Mohon tunggu...
Inamul Hasan
Inamul Hasan Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi

Santri | Mahasiswa | Researcher | Traveler | Peresensi | Coffee Addict | Interested on History and Classical Novels

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Mahasiswa di Tanah Rantau Gara-gara Corona

27 Maret 2020   04:54 Diperbarui: 27 Maret 2020   19:27 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia disibukkan dengan kasus virus Corona (Covid-19). Kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat hingga sekarang. Sementara ini hingga Jumat (27/3) sore, sudah terdapat 1.046 kasus yang dinyatakan positif, 87 meninggal, dan 46 sembuh. 

Kepanikan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dengan habisnya persediaan masker di tempat-tempat yang seharusnya bisa didapatkan oleh masyarakat dengan mudah. Tak peduli dengan harga yang ditawarkan, mereka membeli masker tersebut tanpa pikir panjang.

Setelah berita tentang masker nyaris tidak ada lagi, kepanikan mulai meningkat karena beberapa wilayah di Indonesia sudah melakukan konfirmasi terkait kasus Covid-19. 

Sejumlah wilayah yang dimaksud adalah DKI Jakarta, Bekasi, Depok, Cirebon, Purwakarta, Bandung, Tangerang, Solo, Pontianak, Manado, Bali dan Yogyakarta. Yogyakarta yang terkenal dengan julukan "Kota Pelajar" ini mengonfirmasi adanya kasus Covid-19 untuk pertama kalinya pada 15 Maret 2020.

Kampus Di-Lockdown
Akibatnya, beberapa kampus di wilayah-wilayah yang terjangkit virus Covid-19, seperti Jogja dan Bandung sudah membuat kebijakan dalam rangka menekan peningkatan kasus Covid-19. 

Salah satu kebijakan tersebut adalah para mahasiswa melakukan perkuliahan secara daring (online), tanpa hadir ke kampus untuk bertatap muka. Kebijakan ini disambut baik oleh seluruh mahasiswa, termasuk dosen.

Kebijakan ini membuat para dosen dan mahasiswa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sistem pembelajaran dibuat senyaman mungkin dengan menggunakan platform media sosial yang berbeda-beda. 

Para mahasiswa dan dosen tentunya harus tersambung dengan koneksi internet agar proses pembelajaran dapat berlangsung, walaupun --menurut saya-- tidak cukup efektif dibandingkan dengan cara bertatap muka.

Kebijakan ini tentu memberikan efek. Para orangtua tentunya sudah mengetahui berita ini. Mereka berpikir anak-anaknya bisa saja kuliah dari rumah, tidak harus bertahan di kos-kosan. 

Otomatis, mereka (orangtua) menginginkan anaknya segera pulang, terutama bagi anak-anaknya yang berkuliah di wilayah yang sudah terjangkit virus Covid-19. 

Mereka (para orangtua) takut jika wilayah yang dimaksud tiba-tiba saja harus di-lockdown. Oleh karena itu, mereka meminta anaknya segera pulang sebelum (kebijakan) lockdown itu terjadi.

Walaupun lockdown belum dijadikan sebuah kebijakan, namun wacana yang berkembang sudah mengarah ke situ. Narasi-narasi untuk tidak mudik, work from home (WFH), #DiRumahAja selama 14 hari, atau beberapa pekan terus digaungkan.

Narasi atau lebih tepatnya imbauan ini bisa saja mengarahkan kepada kebijakan lockdown jika kasus akibat Covid-19 terus meningkat dengan pesat di Indonesia.

Belajar dari Kasus WNI di Wuhan
Efek yang timbul tentunya berkaitan erat dengan kejadian sebulan yang lalu. Kala itu, WNI dan pelajar Indonesia yang berada di Wuhan (Cina) sangat sulit keluar dari sana karena sulitnya mekanisme yang dilalui, apalagi Wuhan sendiri sudah terlanjur di-lockdown pada saat itu.

Kebijakan lockdown yang diterapkan di Wuhan saat itu untuk menekan agar virus tidak menyebar. Pemerintah di sana sangat cepat dan cekatan dalam menangani hal ini. Kebutuhan makanan dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan lockdown dapat terpenuhi.

Namun, tetap saja para orangtua menginginkan anaknya pulang segera untuk meninggalkan Wuhan. Mungkin agak berlebihan membandingkan dengan kasus WNI di Wuhan. 

Tapi, tetap saja kebijakan lockdown yang diwacanakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, saat ini tidak dapat menjamin kebutuhan dari masyarakat, termasuk mahasiswa di perantauan akan terpenuhi nantinya.

Memang, kinerja pemerintah Indonesia pada saat memulangkan WNI yang berada di Wuhan diapresiasi oleh para orangtua dari pelajar karena berhasil memulangkan anak-anak mereka ke Tanah Air. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga berhasil meyakinkan bahwa WNI yang dikarantina di Natuna bebas dari Covid-19, walaupun mereka ditolak oleh sebagian warga di sana pada awalnya. 

Lalu, bagaimana nasib mahasiswa yang ada di Indonesia jika terjadi lockdown? Akankah warung-warung makan tetap buka? Ataukah membuat orang-orang ketakutan dan mengurung diri di rumah saja tanpa persediaan yang cukup?

Pulang Kampung, Sebuah Solusi?
Kembali membahas mahasiswa yang sedang berkuliah di wilayah yang sudah terjangkit Covid-19. Para orangtua banyak memikirkan bahwa pulang kampung adalah solusi terbaik sebelum lockdown. 

Pikiran ini adalah wajar karena belum terlihat kesiapan pemerintah dalam menangani masalah ini, jika kebijakan lockdown diberlakukan. 

Kebutuhan makanan, rumah sakit, petugas kesehatan, mobil ambulance dan sebagainya tentu harus sudah tersedia sebelum kebijakan lockdown diterapkan. Takutnya, lockdown diberlakukan namun kebutuhan pokok masyarakat tidak terpenuhi.

Tidak mungkin juga bagi mahasiswa untuk menumpuk beberepa kardus mi instan. Para orangtua juga tidak akan rela anak-anaknya mengonsumsi mi instan secara terus menerus, karena ditakutkan tidak ada warung makan yang buka. 

Artinya, kebutuhan pokok tidak pasti terpenuhi, sementara mi instan tidak mengandung nutrisi yang cukup untuk tubuh, apalagi untuk menangkal virus Covid-19.

Untuk saat ini, sebagian orangtua tidak peduli apakah anaknya terpapar Covid-19 atau tidak. Bagi mereka, hal yang paling urgent adalah anaknya pulang kampung terlebih dahulu.

Imbauan yang disampaikan oleh akun Instagram @kawalcovid19 agar tidak pulang kampung terlebih dahulu tidak begitu diacuhkan untuk saat ini. Mungkin, karena belum ada jaminan dari pemerintah bahwa segala kebutuhan akan tercukupi nantinya.

Bagi mereka yang pulang kampung, tentu juga ada kendala terkait kuliah daring. Karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses internet yang memadai. 

Mau tidak mau, mahasiswa yang berasal dari daerah yang dimaksud tentu harus bertahan di kos-kosannya agar dapat kuliah secara daring. Banyak yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan.

Begitu dilematis, antara pulang kampung atau tetap bertahan di wilayah-wilayah yang sudah terjangkit. Saya sendiri tentu memilih untuk pulang, karena tidak ada kuliah yang saya ikuti lagi. 

Sampai saat ini, saya tetap bertahan di Jogja karena (hanya) menunggu wisuda saja. Eh, ternyata wisudanya diundur sampai waktu yang belum ditentukan karena kasus Covid-19 ini. Jadi, saya secara pribadi lebih memilih pulang sebelum lockdown diterapkan. Berhubung karena disuruh orangtua juga.

Ketika pulang dari Jogja ke Padang dengan penerbangan langsung menggunakan salah satu maskapai pesawat, saya melihat sendiri bahwa mayoritas penumpang diisi oleh para mahasiswa perantau yang menuntut ilmu di Jogja. 

Alasan mereka pulang berkaitan erat dengan kebijakan yang ada. Namun, saya tetap waspada ketika pulang. Memakai masker, mencuci tangan, serta merendam pakaian yang digunakan saat perjalanan ketika sampai di rumah.

Semoga Covid-19 cepat berlalu agar mahasiswa dapat berkuliah sebagaimana mestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun