Liburan akhir semester 1 sebenarnya waktu yang kurang enak buat jalan-jalan, sebab di bulan-bulan berakhiran ber yaitu September, Oktober, November, dan Desember bahkan sampai dengan awal tahun berikutnya biasanya musim hujan sedang tinggi-tingginya, cuaca sedang tidak baik-baik saja
Demikian pula dengan tahun ini, berita di televisi setiap hari mewartakan bencana. Banjir terjadi di mana-mana, laut dan pantai ombak sedang tinggi-tingginya, dataran tinggi dan gunung rawan longsor, aliran air sungai dan air terjun banjir bandang tiba-tiba karena hujan di hulu.
Banyak yang akhirnya mengurungkan niatnya pergi liburan dan cukup liburan di rumah saja atau staycation. Tapi tidak dengan keluarga kami, sebab kami sudah berencana liburan semester ini hendak ke Surabaya.Â
Pertama menengok anak yang sedang kuliah di sana dan langsung berlibur dengan mendaki Gunung Ijen kemudian mengunjungi beberapa tempat wisata dan bersilaturahmi ke beberapa saudara di berbagai kota.
Karena cerita liburan kami cukup panjang, untuk kali ini saya akan bercerita di tujuan pertama yaitu mendaki gunung Ijen yang terletak di 2 Kabupaten yaitu Banyuwangi dan Bondowoso, dengan ketinggian 2.769 mdpl.
Tanggal 31 Desember 2022 kami berlima berangkat dari Surabaya sekitar pukul 08.00 WIB dengan tujuan sebuah penginapan di Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Meskipun letaknya di Banyuwangi tapi kami memilih lewat Bondowoso, sebab jika lewat Banyuwangi jarak tempuh semakin jauh.
Sampai penginapan sore hari dan malamnya kami manfaatkan untuk istirahat agar esok paginya stamina terjaga untuk mendaki gunung.
Namun karena di hotel tempat kami menginap ada acara tahun baruan dengan live music dan di tengah malam pergantian tahun ada kembang api, kami terbangun untuk melihat kembang api terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan istirahat.
Awalnya saya agak ragu untuk mendaki gunung, sebab putri bungsu kami yang berusia 10 tahun baru pertama kali mendaki. Kalau anak pertama sempat ikut Mapala di kampusnya, dan anak kedua sudah cukup besar (sudah kuliah semester 1) sehingga meskipun belum pernah mendaki gunung, rasanya cukup kuat untuk tracking sampai puncak.
Setelah diskusi berlima, semua ingin melihat kawah Ijen yang cantik, ingin melihat blue fire yang hanya ada 2 di dunia, diputuskanlah mendaki ke Ijen, namun sekuatnya si bungsu saja, melihat sikon dan tidak harus sampai puncak.
Dini hari tanggal 1 Januari 2023 pukul 02.30 WIB kami check out dari hotel menuju ke titik pendakian di Paltuding. Cuaca tidak begitu bersahabat karena hujan gerimis dan sedikit berkabut.
Kami berharap semakin siang cuaca akan cerah dan ketika sampai puncak kami bisa melihat blue fire yang bisa dinikmati sampai sebelum jam 05.00 pagi. Namun karena start kami agak kesiangan yaitu pukul 04.00 WIB, kami tidak berharap banyak bisa menyaksikan blue fire.Â
Dari titik pendakian di Paltuding sekitar 1.800 mdpl sampai ke pos 1 dan 2 jalur tracking masih lebar dan bagus. Ada 7 pos yang harus dilalui sebelum sampai puncak. Semakin ke atas jalur tracking semakin sulit, semakin terjal, menyempit serta licin sebab gerimis dan hujan turun sehingga perlu kehati-hatian.
Apalagi jika berpapasan dengan pendaki yang turun dari puncak atau ojeg (ojeg berupa gerobak yang digunakan untuk membawa para pendaki yang kehabisan tenaga untuk naik atau turun gunung).
Di samping itu semakin ke atas juga semakin menyengat bau belerang, sehingga perlu memakai masker. Kami berhenti di pos 3 untuk shalat subuh sekitar pukul 05.00 WIB.
Semakin ke atas cuaca tidak semakin cerah tetapi justru semakin berkabut, namun kami tetap mendaki dengan harapan ketika sampai puncak matahari mulai bersinar nanti kabut akan sirna dan terlihat pemandangan awan gunung serta kawah yang indah.
Kami melakukan pendakian sekuatnya sebab ada pendaki pemula. Untuk saya dan suami, dulu saat kuliah merupakan anggota Mapala dan sering melakukan pendakian dan pendakian Gunung Ijen ini merupakan yang pertama kali setelah 28 tahun tidak pernah mendaki.Â
Slow but sure, alon-alon waton klakon begitulah prinsipnya. Beristirahat sejenak jika kaki mulai terasa pegel dan nafas tersengal-sengal alias ngos-ngosan.
Pos demi pos kami lalui, tetap dengan semangat mencapai puncak. Sepanjang perjalanan kami menikmati keindahan yang bisa dilihat dan dirasakan. Rimbun hijau pepohonan, desau angin yang terdengar cukup kencang, rasa dingin yang menusuk, kabut yang semakin tebal, bahkan keluarnya uap dari mulut saat berbicara pun menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi kami.Â
Satu lagi yang sangat menggembirakan adalah bisa melihat kembali edelweis di habitatnya!
Memang bunganya masih kuncup dan hanya di beberapa pucuk serta tidak banyak terlihat pohon edelweis sebab jarak pandang yang semakin pendek.
Namun melihat pohonnya yang hijau keputih-putihan itu saja sudah membuat hati senang. Sungguh sebuah suasana yang tidak pernah kami dapatkan di rumah di kota kami yang panas.
Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam sekitar pukul 07.00 WIB sampailah kami di puncak Ijen di ketinggian 2.769 mdpl! Alhamdulillah.... kami sekeluarga berlima bisa mencapai puncak dengan selamat.
Namun harapan cuaca semakin cerah di puncak tidak terealisasi. Justru sebaliknya yang terjadi hujan semakin deras, angin semakin terasa kencang, kabut semakin tebal dengan jarak pandang sekitar 5-10 meter saja, dingin semakin menusuk dan tentu saja kawah tak terlihat karena tertutup kabut.
Untung di puncak terdapat pondok yang tertutup (hanya berdinding plastik), namun cukuplah bagi kami untuk menghangatkan diri sejenak sambil menikmati kopi, susu jahe, bakwan serta pisang goreng yang disediakan ibu kantin puncak Ijen.Â
Kami masih berharap semakin siang cuaca akan semakin cerah, kabut menipis dan terlihat kawah Ijen yang cantik yang sebelumnya hanya kami lihat dari gambar di medsos.
Namun sampai sekitar 1 jam di puncak, cuaca yang diharapkan tidak semakin membaik. Bahkan berdasarkan informasi dari seorang bapak yang terbiasa di puncak, menyampaikan bahwa sudah 2 hari terakhir cuacanya seperti ini, bahkan sampai sore masih tetap berkabut tebal dan gerimis serta hujan.
Oleh karena itu kami memutuskan untuk turun gunung. Dan melihat kondisi putri bungsu kami yang terlihat kecapaian, serta kebetulan ada tukang ojeg gerobak yang menawarkan jasanya, 1 gerobak bisa untuk ibu dan anak, kami memutuskan turun menggunakan jasa ojeg gerobak. Hanya kami berdua (ibu+anak) yang naik ojeg, sedangkan suami dan anak-anak cowok tidak.
Turun menggunakan ojeg gerobak ternyata jauh lebih cepat sampai di bawah, meskipun di beberapa turunan tajam agak khawatir gerobak meluncur tak terkendali.
Oleh karena itu di turunan tajam saya bilang ke bapak ojeg untuk saya turun dulu, namun bapak tukang ojeg yang sudah berpengalaman menyampaikan untuk tenang saja, tidak perlu turun sebab gerobaknya dilengkapi dengan rem tangan yang kuat.Â
Sekitar pukul 10.00 WIB kami sudah sampai kembali di bawah. Alhamdulillah...semuanya selamat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H