Kehadiran asisten rumah tangga (ART) bagi pasangan perantau yang  bekerja di luar rumah serta memiliki anak balita adalah sebuah keharusan. Demikianlah kondisi kami dulu, perantau yang masih memiliki anak balita.Â
Sekarang anak-anak sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri, namun kehadiran ART tetap kami butuhkan untuk membantu pekerjaan rumah mulai dari mencuci baju, menyetrika, menyapu, mengepel dan lain-lain.
Mencari ART yang sesuai kebutuhan itu susah, sebab selain memenuhi kriteria yang kita tentukan, misalnya harus jujur, rajin, sayang anak (jika tugasnya menjaga anak kita), dll juga harus ada "kecocokan" dengan kita.Â
Selama 23 tahun, sejak anak pertama lahir di tahun 2000 sampai dengan sekarang, Â saya sudah mempekerjakan ART lebih dari 10 orang, berganti-ganti. Banyak faktor yang menyebabkan pergantian ART.Â
Ada yang baru sehari, katanya ingat terus sama anak di rumah, akhirnya pulang tidak jadi bekerja. Ada yang baru sebulan, diminta orang tuanya pulang untuk membantu berdagang di rumah. Ada yang tidak jujur, ada yang tidak sayang anak (berdasarkan laporan tetangga) dan yang seperti ini saya yang memberhentikan mereka.Â
Pada akhirnya saya mendapatkan ART yang cocok. Jujur dan sayang anak, rajinnya sih biasa saja, asal pekerjaan dapat terselesaikan. ART ini mulai bekerja sejak masih gadis untuk menjaga anak pertama saya yang masih berumur 1 tahun dan berhenti bekerja ketika hendak menikah karena tidak diperbolehkan suaminya bekerja.Â
Kemudian digantikan adiknya, yang bekerja sejak gadis dan berhenti ketika akan menikah. Dan penggantinya masih adiknya yang masih gadis dan berhenti ketika hendak menikah juga. Dan penggantinya adalah ART yang rumahnya lebih dekat sehingga bekerja PP setiap hari (jarak rumah kami sekitar 5 km/tetangga desa) bekerja sejak tahun 2016 (anak ke-3 saya masuk TK) sampai dengan sekarang.
ART yang berturut-turut 3 (tiga) orang kakak beradik serta yang saat ini masih bekerja, sepertinya mereka nyaman bekerja di rumah. Hubungan kami sudah seperti saudara. Saya mengenal keluarga mereka karena saya cukup sering berkunjung ke rumah mereka. Â
Beberapa pengalaman berikut, mungkin yang membuat para ART Â betah dan nyaman bekerja :
1. Anggap ART sebagai bagian dari keluarga
Penting memperlakukan mereka secara setara bukan relasi majikan-pekerja, melainkan menganggapnya sebagai saudara, mengingat kita dalam satu rumah secara bersama-sama. Mereka adalah asisten atau pembantu, maka seharusnya posisi mereka hanya membantu kita. Dalam hal ini beres-beres rumah dan menjaga anak (jika anak masih balita atau masih usia TK/SD yang belum bisa mandiri).Â
Oleh karena itu saya tidak pernah menuntut mereka mengerjakan semuanya, tetapi saya dan suami juga ikut membantu, misalnya menjaga anak-anak adalah tugas kami setelah kami di rumah. Memasak masih menjadi tugas saya, bahkan dalam kesempatan tertentu kami (suami dan saya) pun masih tetap mencuci piring, menyapu, menyiram bunga, dll.
Kami menyadari bahwa kami membutuhkan dan mengutamakan mereka untuk menjaga anak-anak, sehingga pekerjaan lain-lain, pekerjaan rumah tangga dapat dinomor duakan dan dikerjakan bersama-sama. Bahkan kami sempat menggunakan jasa laundry karena melihat kerepotan si mbak menjaga anak kami.
Karena kami menganggap si mbak adalah bagian dari keluarga, kami cukup sering mengajak mereka ketika malam minggu  keluar untuk jalan-jalan/belanja bulanan/makan. Dan tentu hal tersebut menjadi hiburan tersendiri buat si mbak biar tidak suntuk sepanjang bulan di rumah saja.
2. Menegur bukan memarahi
Namanya orang bekerja pasti sesekali ada salah dan tidak sempurna. Jika saya kecewa hasil pekerjaan si mbak yang kurang baik, biasanya saya tegur kesalahannya dan minta memperbaiki untuk ke depannya, dan juga saya beri contoh mengerjakannya.Â
Misalnya pas mau minum, saya ambil mug/ cangkir berasih dari rak perkakas. E...masih kelihatan ada sisa lipstik nempel di bibir cangkir. Saya panggil si mbak, saya perlihatkan cangkir tersebut dan berkata (datar saja nggak usah ngegas), "Mbak, lihat cangkir ini. Masih ada nih..bekas lipstik nempel. Nanti kalau nyuci cangkir atau gelas, jangan hanya dalamnya saja yang dicuci ya... tapi justru di bibir gelas/cangkir penting dibersihkan karena di situ kan nempelnya bibir". Maka si mbak pun mengangguk dan tidak merasa sakit hati. Karena kita memperlihatkan bukti kerjanya dan menegurnya juga tidak dengan marah-marah.Â
3. Prioritaskan jika berdonasi/zakat/infaq/sedekah
Tentu kita sering memberi bantuan kepada yayasan, badan amal, saudara, peminta-minta atau siapapun yang butuh bantuan sesuai kemampuan kita, baik dari zakat atau infaq/sedekah.Â
Nah...sebaiknya selalu ingat si mbak ART kita di rumah. Jadi sebelum zakat/infaq/sedekah yang harus kita keluarkan diberikan kepada orang lain yang jauh, atau yayasan amal yang terkadang tidak begitu kita kenal, prioritaskan si mbak untuk menerimanya. Dapat diberikan secara harian, mingguan atau bulanan, tergantung kondisi masing-masing.Â
Hal ini akan memberikan respon yang baik dari si mbak, karena pasti merasakan disayang dan diperhatikan. Sebaliknya si mbak pun akan sayang kepada keluarga kita, dengan menjaga anak-anak kita, menjaga rumah kita dengan baik.Â
Senada dengan hal di atas, jangan lupakan juga ketika kita dari luar kota, pastikan ada jatah oleh-oleh untuk si mbak , jangan hanya menghitung tetangga dan teman di kantor. Inti dari semua itu adalah : jangan pelit ke si mbak.
4. Berikan hari liburÂ
Meskipun si mbak menginap di rumah kita, sebaiknya tetap berikan hari libur. Kalau si mbak saya, Â rumahnya berjarak hanya 20 km dari rumah, sehingga terkadang dia pulang sabtu siang/sore dan datang kembali minggu sore. Tetapi ada kalanya tidak pulang bahkan lebih sering pulangnya sebulan sekali setelah gajian saja.
Sebaiknya jatah libur atau paling tidak kelonggaran waktu tetap kita berikan. Masalah si mbak memanfaatkan atau tidak waktu liburnya itu masalah lain. Sebab jika dia libur tidur ngapa-ngapain juga katanya nggak enak. Jadi ya...tetap saja mencuci, menyetrika, beres-beres rumah, dsb.Â
Demikian beberapa pengalaman hubungan kerja saya dengan si mbak yang bekerja di rumah.  Dan sejauh ini dengan menerapkan hal tersebut, semuanya baik-baik saja. Sampai sekarang meskipun si mbak yang 3 kakak beradik tadi sudah punya anak masing-masing, mereka masih suka berkunjung ke rumah kami, bahkan membawa serta  oleh-oleh untuk anak-anak yang dulu diasuhnya. Intinya sebenarnya hanya satu, "perhatikan dan sayangi si mbak dan si mbak pun akan sayang pada keluarga kita".Â
Oh iya satu lagi, entah karena begitu terkesannya dengan kami, atau tepatnya sebegitu sayangnya pada anak kami yang diasuhnya, si mbak (kakak pertama dari 3 kakak beradik) memberi nama panggilan anaknya sama dengan nama panggilan anak kami!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H