kebutuhan dari A-Z, dan tentu saja bagian yang paling menarik adalah harga diskon yang 'ugal-ugalan' alias terkadang sampai tidak masuk akal.
Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) memang sangat menggiurkan dengan berbagai penawaran menarik. Barang yang ditawarkan banyak, bervariasi, memenuhiSebagian orang selalu menanti saat-saat Harbolnas kemudian kalap membeli barang-barang yang tak begitu dibutuhkan hanya karena sedang diskon besar.Â
Sebagian lagi menanti Harbolnas untuk mendapatkan harga yang pas di kantong untuk barang yang dibutuhkannya. Dan ada pula yang tak terpengaruh, Harbolnas atau tidak, belanja sesuai kebutuhan saja. Dan saya termasuk kelompok yang terakhir.
Saya suka berbelanja online, tetapi memang sesuai kebutuhan saja. Tak pernah menantikan datangnya Harbolnas. Mungkin karena saya termasuk konsumen yang sangat rasional. Mengapa rasional? Sebab saya suka hidup sederhana. Mengapa suka hidup sederhana? Sebab saya ingin mengimplementasikan salah satu ajaran nabi Muhammad untuk hidup sederhana yang juga merupakan salah satu nilai antikorupsi yang sangat bagus diterapkan dalam keseharian. Dengan hidup sederhana maka akan menekan nafsu serakah yang merupakan salah satu penyebab korupsi menurut John Bologne dalam GONE Theorynya.Â
Wah, kayaknya alasan yang lebay ya? Hehe...iya, itu memang alasan yang terlalu lebay. Alasan yang sebenarnya sih karena keadaan, karena gaji pas-pasan, uang cuma segitu-gitunya dan sudah ada pos-pos pengeluarannya.Â
Jadi ya, abaikanlah semua perdiskonan, promo menarik, cuci gudang dan flash sale. Kalau dibiarkan nafsu belanja membara, wah... berbahaya!Â
Apakah tidak susah mengendalikan diri untuk tidak belanja, tidak tergiur barang-barang bagus seperti yang dimiliki teman-teman kantor? Apa tidak malu memakai barang-barang yang tidak selevel dengan teman-teman kantor? Â
Ya sebenarnya susah di awalnya, apalagi dengan berbagai penawaran dalam kemudahan pembayaran, bisa dengan bayar nanti, bisa dicicil, bisa hutang bank, bisa pakai kartu kredit.Â
Beberapa alasan di bawah ini yang menjadikan saya kuat bertahan untuk tidak mudah klik check out/beli sekarang.
1. Beli barang sesuai kebutuhan bukan sesuai keinginan
Dulu saya suka tergiur beli  barang yang sebenarnya tidak butuh-butuh amat, tetapi karena barangnya bagus, pembayaran bisa dicicil, ada bonusnya, akhirnya beli juga, misal alat masak.Â
Biasanya karena ada perusahaan yang melakukan demo masak di kantor saat arisan. Tetapi ternyata setelah lama dibeli, alat masak tersebut tingkat keterpakaiannya sangat jarang. Bahkan ada yang belum pernah dipakai juga. Sekarang hanya menuh-menuhin lemari saja.
Jadi berdasarkan pengalaman tersebut, akhirnya pembelian barang hanya saya lakukan  untuk barang yang benar-benar akan dipakai untuk aktifitas sehari-hari. Bukan hanya karena barangnya bagus/diskon/promo/bonus.
2. Sederhana itu gaya hidup yang keren
Saya sebagai seorang penyuluh anti korupsi, biasa melakukan sosialisasi untuk melaksanakan 9 nilai antikorupsi dalam keseharian yaitu jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil dan kerja keras. Tentu menyuluh dari diri sendiri terasa lebih bermakna biar tidak dibilang "omdo".Â
Dan agar bersemangat menerapkan hidup sederhana maka kita populerkan bahwa gaya hidup sederhana itu keren, sehingga kita tidak malu menjalaninya, bahkan sebaliknya malah bangga.Â
3. Besar pasak daripada tiang itu hanya manis awalnya tapi pahit akhirnya
Sebenarnya tidak sulit untuk memenuhi keinginan untuk membeli barang-barang bagus, mengingat begitu gencarnya penawaran kemudahan utang, baik yang online maupun offline.Â
Cukup sekali klik/gesek/tanda tangan, uang segera diterima dan dapat dipakai untuk mewujudkan membeli barang sesuai keinginan. Tetapi apa setelahnya?Â
Cicilan bulanan tambahan tentu memberatkan manakala gaji yang semula sudah ada pos-pos peruntukannya, harus disisihkan untuk membayar utang. Jika sudah berat setiap bulannya, maka solusi berikutnya biasanya menambah jumlah utang. Akhirnya apa? Gali lubang tutup lubang.Â
Setelah itu, tibalah masa penderitaan tiada akhir. Oleh karena itu jangan pernah utang konsumtif. Kalau mau utang harus untuk hal-hal yang produktif.
Lalu, apakah kemudian tidak ada pembelian terbaik? Tentu ada! Apakah selalu sebanding? Tidak juga, terkadang tidak sesuai antara ekspektasi dengan realita, seperti ini:
1. Pembelian terbaik
Saya pernah mendapatkan harga terbaik saat memesan hotel. Memang dilakukan jauh-jauh hari, meskipun saat itu masa liburan sekolah bersamaan libur lebaran yang biasanya mahal dan sulit, tetapi karena ada diskon saya bisa berlibur seminggu di Bali bersama keluarga, menginap di hotel bintang 3 yang nyaman di kelasnya.Â
2. Pembelian termurah
Pembelian termurah yang pernah saya lakukan adalah ketika membeli parfum mobil yang hanya seharga Rp2.700,- per botol.Â
Memang botolnya kecil, tetapi parfum ini saya pernah beli sebelumnya dari teman di kantor seharga Rp25.000,- per botol. Saya tidak tahu persis apakah yang beli online palsu atau isinya lebih sedikit, tetapi jika dilihat dari kemasan sama saja.
Jika dibandingkan dengan ongkir, harga tersebut malah lebih mahal ongkirnya. Namun online shop sering sekali menggratiskan ongkir bagi pelanggannya, dan biasanya saya membeli kalau pas ada promo gratis ongkir pula.
3. Pembelian mengecewakan
Pembelian sepatu dengan model yang menarik, warna bagus, ukuran sesuai, tetapi sayang ketika dipakai terasa tidak nyaman. Entah kaki saya atau bahan sepatunya yang salah.Â
Pada akhirnya sepatu itu hanya saya pakai sekali dua kali. Setelah itu dikasihkan ke mang rongsok yang biasa lewat depan rumah saja.
Pengalaman-pengalaman di atas, membuat saya lebih selektif dalam membeli melalui online. Yang kira-kira ada kemungkinan bahannya bisa jadi tidak sesuai harapan, atau kenyamanan  pemakaian menjadi penting, lebih baik membeli secara offline.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H