Pesta demokrasi 5 tahunan di Republik Indonesia tercinta telah selesai dilaksanakan. Banyak pihak, lembaga independen baik dari dalam maupun luar negeri memberikan apresiasi atas keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2019 ini, yang berlangsung aman, damai, lancar meski disebut sebagai Pemilu yang paling rumit di dunia. Hal ini disebabkan Pemilu 2019 ini melibatkan jumlah pemilih yang sangat besar, mencapai 192,83 juta jiwa (190,77 juta pemilih dalam negeri dan 2,06 juta pemilih luar negeri), pilpres dan pileg bersamaan sehingga pemilih harus mencoblos 5 surat suara sekaligus.
Disamping keberhasilan di atas, Pemilu 2019 kali ini menyisakan pilu bagi penyelenggara, utamanya adalah para field force yaitu petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Sampai dengan tanggal 2 Mei 2019 pukul 20.00 WIB, tercatat petugas KPPS meninggal dunia sebanyak 412 orang dan  sakit sebanyak 3.538 yang diduga disebabkan faktor kelelahan karena bekerja secara nonstop  menjelang, saat hari pencoblosan dan setelahnya yaitu penghitungan jumlah suara sampai selesai rekapitulasinya.Â
Dengan banyaknya petugas KPPS yang meninggal tersebut, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan kembali, sudah tepatkah penyelenggaraan Pemilu Serentak, yg alasan dilaksanakannya antara lain  adalah penghematan anggaran. Atau berhenti sampai di sini saja? Sebenarnya Pemilu Serentak tetap baik dilanjutkan, namun harus dilakukan beberapa perbaikan dalam penyelenggaraannya.
Berikut beberapa aspek yang harus menjadi perhatian :
1. Metode pencoblosan
Metode yang dipakai sekarang adalah konvensional, dimana pemilih melakukan pencoblosan secara manual dengan paku. Ke depan bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara tergantung kondisi daerah pemilihan dan calon pemilih, yaitu :
a. Konvensional
 Dilakukan metode pencoblosan manual dengan paku untuk daerah yang belum terjangkau internet dan atau pemilih yang buta internet, misalnya para manula.
b. E-voting
E-voting dapat dilakukan di daerah perkotaan ataupun perdesaan yang sudah terjangkau internet dan pemilih yang melek internet.Â
Dengan perubahan regulasi, 2 (dua) metode di atas tentunya bisa dilaksanakan secara bersamaan, tergantung situasi dan kondisi daerah pemilihan dan pemilih sendiri. Ke depan didorong semuanya bisa dilaksanakan dengan e-voting, karena dari sisi waktu, anggaran dan energi yang dibutuhkan tentu lebih ekonomis, efisien dan efektif dibandingkan metode konvensional.
2. Analisis Beban KerjaÂ
KPU harus melakukan analisis beban kerja terhadap semua petugas yang terlibat, dari KPPS di tingkat TPS, PPS di tingkat desa/kelurahan dan PPK di tingkat kecamatan termasuk PPLN dan KPPSLN. KPU harus melakukan analisis atas kegiatan pencoblosan termasuk persiapannya, dan kegiatan penghitungan suara sampai dengan rekapitulasi di setiap tingkatan selesai.Â
Dengan melakukan analisis, tentu dapat diketahui berapa waktu dan tenaga yg dibutuhkan agar penghitungan dan rekapitulasi suara selesai sesuai target di masing-masing tingkatan. Bahkan dimungkinkan adanya sistem shift jika diperlukan, sehingga petugas tidak diberikan beban yang melampaui jam kerja normal (sekitar 8 jam sehari). Bila petugas dipaksanakan lembur berhari-hari tanpa istirahat yang cukup, tentu berdampak pada kondisi kesehatannya yang kemudian seperti sekarang terjadi banyak petugas yang meninggal dunia karena kelelahan, terlepas ada beberapa kasus KPPS meninggal karena sebelumnya telah menderita suatu penyakit.
3. Sumber Daya Manusia
Sudah saatnya KPU memikirkan petugas yang direkrut hendaklah memenuhi persyaratan tertentu, mempunyai kemauan dan kemampuan memadai untuk melaksanakan tugas sebagai PPK, PPS atau KPPS. Dua hal yang perlu diperbaiki KPU dari sisi SDM :
a. Kualitas
Peningkatan kualitas atau kompetensi petugas harus dilakukan KPU, dengan memberikan pembekalan/bimtek/diklat/training yang cukup dan sesuai dengan tugas yang akan dihadapi.
b. Kuantitas
Berdasarkan analisis beban kerja yang telah dilakukan, KPU bisa menentukan kuantitas/jumlah petugas yang harus direkrut, agar target kegiatan/tahapan-tahapan Pemilu dapat tercapai sesuai rencana dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan petugas.
4. Honorarium dan fasilitas lainnya
KPU harus menempatkan bahwa Pemilu adalah sebuah kegiatan yang harus dilaksanakan secara profesional, maka sudah selayaknya dipikirkan pemberian honorarium dan fasilitas lainnya secara manusiawi.
a. Honorarium
Jika dikaitkan dengan kegiatan yang dilaksanakan  mulai dari Sosialisasi sampai dengan rekapitulasi suara yang bisa jadi memakan waktu berbulan-bulan (3 bulan misalnya) bisa diberikan honorarium dalam satuan OB (orang/bulan), sehingga besaran yang diterima lebih layak dan ini merupakan hak yang harus diberikan kepada petugas. KPU bisa menyusun formula pemberian honorarium lainnya yang setara antara beban tugas dan honorariumnya.
b. Fasilitas lainnya
Selain honorarium, perlu dianggarkan juga asuransi jiwa sebagai langkah antisipasi jika terjadi kecelakaan kerja (sakit) ataupun meninggal bagi petugas.Â
Beberapa hal di atas, jika dilakukan dengan baik, dengan lebih terencana, detail perhitungan yang matang, dikoordinasikan dengan berbagai pihak terkait, tentu akan berdampak positif dan pelaksanaan Pemilu serentak 5 tahun yang akan datang insya Allah akan lebih baik sehingga Pemilu tak lagi menyisakan pilu namun benar-benar bisa dinikmati sebagai sebuah pesta, pesta demokrasi yang menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H