Dalam dunia kerja, banyak perusahaan yang melihat track record calon karyawan melalui media sosialnya. Apakah ini salah? Tentu tidak. Sah-sah saja perusahaan melakukan pengecekan melalui medsos, selama tidak melanggar aturan. Toh akun medsos yang tidak diprivat, dapat dilihat oleh siapapun, tak terkecuali HRD sebuah perusahaan. Lagi pula HRD melakukan penelusuran melalui medsos pastilah hanya sebagai salah satu pertimbangan, untuk melengkapi informasi yang sudah diperoleh.
Bagaimana jika dilihat dari sisi calon karyawan? Apakah ini akan memberatkan, sebab apa yang terlihat di medsos tidaklah selalu sama seperti faktanya. Atau sebaliknya justru menguntungkan calon karyawan, sebab tak perlu berlama-lama wawancara maka sudah bisa dinilai dari jejak digital.
Rasanya wajar sebuah perusahaan ingin menggali lebih jauh tentang calon karyawannya. HRD wajib memastikan bahwa karyawan yang akan diterima sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dan nilai-nilai yang berlaku di perusahaan. Paling tidak, jejak digital dapat memberikan  informasi  pelengkap tentang siapa calon karyawan tersebut sebenarnya, sebab dari medsosnya dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :
1. Jarimu adalah harimaumu
Ini senada dengan peribahasa mulutmu dalah harimaumu. Apa yang dibicarakan, disampaikan ke publik adalah sebuah aksi dan akan mendapat reaksi yang sepadan dengan aksi yang dilakukan.Â
Jika yang dibicarakan, diungkapkan melalui medsos hal-hal yang baik, yang bermanfaat, disampaikan dengan sopan, tidak menyinggung atau menyakiti pihak lain tentu reaksinya juga baik-baik saja. Sebaliknya jika yang disampaikan adalah kebencian, kebohongan, menghasut, kalimat-kalimat kasar yang tidak sopan, tentu mengundang reaksi negatif pula.
Watak seseorang pada umumnya melekat dan sulit berubah. Oleh karena itu jika ditelusuri jejak digital seseorang dalam rentang waktu yang cukup panjang, akan nampak mana watak asli dan mana yang hanya topeng. Apalagi jika yang melihat adalah seorang seorang psikolog atau HRD yang memang sudah ahli di bidangnya.
2. Nilai akademis vs moralitas
HRD ingin menelusuri melalui medsos sebab jika hanya didasarkan pada nilai akademis yang tinggi, atau ketrampilan di bidangnya yang mumpuni, belum menjamin akan memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Sebab lebih tinggi dari itu semua adalah moralitas yang baik.
Banyak orang yang pandai tetapi jika moralitasnya rendah, maka untuk mencapai posisi jabatan tinggi atau untuk meraih prestasi, dilakukannya dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu penelusuran jejak digital di medsos bisa dijadikan salah satu pertimbangan bagi HRD untuk menerima atau menolak karyawan.
3. Kecenderungan atau afiliasi dengan kelompok tertentu
Dari jejak digital, juga dapat diketahui kecenderungan seseorang apakah yang bersangkutan terafiliasi dengan kelompok-kelompok tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. Dari postingan, status, komentar, yang diikuti, yang disukai akan terlihat apakah seseorang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan.Â
Misalnya perusahaan  membutuhkan karyawan yang toleran, menjunjung tinggi keberagaman  mengingat  kondisi karyawan yang sangat majemuk, tentu perusahaan tidak akan menerima jika  dari medsos calon karyawan bersikap tidak toleran.
Hasil atas penelusuran jejak digital di atas tentu bukan satu-satunya pertimbangan HRD tetapi hanya salah satu pertimbangan. Â Jika dilihat dari sisi positifnya, dengan adanya penelusuran rekam jejak digital semacam ini diharapkan penggunaan medsos menjadi jauh lebih baik.Â
Para remaja, anak sekolah, calon karyawan akan bersikap sopan dalam bermedsos, tidak mencaci, menghina, berkata kasar, menebar kebohongan, dan hal-hal negatif lainnya dengan harapan nanti ketika akan masuk dunia kerja, melamar pekerjaan dan dilakukan penelusuran rekam jejak digital, hasilnya baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI