Beberapa hari yang lalu di desa tempat saya tinggal sedang melaksanakan bersih desa. Tradisi yang sudah turun temurun. Entah siapa pencetus awalnya, yang jelas tradisi ini sampai kapanpun akan senantiasa dilestarikan. Tampaknya tak hanya didesa saya saja, melainkan diberbagai desa lainnya pun turut memperingati kegiatan yang biasanya diadakan satu tahun sekali ini.Â
Ada berbagai macam hiburan yang disajikan. Mulai dangdut, ketoprak, lomba antar warga, pengajian, dan lain sebagainya. Semua dilaksanakan dengan tujuan bersyukur kepada Tuhan.
Dua tahun yang lalu bersih desa ditempat saya dijalankan dengan sangat sederhana, sebab terhalang pandemi. Hanya menggelar doa dan khataman Al-Qur'an di maqbaroh (makam) sesepuh desa. Meski hanya begitu, kegiatan tersebut dilaksanakan dengan sangat khusyuk karena hanya dari warga desa yang datang. Itupun hanya beberapa orang saja.
Tahun ini setelah mendapat persetujuan dari pemerintah setempat serta mengingat pandemi sudah semakin mereda, desa saya mengadakan acara bersih desa dengan semarak dan meriah.Â
Desa saya terdiri dari tiga dukuh. Kedalon, Kalangan, dan Gempol. Masing-masing dukuhnya melaksanakan bersih desa dengan menggelar hiburan yang bermacam-macam.Â
Di Kedalon sendiri mendatangkan ketoprak Trisno Budoyo dari Jaken dan ditutup dengan pengajian. Setelah sebelumnya ada tahlil dan khataman Al-Quran di makam sebagai kegiatan wajibnya.
Menariknya jika sedang masa-masa bersih desa, seluruh warga membuat besekan (berkatan) untuk dibawa ke makam dan dibawa ke rumah sesepuh desa untuk didoakan. Banyak orang dari luar desa yang sengaja datang untuk memperebutkan berkat. Katanya mendatangkan keberkahan.
Saya pernah mendengar cerita tentang berkat yang disebar disawah-sawah karena mampu menyuburkan tanah dan membuat tanaman cepat bertumbuh besar.Â
Entah sugesti atau apa yang jelas menurut saya itu adalah anugerah yang patut kita syukuri. Karena segala sesuatu jika dibacakan doa pasti mengandung keberkahan dan mendatangkan hal positif.
Malam itu setelah seharian berkutik di dapur membantu ibu menyiapkan berkat, saya sempatkan menonton pagelaran ketoprak dilapangan desa bersama ibu. Saya datang hanya melihat bagian perangnya saja setelah itu pulang. Sebab paginya harus berangkat kerja.Â
Jika tak begitu ditempat kerja pasti saya akan mengantuk. Saat perang adalah bagian paling mengasyikkan bagi saya. Tak tau kenapa alasannya. Hal itu sepertinya sudah mendarah daging dari sejak saya kecil.
Dimalam yang lain saya kembali mengikuti serangkaian kegiatan bersih desa yang ditutup dengan pengajian. Saya sangat bersyukur dan bahagia melihat antusias warga yang begitu luar biasa.Â
Tanpa diundang satu per satu mereka datang berbondong-bondong menuju lokasi yang disiapkan, berharap ilmu dan barokah dari apa yang disampaikan sang mubaligh.Â
Tak hanya dari desa saya saja, beberapa orang desa lain sengaja meluangkan waktunya. Pengajian dimulai sejak pukul 20.00 hingga 23.15 dengan mendatangkan KH. Abdul Wahid dari Cluwak Pati.
Ada beberapa poin yang disampaikan oleh sang mubaligh. Diantaranya tentang hikmah bersyukur dan berkahnya menolong sesama. Sang mubaligh menyampaikan dengan lugas disisipi berbagai cerita yang tertuang dalam hadist-hadist Nabi.Â
Semua yang hadir menyimak dengan seksama dan sesekali tertawa karena cerita yang disampaikan mengandung kelucuan. Saya yakin hal itu disisipkan agar pendengar tak merasa jenuh jika yang disampaikan hanya itu-itu saja.
Kiranya semoga kegiatan bersih desa senantiasa akan terjaga sampai kapanpun. Bukan karena sebab ada hiburan gratis, melainkan sebagai wujud rasa syukur kita atas bumi dan segala isinya yang diberikan cuma-cuma oleh Tuhan kepada manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI