Mohon tunggu...
Inayatun Najikah
Inayatun Najikah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas, Pecinta Buku

Belajar menulis dan Membaca berbagai hal

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perempuan Identik (Ahh....)

28 Desember 2022   14:41 Diperbarui: 2 Januari 2023   12:31 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya perempuan. Dan kini usia saya sudah menginjak seperempat abad. Saya tinggal di lingkungan pedesaan yang masih menjunjung tinggi sikap patriarki. Sikap yang bagi saya itu sangat menggangu sekali. Sebab terlahir sebagai seorang perempuan, gerak dan tingkah laku seakan terasa terbatasi serta selalu diawasi.

Saya mengakui tinggal dilingkungan patriarki sangat tak mudah. Perempuan harus dituntut serba sempurna berdasarkan anggapan masyarakat. Perempuan di lingkungan patriarki harus bisa memasak, mengurus urusan domestik, dan tak perlu mengambil banyak peran di ruang publik. Perempuan dalam lingkup patriarki didoktrin untuk selalu taat dan patuh serta tak boleh membantah setiap perkataan suami.

Perempuan yang berpendidikan tinggi dan punya kecerdasan dianggap sebagai perempuan yang melawan kodratnya. Sebab bagi lingkungan patriarki, perempuan hanya dianggap sebagai makhluk lemah, tahunya dapur, sumur, dan kasur. Kalau orang sekarang lebih mengenal dengan (ah), umbah-umbah, isah-isah, momong bocah dan ah.. ah.. ah..lainya.

Siklus perjalanan hidup seorang perempuan pada lingkup patriarki pun sudah ditentukan. Saat remaja harus berkelakuan baik, menjadi anak penurut, lalu menikah dan menjadi seorang ibu. Jika tak seperti itu, maka belum dianggap sebagai perempuan sempurna. Bukankah ini terlihat membebankan. Tentu membosankan bukan?

Saya telah mengalami dan menjalani hal itu. Dari mulai saya disudutkan untuk segera menikah, sampai pada di dunia kerja, jarang sekali pendapat saya didengarkan. Namun, meski begitu saya tetap menjalani rutinitas tersebut dengan santai. Salah satu penyebabnya adalah saya mendapat dorongan semangat dari orang terkasih.

Usia saya saat ini kiranya dianggap sebagai usia sudah matang untuk melangsungkan pernikahan. Maka dari itu, orang tua saya yang masih memegang kental budaya patriarki tersebut, merasa khawatir dan risau untuk segera menikahkan saya. Mereka takut saya akan mendapat label perempuan tak laku atau perawan tua dari masyarakat setempat. Tanpa harus memperdulikan perasaan dan hati saya, akankah perempuan tak bisa menentukan akan cinta dan kehidupannya?

Tampaknya penilaian dari masyarakat lebih diutamakan orang tua saya ketimbang kebahagiaan anaknya sendiri. Bagi saya pernikahan adalah pertalian sakral, mengikat laki-laki dan perempuan dalam dan dari segi apapun. Baik secara agama maupun negara. Jadi tak sembarangan memutuskan untuk menikah itu. Sebab pernikahan adalah pertangungjawaban atas diri sendiri dan penentuan masa depan.

Pada sisi dunia kerja pun begitu. Pendapat saya selalu diremehkan. Alasannya saya masih bau kencur lah, belum banyak merasakan manis pahitnya kehidupan. Anggapan dan penilaian yang dialamatkan kepada saya tersebut, saya mencoba membalas dalam bingkai sebuah karya. Meski awalnya saya sendiri merasa kurang percaya diri dan takut, namun suatu ketika datanglah seorang laki-laki yang kini teramat saya sayangi memberikan dorongan dan support terhadap karir saya.

Saya diajarinya menulis, dibimbing untuk mengasah bakat yang selama ini terpendam. Dua hal yang memang sedari lama saya abaikan. Orang tua saya terkhusus ibu selalu mewanti-wanti agar saya tak terlalu banyak beraktivitas didunia publik. Alasannya sederhana. Kembali lagi saya adalah perempuan yang hanya boleh bertugas di rumah saja, dan menginginkan saya segera menikah.

Saya sering kali mengeluh. Mengapa saya seakan tak diberi ruang untuk menjelaskan keinginan dalam menggapai cita-cita sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Toh apa yang saya kerjakan tak merugikan orang lain. Saya hanya mengusahakan apa yang bisa saya kerjakan untuk turut membantu mengembangkan organisasi tempat saya menggali potensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun