Saya menyatakan setuju pada sebuah opini dalam sebuah majalah yang nyasar ditempat duduk saya (sedang diruang tunggu ceritanya), “Mengapa Tidak?” (Why not?...)
Saya kira, hampir semua orang mengetahui konsep berpikir positif, keyakinan bahwa bahkan untuk hal-hal yang burukpun pasti ada sisi positifnya. Tapi sebenarnya saya sendiri beberapa kali masih mengalami kesulitan untuk dapat berpikir positif setiap saat, dan itu wajar. Kadang saya merasa khawatir tentang sesuatu, tidak percaya terhadap sesuatu. Dalam social development-nyaErik eriksson, hal tersebut dinamakan trust versus mistrust. Diharapkan ada keseimbangan antara rasa percaya dan kekhawatiran agar seseorang tetap maju dengan rasa percayanya dan waspada terhadap apa yang tidak bisa dipercaya. Kedengarannya sulit, karena kita bukanlah “cenayang” yang punya indera keenam dan mampu membaca pikiran orang lain. Lalu apa hubungannya dengan kalimat “why not?”. Terus terang, hingga saat ini saya sendiri tidak terlalu sering mengucapkan kata-kata ini, meskipun kita sebenarnya sangat sering menanyakan “why (mengapa)?”.
Coba diingat-ingat lagi, pertanyaan “why?” yang kita ajukan itu untuk apa? Sederhana saja, suatu hari saya mengajak seorang teman yang sedang tidak sedang melakukan apapun dirumah untuk pergi kesuatu tempat untuk sekedar berjalan-jalan. Setelah pertanyaan pertama akan kemana, pertanyaan kedua yang muncul “mengapa harus kesana?” Dan dilanjutkan dengan sedikit perdebatan yang menghasilkan “gagal pergi”, karena saya sendiripun akhirnya juga terprovokasi untuk “mengapa harus pergi”.
Kadang saya juga demikian, jika saya diminta melakukan sesuatu, terutama untuk sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan saya, selalu muncul pertanyaan “mengapa harus melakukan ini, itu?”. Itu mekanisme yang bekerja pada kebanyakan kita. Istilahnya self defense mechanism, kita mempertahankan diri untuk tidak melakukan apa-apa yang kita tidak tahu, tidak kenal dan kita yakini mengandung resiko yang kita khawatirkan akan mengancam, baik itu keselamatan maupun eksisitensi kita.
Sekarang coba berandai-andai, jika Zuckerberg terus bertanya “ mengapa harus membuat Facebook?” disaat tak ada seorangpun tahu apa itu facebook, apa fungsinya dan apa pengaruhnya, saya kira kita masih tetap akan mengandalkan pak pos untuk berkirim kabar sampai hari ini. Bukankah itu sering terjadi pada kita dengan terus menerus bertanya “mengapa” pada sebuah ide, memunculkan begitu banyak hal yang diperkirakan dapat menghambat, dan tiba-tiba “boom” seseorang yang menyatakan pada dirinya “mengapa tidak” muncul dan membuat gebrakan dengan “ide kita” itu.
Lalu, apa itu berarti kita harus mengatakan “ya, mengapa tidak “ pada apapun? Idealnya saya akan mengatakan, oh.. tentu tidak, harus ada perhitungan yang matang, harus ada kalkulasi biaya yang jelas dan bla..bla..bla.. tapi, atas dasar apa yang pernah saya lakukan dan alami, akan lebih baik jika kita membuka peluang apapun terhadap hal-hal yang kita yakini baik. Kepada sesuatu yang bermanfaat untuk banyak orang, kepada sesuatu yang dapat meng-up grade kualitas diri dan keluarga kita, kepada sesuatu yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lingkungan, kepada sesuatu yang menimbulkan perasaan bersyukur, dan kepada kebaikan-kebaikan kecil yang sering disepelekan orang kebanyakan.
Mengapa tidak membuang sampah pada tempatnya?
Mengapa tidak menyebrang dizebra cross ? (ini diajarkan pada saat saya duduk dikelas 2 SD).
Mengapa tidak bangun lebih awal dipagi hari?
Mengapa tidak ikut berbagi dengan anak-anak tidak mampu?
Mengapa tidak tersenyum kepada orang-orang yang ditemui?