Mohon tunggu...
Ina Purmini
Ina Purmini Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga, bekerja sebagai pns

Menulis untuk mencurahkan rasa hati dan isi pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa salah 'money politic' dalam Pilkada Langsung? Wong Elit atau Wong Alit?

19 September 2014   22:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:12 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandangan partai-partai di DPR atas RUU Pilkada terbelah, Koalisi Merah Putih setuju dengan pilkada lewat DPRD sementara partai pengusung Jokowi-JK tetap mempertahankan pemilukada langsung. Masing-masing mempunyai argumen dalam mempertahankan pendapatnya.

Koalisi Merah Putih yang setuju mengembalikan pemilihan Gubernur/Walikota/Bupati melalui DPRD beralasan antara lain bahwa ekses negatif yang ditimbulkan pemilukada langsung sangatlah besar, berbiaya tinggi dan tidak sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. Benarkah demikian? Rasanya tidak sepenuhnya benar, dengan argumen sebagai berikut :

1. Ekses negatif

Dikatakan bahwa pemilukada langsung menimbulkan ekses negatif seperti timbulnya konflik horizontal di masyarakat, timbulnya money politik yang meluas di lapisan masyarakat paling bawah, kecenderungan terjadinya korupsi oleh Kepala Daerah bahkan merusak tatanan birokrasi (seringnya dilakukan mutasi pejabat) sebagai akibat Kepala Daerah terpilih harus mengakomodir kepentingan timses dan 'mengembalikan modal'.

Ekses negatif tersebut sebenarnya bisa diminimalisir misalnya dalam hal konflik horizontal. Kenyataannya masyarakat hanyalah mengikuti apa yang dilakukan/diperintahkan elit/calon yang didukungnya. Manakala sang calon yang kalah dapat dengan 'legowo' menerima kekalahan, terlebih mau memberi ucapan selamat kepada pemenang, yakin bahwa masyarakat pendukungnya pun akan legowo, tak akan ada konflik horizontal. Contoh yang paling mudah adalah apa yang terjadi di Pilpres, coba kalau pak Prabowo-Hatta legowo menerima ketetapan KPU mengakui kekalahan dan memberi selamat kepada Jokowi-JK, tak akan ada demo-demo, friksi, riuh rendah di masyarakat pemilih.

2. Pilkada langsung biaya tinggi

Pilkada langsung memerlukan biaya tinggi bila dibandingkan pilkada melalui DPRD, yang sebenarnya tidak fair untuk dibandingkan. Tak dapat dipungkiri pilkada langsung membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi karena harus mengadakan logistik dan distribusi yang luas, mulai dari kertas suara, kotak suara, bilik suara serta biaya personal panitia pemilih.

Ada solusi untuk masalah ini, misalnya dengan pemilihan secara elektronik. Di jaman yang serba elektronik ini rasanya tidak terlalu sulit bagi para pakar IT untuk membuat program/sistem yang handal untuk pilkada secara elektronik yang dengan ini dapat menekan biaya pilkada langsung. Bahkan transparansi dan akuntabilitas dengan cara ini juga lebih bisa diandalkan. Pemilihan secara elektronik ini telah  dilakukan pada beberapa daerah di Bali.

Biaya tinggi juga ditimbulkan karena calon banyak mengeluarkan biaya kampanye, membiayai timses, bahkan politik uang dengan bagi-bagi uang kepada masyarakat agar memilihnya. Siapa yang salah dalam hal ini? siapa yang membuat biaya pilkada jadi tinggi? Wong elit of course bukan wong alit. Masyarakat paling-paling hanya bisa membuat spanduk menerima 'serangan fajar'. Tapi kalaupun tak ada serangan fajar kepada mereka akankah mereka marah? ngamuk? demo? Jawabannya : Tidak! Kalau calon kepala daerah percaya diri, punya kompetensi, punya komitmen, track record bagus dan punya integritas, tanpa bagi-bagi uang pun masyarakat akan memilihnya.

3. Pilkada langsung bertentangan dengan Pancasila?

Sila ke-4 yang berbunyi : "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"  dijadikan alasan bahwa pilkada langsung bertentangan dengan Pancasila. Sila tersebut berarti  dalam setiap pengambilan keputusan agar dilakukan secara musyawarah (permusyawaratan) untuk mufakat, dan bila tidak tercapai musyawarah mufakat  dapat dilakukan dengan voting (perwakilan) mewakili suara terbanyak. Dalam  pemilihan pemimpin organisasi, misalnya Ketua Kelas, Ketua OSIS, Ketua Senat biasanya dilakukan dengan musyawarah mufakat namun bila tak tercapai mufakat kemudian dilakukan voting oleh anggota organisasi.Demikian pula hendaknya ketika memilih pemimpin daerah, tentu harus dilakukan musyawarah seluruh masyarakat di daerah, namun itu tidak mungkin dilakukan sehingga voting jugalah jalan keluarnya.

Bagaimana bila pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD yang notabene adalah wakil rakyat? Bukankah rakyat telah memberikan suaranya untuk mewakili mereka? Namun ternyata berdasarkan ketentuan yang ada wakil rakyat hanya diberi hak oleh rakyat untuk melakukan legislasi, budgeting dan pengawasan, tidak untuk mewakili mereka dalam memilih pemimpin mereka. Jadi...masyarakat memilih DPRD dan kepala daerah dua-duanya secara langsung, DPRD diberi tugas oleh rakyat untuk melaksanakan fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan dan kepala daerah diberi tugas oleh rakyat untuk fungsi eksekusi.

Kalau KMP ngotot ingin kembali kepada Pilkada melalui DPRD, sebaiknya dilakukan referendum saja...masyarakat ditanya 'mau yang mana? Langsung atau melalui DPRD?'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun