Mohon tunggu...
Ina Purmini
Ina Purmini Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga, bekerja sebagai pns

Menulis untuk mencurahkan rasa hati dan isi pikiran

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menyikapi Privilese, agar Tak Lahir Mario-Mario Baru di Indonesia

11 Maret 2023   12:18 Diperbarui: 11 Maret 2023   12:35 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto : freepik.com)

Namanya Mario Dandy Satrio (MDS), dilahirkan dalam sebuah keluarga yang kaya raya karena ayahnya seorang pejabat di Kementerian Keuangan. Wajar kehidupan MDS sejak lahir penuh dengan kemudahan,tak pernah sedikitpun kesulitan dirasakan dalam hal materi. Bukan hanya kebutuhan yang terpenuhi, tetapi keinginan juga dapat dicapai dengan mudah. Dengan privilese semacam itu, rasanya akan mudah bagi MDS untuk mencapai hidup yang sukses, aman, tentram, bahagia, sejahtera. Namun fakta berkata lain. Belum juga mencapai finish (selesai kuliah), Mario tersandung kasus dugaan tindak pidana penganiayaan.

Menilik nama belakangnya yaitu Satrio, tentu ada sebuah pengharapan besar dari orang tua bahwa Mario kelak akan menjadi seorang ksatria. Seseorang yang mempunyai sikap gagah berani membela kebenaran, teguh pendirian, berintegritas, jujur, bertanggung jawab, bersikap welas asih kepada sesama, bijak sederhana dalam kehidupan dan tak sungkan minta maaf jika bersalah. Namun yang kita temui saat ini, Mario menjelma menjadi seorang remaja yang suka berfoya-foya dengan kekayaan ayahnya, dan tega melakukan penganiayaan begitu sadis kepada sesama!

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi privilese, yang semestinya bisa membawa kehidupan seseorang untuk meraih sukses dengan mudah, tetapi justru berbalik membuahkan malapetaka bagi si empunya, seperti senjata makan tuan.

Privilese dapat membentuk karakter baik atau buruk pada anak, tergantung bagaimana kita menyikapi  privilese tersebut. Sebagai orang tua dan melihat pola asuh dari  teman-teman kantor serta tetangga sekitar,  ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran untuk membentuk karakter anak, terkait dengan privilese yang dimiliki.

1. Tidak memenuhi setiap permintaan anak 

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia, salah satunya dengan memenuhi keinginan anak. Semasa kecil, anak yang dilahirkan dalam keluarga berada, tentu sangat mudah mendapatkan mainan-mainan mahal, bagus, mewah. Namun sebagai orang tua sebaiknya kita selektif. Buat batasan tertentu, seberapa mahal yang diperbolehkan untuk membeli sebuah mainan. Mainan bagi anak sejatinya untuk melatih tumbuh kembangnya, mendukung pertumbuhan fisik dan mentalnya, mainan yang edukatif tentu lebih baik.

Kita sering mendengar istilah anak yang "terlalu dimanja" akhirnya tidak menjadi anak yang baik, tetapi sebaliknya tidak sesuai harapan orang tua. Ingin membahagiakan anak dengan memenuhi permintaan dibelikan motor, ternyata dibuat balapan liar. Bahkan ikut menjadi anggota geng motor dan berbuat onar! Orang tua mana yang tidak sedih mengetahui anaknya menjadi anggota geng motor yang sering berbuat kasar dan merusak? 

2. Pertimbangkan waktu pemenuhan

Karena uang dan materi bukan kendala, biasanya orang tua langsung memenuhi permintaan anak saat itu juga. Permintaan mainan, sepatu, tas, baju, sepeda, motor dan lain-lain kebutuhan anak. Uang ada, kesempatan ada, mengapa harus menunda permintaan anak? 

Namun dampaknya adalah, anak akan menilai orang tuanya selalu ada uang, kapan pun dia mau. Suatu saat jika anak menginginkan sesuatu yang lebih besar nilainya, dia tidak akan bisa dan tidak mau mengerti jika dijawab dengan "Mama/Ayah sedang tidak ada dana yang cukup." Dan ini bisa menimbulkan kemarahan anak yang destruktif.

Oleh karena itu, meskipun ada dana untuk memenuhi keinginan anak, ada baiknya diberikan pada saat yang tepat sebagai sebuah reward, misalnya karena naik kelas, karena 3 besar kelas, karena khatam Al Qur'An, karena puasa full sebulan penuh saat ramadhan, dan lain-lain. Hal ini sekaligus mengajarkan pada anak bahwa sesuatu itu diperoleh dengan sebuah usaha. 

3. Ada usaha di balik harta

Ajarkan pada anak bahwa semua yang dimiliki orang tua, tidak datang dengan sendirinya dan tiba-tiba, meskipun misalnya harta tersebut adalah warisan. Sebab warisan jika tidak dijaga dengan baik, dengan usaha, dengan kerja keras cerdas ikhlas, tentu akan habis seiring waktu. Hal ini  mengajarkan pada anak arti "no pain no gain". Ketika anak mengetahui bahkan merasakan bahwa untuk memperoleh sesuatu perlu usaha, maka anak tidak akan bersikap berfoya-foya membuang uang seenaknya hanya untuk bergaya tanpa makna.

4. Uang jajan secukupnya

Meskipun orang tua kaya raya, bisa memberi uang jajan berapapun yang diminta anak, namun sebaiknya tetap diperhitungkan oleh orang tua, berapa sebenarnya jumlah uang jajan yang tepat untuk kebutuhan anak. Apakah akan diberikan bulanan atau mingguan atau harian, diskusikan dengan anak. Uang jajan idealnya hanya diberikan untuk keperluan rutin sehari-hari misalnya jajan di sekolah, transport/bensin, pulsa/data, dll. Sementara untuk keperluan yang lebih besar, misalnya untuk beli sepatu, baju, tas, buku dll diberikan secara terpisah. Jangan memberikan uang jajan yang berlebihan, sebab bisa dipakai/disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian orang tua bisa mengontrol keuangan anaknya dipakai untuk apa saja.  

5. Mengajarkan untuk berbagi 

Perlu mengajarkan pada anak bahwa dalam setiap harta yang dimiliki, ada hak orang lain untuk ditunaikan, minimal melalui zakat (sesuai syari'at agama Islam). Di samping itu untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara, tentu harus dibayarkan pula pajaknya. Kalo beneran orang kaya seharusnya kuat untuk membayar pajak. Kalo tidak mau membayar pajak  jangan membeli barang yang akan terkena pajak, tinggi pula karena barang mewah. Di luar hal tersebut masih ada infaq, sedekah, wakaf, donasi, sumbangan, yang semuanya bersifat menebar kebaikan, menebar manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Mulai dari saudara, tetangga, teman, anak miskin, anak yatim, bahkan orang-orang tak dikenal yang ada di seluruh pelosok Indonesia atau pelosok dunia yang hidup berkekurangan.

Berbagi, menebar kebaikan menebar manfaat akan mendatangkan rasa bahagia. Juga mengajarkan anak berempati, menanamkan sikap welas asih, kasih sayang kepada sesama. Memupuk rasa untuk menghargai setiap orang tanpa memandang status ekonomi dan sosial.

6. Teladan

Meskipun kita sebagai orang tua mempunyai kekuasaan, kewenangan untuk berbuat apapun untuk memudahkan jalan anak, sebaiknya tetap memberikan teladan. Contoh ketika berada dalam sebuah antrian suntik vaksin (kala itu), karena kebetulan saya auditor internal yang memeriksa Dinas Kesehatan terkait dana covid-19 termasuk di dalamnya vaksin, saya bisa dengan mudah minta agar anak saya didahulukan. Tidak usah ikut antrian panjang. Namun hal tersebut tidak saya lakukan, justru saya bilang ke anak, "Ikuti saja prosesnya, kan tidak buru-buru mau ada acara. Kalo kita menyerobot antrian, itu namanya mendzolimi orang lain."

Keteladanan orang tua sangatlah berpengaruh kepada anak-anaknya. Kalo anak melihat orang tuanya hidup sederhana, baju sepatu tas yang dipakai bukan yang mahal/mewah, mobil yang fungsional, bersikap menghargai kepada sesama, berbagi kepada saudara/teman/yang membutuhkan, ramah kepada tetangga, tentu sang anak akan mengikuti pola hidup yang sama atau tidak akan terlalu jauh melenceng dari sikap orang tuanya.

6. Do'a dan kasih sayang

Normalnya, tak ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Namun terkadang orang tua keliru menerapkan ungkapan kasih sayang kepada anak yang justru menjerumuskan anak pada kehidupan dunia yang merusak. 

Sesibuk apapun orang tua, sempatkan untuk melakukan komunikasi dengan anak. Pelukan dan ciuman setiap pagi ketika anak hendak berangkat sekolah/kuliah harus dilakukan. Dan biasanya untuk saya pribadi sambil berkata (kata-kata adalah do'a), "Yang sholeh/sholehah ya sayang..." baru dilanjutkan "Hati-hati di jalan, I love you."

Komunikasi, meskipun semakin besar anak akan semakin sulit diajak komuikasi karena kesibukannya, karena dunia orang tua-anak yang juga semakin jauh berbeda, karena mungkin anak lebih nyaman bercerita dengan temannya, namun tetap luangkan waktu untuk menjalin komunikasi. Apapun bentuknya, mungkin hanya sempat lewat pesan whatsapp, sampaikan saja, "Yang sholeh/sholehah ya sayang...I love you."

Setiap orang tua pasti menghendaki anaknya sukses, bahagia, selamat dunia akhirat. Orang tua hanya bisa ikhtiar, berusaha sebaik mungkin menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya, dan kemudian mendo'akannya. Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak hebat berintegritas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun