Pada saat sedang berbincang santai dengan orang terkasih, tiba-tiba dia menunjukkan sesuatu kepada saya. Kompetisi menulis tentang sebuah kebajikan.Â
Dia yang notabene sebagai pembimbing sekaligus motivator saya dalam menulis, menyarankan untuk menuliskan pengalaman tentang hal sederhana yang saya lakukan waktu itu saat berangkat bekerja.Â
Maklum dirinya telah menjadi pendengar setia atas segala keluh kesah yang saya utarakan. Bahkan lebih dari itu, ia akan sigap menyiapkan bahu saat saya membutuhkan sandaran.
 Suatu pagi saat saya berangkat bekerja, saya menjumpai seorang perempuan paruh baya sedang menggendong bakul (wadah atau tempat yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan dengan mulut berbentuk lingkaran) yang cukup besar. Saya memanggilnya Mbah Paimah. Lantas saya berhenti disampingnya dan bertanya.
"Mau kemana Mbah?"
"Mau pulang, Nduk."
"Ohh bareng saya saja Mbah."
Ia awalnya tak mau, sebab takut merepotkan. Namun saya tetap bersikeras mengajaknya dengan alasan jalannya satu arah dengan tempat saya bekerja. Saya tak tega jika membiarkannya berjalan seorang diri ditengah terik matahari. Meski tak terlalu siang, namun sinar matahari cukup membuat tubuh lebih cepat berkeringat.
Sepanjang perjalanan kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Saya tak berani mengajukan pertanyaan, begitu juga dengan Mbah Paimah yang lebih memilih untuk diam. Mbah Paimah hanya menunjukkan jalan yang biasanya ia lalui.Â
Saat hampir sampai pada jalan raya, ia meminta berhenti. Setelah turun dari sepeda motor, ia mengucapkan terimakasih. Kemudian saya berlalu untuk melanjutkan perjalanan. Meski jalan yang telah terlewati justru akan membuat saya lebih lama untuk sampai ditempat bekerja, namun saya tak mempermasalahkannya.