lagi.

Tenda berhasil kami dirikan. Yap..tenda Dum yang hanya muat untuk 5 orang saja. Namun, dengan berbagai cara akhirnya tujuh personil berhasil masuk di tenda ini.

Setelah usai ganti dengan baju yang kering, karena raincoat yang menutupi tubuh kami selama perjalanan ternyata tak mampu menjaga keringnya baju kami, lalu kami menata matras untuk tidur di tenda dan merapat bertujuh. Komandan kami mengeluarkan kompor lapangan dan sepritus. Perut kami tak bisa dibohongi lagi, sudah kelaparan sangat. Ditambah hujan yang terus mengguyur dan suhu udara Bandung yang begitu dingin membuat kami tambah lapar. Dengan sebuah korlap dan sepritus, kami membuat nasi dan mie. Makanan yang pasti selalu dibuat nampaknya oleh para pendaki. Dan memasak air hangat untuk menyeduh kopi..

Hmmmm...wangi kopinya menggoda.

“Ada yang bawa gelas?” tanya Haikal.

Kami menggeleng. Dan bersama-sama tertawa.

Nampaknya kurang banget persiapannya ya.hihihi

“Aku bawa tuh satu..”, kata Deni.

“Ambil den sini den...”

Akhirnya kopi segelas diminum bertujuh. Dan itu terasa begitu nikmat. Kami merasa bukan teman lagi, namun saudara. Yaaa....saudara.

Nasi matang, mie goreng siap, dan kopi....

Kami tertawa-tawa.

“Ada yang bawa senndok?” tanya Haikal lagi.

Dan semua menggeleng, kecuali aku.

“aku bawa dua kal.”

“Sok sini, keluarin Iz..”

“Akhirnya kami makan dengan dua sendok untuk bertujuh, ditambah nasi yang kurang air dan mie yang bumbunya belum rata.

Kami saling memandang dan tiba-tiba tawa kami pecah. Nampaknya dengan pemahaman yang sama. Akhirnya dua sendok, saling suap. Ibarat seorang ibu, aku menyuapi anak-anakku yang kelaparan. :D

“Mba...a mba..”

“Mba..ih aku dulu mba a mba..”

“Iyya sabar ya sabar...kebagian kok semuanya...”

“Mbaaa..a ih a...”

Dan tawa terus bergolak. Lalu dengan ditemani headlamp yang dipasang diatas tenda, cukup menerangi kami bertujuh. Kami mulai bercerita, curhat, membully, menasehati dan tentu tertawa. Hingga satu persatu terlelap dengan posisi yang apa adanya. Dan aku bingung harus tidur dengan posisi bagaimana karena saking mungilnya tenda yang kami bangun. Aku pandangi wajah kawan-kawanku satu persatu.

Aku lukis dengan impian-impian lewat relung batinku.

Dan aku simpan raut wajah mereka didalam hatiku yang terdalam.

Indah dalam balutan persahabatan.

Haikal yang selalu penuh dengan canda tawa dan apa adanya.

Koko yang Chinese dan irama kentutnya yang tak tertangguhkan.

Andi sang emprof yang selalu menanggapi cerita kami dengan pemikiran-pemikiran ilmiahnya.

Deni yang tinggi dan berotot, ibarat samson, otot kawat tulang besi.:D tak sia-sia kau fitnes Den.:D

Yanti yang kecil-kecil cabe rawit.

Rizka yang selalu penuh dengan cerita.

Pendakian ini sangat berarti untukku.

Dan, ternyata. Aku memang tak bisa terpejam. Bunyi ngorok teman-teman akibat kelelahan. Bunyi kentut Koko yang sembarangan tanpa permisi dulu. :D. Haha...akhirnya aku terduduk di pintu tenda sebagai penjaga mereka. Sesekali ketika suara aneh dan suara langkah mendekati tenda kami, aku langsung berdehem, dan suara itu hilang. Hingga ada sebuah suara langkah kaki yang begitu dekat, dan aku tak tahan lagi untuk menggampornya dengan nanar mataku tersebab membuat takut kami bertujuh. Aku keluar dan langsung berteriak

“SIAPPA!!!”

Aku keluarkan tubuhku dari dalam tenda dan memeriksa sekeliling tenda. Tak ada apapun. Tapi aku yakin, kupingku tak mungkin salah dengar tadi.

“Kenapa mba?”

“Ada orang tadi, tapi nggak ada ternyata diluar..”

“Udah mba.tidur aja, imajinasi mba aja kali..”

“Sok, kalian tidur aja...”

“Aku duduk sambil merangkul dua lututku. Menahan rasa dingin yang sangat menusuk tubuh. Lagi-lagi ada suara orang melangkah, namun..

“Punten.....”, suara seorang cewek dan cowok yang melewati tenda kami.

“Mangga....”, ucap kami serentak.

“Hei..ini puncak bayangan terahir sebelum kita mencapai puncak,” kata seorang pendaki pada temannya.

Jadi, tenda yang kita dirikan ini belum dipuncaknya?

“Belum iz, kan kemarin aku searching di google puncaknya tuh ada tugu putihnya Iz..”kata Rizka pada pagi hari.

“Jadi kesepakatan mau gimana nih? Lanjut atau pulang?”

“Lajut deh...kita tinggal ngeraih tuh puncak, ini puncak bayangan terahir bukan...kata orang yang semalam lewat tuh..”

“Iya ah, lanjut puncak..”

“Puncak ah Kal puncak”

“Oke...sok, sekarang sarapan dulu, beberes, baru kita caw ke puncak.”

05.05

“Lihat itu sun raisenya, manis banget..”

“Iyya..tapi sayang bukan di puncak euy, jadi nggak puas...”

“Ah...yang bikin puas tuh bukan Cuma ngliat sunset & sunraise doang kali..”kata Haikal.

“Terus?”

“Foto di puncak pakai tas gunung. Hahahaha...”

Dan kami pun tertawa apa adanya. Dasar si Haikal perut gendut.

Akhirnya setelah semua siap, tas terpasang semua di pundak, dengan diawali bismillah kami berangkat menuju puncak Burangrang.

Rute terahir yang harus kami lewati semakin menantang, Kanan kiri benar-benar jurang, jalan licin dan berbatu. Suara peluru TNI yang sedang latihan menembak semakin jelas terdengar.

“Kal, was-was euy..takut ada peluru nyasar..”

“Nggak lah enggak, ada Alloh ini ada Alloh....”

Kembali aku yakinkan diriku. Dan melanjutklan perjalananku bersama mereka.

“liat....indah banget.....liat, kita beruntung.....itu Situ Lembang....”

“Ambil foto dulu yuk....”

.....

“Udah? Yuk lanjutkan lagi.”

Kali ini aku menahan napas dalam. Kemiringan lereng mencapai 750 , sangat curam. Apalagi ditambah dengan kondisi tanahnya yang licin.

“Hati-hati...puncak 5 cm lagi..ayo semangat!!”

Kami mengingat film 5 cm yang baru-baru ini laris di bioskop.

Kita yakin kita semua bisa

Yang kita perlu saat ini kaki yang akan berjalan lebih panjang dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan lebih banyak melihat dari biasanya, leher yang aklan lebih lama melihat ketas, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, lapisan tekad yang akan lebih kuat daripada baja, serta mulut yang akan senantiasa berdoa.

Film itu ternyata sedikit banyak membuat semangat kami semakin menggebu untuk meraih puncak. Meskipun belum puncak tertinggi Jawa, di Mahameru. Masih ada di puncak Burangrang dengan ketinggian 2050 mdpl. Namun bagiku, ini adalah bekal. Bekal untuk latihan sebelum benar-benar mendaki puncak nyata Mahameru.

“Pakai tambang ini...”

Aku lihat kedepan. Kemiringan lereng hampir 90 derajat. Dan berbatu serta licin.

“Ayooo semangat, diatas sana puncaknya...”teriak Andi.

Aku dan kawanku yang masih berada dibawah semakin semangat. Satu persatu kami naik dengan bantuan pegangan pada tambang yang telah ada disana. Sekitar 5 meter kami harus meniti tambang itu secara vertikal dengan kemiringan lereng yang sangat curam.

“Yap!!!”

“Waah,,puncak woy puncak...liat itu...situ Lembang....Situ Cileunca tuh disana....”

Dan kami terkesima dengan lukisan alam buatan Tuhan. Begitu indah dan nyata.

“Teman-teman....bukan ini puncaknya?”

“ Kan katanya ada nisannya di puncak, itu nissannya..”

“Lihat itu..bendera yang berkibar di kejauhan itu. Disana puncaknya.....ayo berjalan sedikit lagi. Tak akan mendaki lagi, ini hanya jalan datar, disanalah Tugu Puncak Burangrang itu”

Rasanya ingin menangis. Kali kedua di tahun kedua kudapatkan puncak Pegunungan di Bandung. Setelah Puncak Manglayang yang kemiringannya mencapai 75 derajat, dan medannya lebih menakutkan daripada medan menuju Burangrang.

Ternyata didekat tugu, 10 meter dekat tugu tepatnya, sudah ada yang mendirikan tenda. Waah, mereka beruntung bisa ngecamp di puncak.

Di tugu itu tertulis

“BURANGRANG 2050 mdpl”

Lalu kami mengabadikan foto kami dengan wajah yang begitu bahagia tersebab berhasil meraih puncak. Dan Koko...

Ia naik ketas tugu dan mengambil bendera merah putih.

Seolah kebanggaan terhadap alam Tanah Air Indonesia kuat mengalir di hati kami bertujuh.

Lalu, dengan gaya aktor di film 5 cm aku menirukan gaya  Riani.

“Saya Inarotul Faizah, mencintai Tanah air ini!!”

Dan kami bertujuh tersenyum penuh kepuasan tersebab berhasil menaklukan puncak Burangrang ini.

Terimaksih Alam Indonesia, Panoramamu begitu indah nan berwibawa.

Dan didalam hati ini, semakin kuat untuk mendaki lebih tinggi lagi. Dan lebih tinggi.

Aku pejamkan mataku dan menghirup aroma puncak burangrang. Lalu kusimpan aromanya didalam hatiku. Sama halnya ketika berada di Manglayang.

Aku rasakan desiran angin kuat membelai tubuhku, menggambarkan alam ini begitu mencintaiku, dan sebaliknya.

Aku rasakan terpaan sinar mentari pagi hangat menyergap tubuhku, menandakan betapa kuatnya ia memberi semangat hidup untukku.

Dan aku rasakan pepohonan yang terus mendayu-dayu menyuarakan irama alamnya, membisikkan “aku ini milikmu..”

Terimakasih sahabat. Terimakasih...Terimakasih telah membawaku kemari dan menggapai puncak Burangrang ini.

Aku mencintai kalian semua. Sangat mencintai kalian.

Mencintai kalian dengan segenap hati ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun