Mohon tunggu...
Inayatun Najikah
Inayatun Najikah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas, Pecinta Buku

Belajar menulis dan Membaca berbagai hal

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kapan Kau Melihat Saya sebagai Pasanganmu

19 Juni 2024   12:11 Diperbarui: 19 Juni 2024   12:27 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya ingin bercerita tentang apa yang saya rasakan sejak kemarin. Bukan soal kebahagiaan bersamanya, akan tetapi kesedihan akibat perbuatannya yang terus berulang. Kesalahan yang tak pernah diperbaikinya. Dan kesalahan yang selalu diperbuatnya. Saya lelah berjuang seorang diri. Memperjuangkan cinta saya yang sebenarnya tak pernah ia hargai. Saya selalu mengatakan kepadanya tidak meminta banyak, hanya waktunya sebentar untuk benar-benar menganggap saya sebagai kekasihnya. Perempuan yang ia cintai.

Saya tahu dia pasti saat ini sedang menghadapi sesuatu yang penting. Dan kejadian seperti ini tak hanya terjadi dua tiga kali. Sudah berulang kali. Dan saya selalu minta dan memohon kepadanya untuk diberi tahu jika ia tak ingin diganggu sementara waktu. 

Saya masih ingat pelajaran yang disampaikan oleh Dr. Aisyah. Bahwa laki-laki jika tengah menghadapi masalah akan diam seribu bahasa untuk mencari solusinya. Lalu setelah mendapatkannya, ia baru bercerita. Berbeda dengan perempuan yang ingin selalu bercerita apa saja. Karena jumlah kata yang diucapkan lebih didominasi oleh perempuan. Akan tetapi Dr. Aisyah juga mengatakan laki-laki jika mencintai pasangannya pasti akan berkata dan meminta kelonggaran waktu untuk meredam rasa khawatir dan cemas pasangannya. Memberikan pemahaman kepada pasangannya. Itu baru disebut ketersalingan.

Saya hanya ingin menerapkan itu dalam jalinan asmara dengannya. Karena saya tahu dia tak akan pernah bisa selamanya bersama saya. Saya bukan perempuan yang ia pilih untuk menemani prosesnya belajar mengenal dunia dan kehidupan. Dan saya berkeyakinan meski sebentar jika memang benar-benar serius, maka akan menyisakan kenangan yang begitu indah bagi saya. Keyakinan saya lahir sebab ucapannya yang manis. Dia mencintai saya dan ingin belajar bersama saya.

Tapi entah sampai kapan saya harus merasakan kepedihan ini. Janji yang ia ucapkan hanya sekadar janji. Saat beban berat menghampirinya, ia akan menjadi lupa. Bahkan kemarin saat kami dan teman-teman pergi ke pantai, hanya saya seorang yang ditinggal untuk melaksanakan ibadah sholat. Dan saat perjalanan pulang saya bertanya kepadanya via online, dia hanya membaca tanpa membalas atau pun berkata apapun.

Kekecewaan yang saya rasakan berujung pada kemarahan. Saat dia meminjam charger, saya memberinya dengan tidak sopan. Saya melemparkannya asal. Hati saya sakit atas perlakuannya sore itu. Lantas saya mendiamkannya juga tak banyak bicara. Namun saat sampai dirumah, saya berpikir. Mengapa saya memperlakukannya demikian?

Seharusnya saya sadar akan konsekuensi seperti ini darinya. Menyadari bahwa dia tak akan pernah bisa melihat saya sebagai kekasihnya, perempuan yang "katanya" ia cintai. Setelah hati saya sedikit membaik, saya memberinya kabar meminta maaf atas apa yang saya lakukan kepadanya dengan melempar charger tadi. Perasaan saya perlahan membaik. Saya yang seharusnya lebih bisa belajar menerima konsekuensi ini. Konsekuensi sebab saya mencintai dirinya.

Ketika perasaan sudah mulai membaik, pagi ini ia juga membuat saya kecewa. Saya tak masalah jika dia mau meminta waktu yang panjang. Sehari dua hari bahkan seminggu untuk berdiam diri menyelesaikan masalahnya. Tapi saya masih belum menerima jika ia hilang begitu saja tanpa kabar apapun.

Saat dia memberi kabar tentang niat baiknya memberikan sesuatu untuk saya, nyatanya kembali terpatahkan. Bukan sesuatu untuk saya seorang. Akan tetapi untuk kebersamaan dengan orang-orang disekitar kami. Ekspektasi saya dihancurkan oleh kenyataan yang ada. Ya perasaan yang mulai membaik sejak tadi malam itu, kembali bergejolak.

Kapankah ia benar-benar melihat saya sebagai pasangannya?

Sayang, kamu tak perlu berpura-pura baik bahkan mengatakan mencintai saya. Jika perbuatanmu masih saja begini. Karena saya tak butuh itu. Kamu lebih baik berterus terang menganggap saya ini sebagai apa. Agar hati dan perasaan saya tak salah menilai perbuatan dan ucapanmu. Jika kamu singgah hanya ingin sebagai tamu, maka akan saya suguhkan kopi. Bukan hati ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun