Mohon tunggu...
Nurjannah
Nurjannah Mohon Tunggu... Freelancer - Masih belajar

Happy woman as a mother and a learner...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ter-lockdown di Malaysia (Part 1)

14 April 2020   15:19 Diperbarui: 14 April 2020   15:51 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disclaimer: cerita ini berdasarkan pandangan dan pengalaman pribadi penulis.

Diawal MCO saya masih bisa nyinyir dengan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal yang dilakukan orang-orang seperti borong masker dan panic buying. 

Namun, saat ini saya mulai menyadari, masing-masing orang memiliki ketakutan mereka sendiri. Ketakutan yang mungkin tidak akan dimengerti orang lain karena tidak dapat dijelaskan. 

Ketakutan yang tinggal jauh didalam hati. Ketakutan yang datang karena kita tidak pernah diajarkan atau dilatih untuk menghadapi pandemi seperti Covid19. Ketakutan yang muncul karena minimnya informasi tentang apa yang mengancam kita. Ketakutan yang sangat wajar karena kita tidak berpengalaman.

Saya menyadari hidup saya sudah tak lagi sama. Prioritas saya sudah berubah, hal-hal yang dulunya terasa penting sekarang tidak saya pedulikan lagi. Tujuan hidup saya pun menjadi jauh lebih sederhana, saya hanya ingin mampu bertahan dan meneruskan hidup. Persis seperti kata-kata petugas POM bensin, "Dari Nol ya..."

Semua terasa seperti sebuah episode mati lampu saat sedang mengetik laporan penting yang hampir sampai pada baris terakhir , belum disimpan dan laptop langsung terhubung ke listrik tanpa baterai. Cengok (istilah saya untuk rasa tergagap, bengong dan tidak tau harus bereaksi seperti apa).

Sebelum virus ini datang menyambangi bumi, hidup saya memang tidak super baik-baik saja. Tapi setidaknya jalanan didepan mata masih terlihat jelas. 

Saya masih bisa bermanouver ke kanan dan kiri untuk menghindari rintangan. Pun ketika MCO (movement control order) pertama diumumkan, saya masih merasa ringan-ringan saja. 

Bahkan ditanggal 18 Maret 2020 (hari pertama MCO) saya masih pergi ke kantor Imigrasi untuk menyerahkan berkas perpanjangan visa anak saya. Semua "normal" dan saya diminta untuk datang 2 hari berikutnya untuk mengambil surat tanda permohonan saya diterima.

Saat itu petugas imigrasi mengatakan load aplikasi sangat banyak, masa berlaku visa anak saya masih cukup panjang, sehingga surat tanda terima itu tidak dibutuhkan buru-buru.

Lalu, drama dimulai, saya datang 2 hari setelahnya dan menemukan kantor imigrasi tutup. Saya mencoba menghubungi teman dan pembimbing saya, dan mereka menyarankan saya untuk tidak kemana-mana dan bertahan di Malaysia serta menyarankan untuk menghubungi hotline center. 

Syukurnya, jawaban petugas imigrasi diujung saluran telepon sangat menenangkan, "tidak perlu panik, begitu kantor imigrasi dibuka, silahkan ibu datang, nanti petugas kami akan membantu". Saya lega saat itu. Saya bersiap-siap untuk datang paling pagi saat kantor imigrasi dibuka.

Selama minggu pertama MCO, saya diserang Covid19-Anxiety. Saya mengalami kecemasan berlebihan yang tidak dapat dijelaskan. Setiap pagi dan sore saya memeriksa suhu tubuh, seharian saya hanya berbaring sambil mencari berita apa saja tentang Covid19 tanpa dapat saya kendalikan. 

Saya merasa tidak bertenaga, ketakutan ketika batuk dan bersin, mencuci tangan saya sesering mungkin, bahkan sulit untuk tidur nyenyak. Serta sering berandai-andai jika saya sudah terpapar virus. 

Berita dan kabar apapun yang saya terima disiang hari akan berubah menjadi mimpi menyeramkan dan membuat saya terbangun ditengah malam. Menyadari kondisi mental saya tidak sehat saya mencari informasi tentang Covid19-Anxiety dan mengetahui saya tidak sendiri. Banyak orang diseluruh dunia juga mengalaminya. 

Saya mencoba memulihkan diri dan keluar dari zona ketakutan dengan berdoa dan berbagi kecemasan saya dengan keluarga dan teman. Akhirnya, saya pun mampu mengendalikan diri dan emosi.

Tapi, cerita belum usai, masa MCO diperpanjang 14 hari kedepan (term ke 2). Saya kembali cengok, tidak ingin mengulang siklus di minggu pertama. Dengan mempertimbangkan dokumen permohonan visa anak saya yang sudah dinyatakan secara lisan diterima plus kondisi perkembangan virus corona di Indonesia yang agak kabar-kabur, saya memutuskan untuk mengambil resiko bertahan di Malaysia. 

Meskipun saat ini visa anak saya mulai expired. Saya bertekad akan menghadapi apapun urusan yang akan terjadi di tanggal 15 nanti, saat saya datang ke kantor imigrasi. Ini adalah hidup saya, saya harus dan akan bertanggungjawab.

Saya mencari informasi tentang kebijakan imigrasi Malaysia di tengah pandemi ini dan menemukan bahwa ada banyak orang Indonesia yang menghadapi masalah yang sama. 

Untungnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur memahami keresahan warganya. KBRI mengeluarkan survey pendataan WNI terdampak MCO. 

Dalam form tersebut ditanyakan masalah apa yang dihadapi WNI, apakah kebutuhan pokok, visa atau kesehatan. Bersemangat saya mengisi formulir tersebut dengan harapan KBRI mungkin akan memfasilitasi masalah visa anak saya. 

Setidaknya, saya dan anak saya tidak termasuk sebagai pelanggar hukum. Saya juga mulai mengecek tiket pesawat untuk kembali ketanah air, mengingat Ramadhan akan segera tiba. Saat ini, berkumpul dengan keluarga adalah yang sangat saya rindukan.

Namun, manusia berencana Tuhan jua lah yang memutuskan. MCO diperpanjang kembali selama 2 minggu. Saya tidak tahu harus berkata apa. Urusan visa anak sudah saya lakoni sejak 4 bulan yang lalu, menguras tenaga, airmata dan juga biaya. 

Saat urusan sudah selesai 95%, Covid-19 datang dan membalikkan semua usaha saya. Ingin kembali ke Indonesia pun saat ini menjadi dilema. Penerbangan hampir nihil. Hanya ada 2 penerbangan dari Kuala Lumpur ke Jakarta antara tanggal 15 sampai 28, dengan kenaikan harga hampir 10 kali lipat dari biasanya.

MCO term ke 3 baru akan dimulai besok hingga 28 april. Entahlah, mana yang lebih menakutkan, virus Covid-19 atau dampak yang ditimbulkannya. Saya tidak ingin menerka-nerka seperti apa urusan visa anak saya nanti. Hanya berharap semoga Tuhan memberi jalan. Kali ini saya benar-benar pasrah. 

Menyerahkan seluruh jiwa raga dalam ketentuan sang Pencipta. Tidak ada lagi rasa dongkol atau setengah ikhlas. Satu-satunya yang membuat saya bersemangat menjalani hari adalah satu janji dari Nya. "Allah tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan makhluk-Nya". Artinya, dengan izin Tuhan saya akan mampu melewati semua cobaan dan ujian ini. Semoga cerita ini selanjutnya akan manis. Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun