Mohon tunggu...
Inadhifa Aroesdi
Inadhifa Aroesdi Mohon Tunggu... lainnya -

writing is my passion. are you?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

G20S/DKI dan Kompasianer

18 September 2012   17:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Gubernur Jakarta putaran kedua hanya tersisa  satu hari lagi. Hari Kamis tanggal 20 September besok akan menjadi penentu siapakah dari dua calon bertahan yang akan melenggang bebas maju menjadi sang Gubernur selama lima tahun kedepan. Dalam tulisan ini saya tidak akan berkomentar soal bagaimana kinerja dari kandidat masing-masing pasangan, karena saya kira tulisan mengenai hal itu sudah sangat banyak dan menjamur di area Kompasiana ini. Namun ada beberapa hal lain yang benar-benar menggelitik saya untuk menuliskan artikel opini ini. Ya, ini memang berhubungan dengan para Kompasianer yang tentu saja aktif tergabung dalam blog Kompasiana ini.

Beberapa minggu terakhir saya memang hanya aktif sebagai pembaca dan pengamat saja di arena Kompasiana ini. Seringkali saya tergelak hingga terjengkang membaca beberapa komentar berupa kritikan pedas yang benar-benar telak terhadap salah satu pendukung kandidat calon-calon pasangan Gubernur yang siap maju pada putaran kedua nanti. Tapi tak jarang juga saya memicingkan sebelah mata dan mengernyitkan dahi membaca tulisan-tulisan yang dengan unsur ‘terpaksa ada’ yang di publish dalam ruang lingkup Kompasiana ini. Beberapa alasan yang dikemukakan terkesan mengada-ada dan seolah-olah merujuk pada sebuah referensi yang dicomot dari sana-sini padahal sebenarnya hanya asal tulis sebagai pendapat pribadi saja.

Hal yang paling mengherankan yang benar-benar membuat saya menuliskan tulisan ini adalah karena setiap kali saya membaca tulisan yang mendukung penuh calon Gubernur incumbent, seperti tidak mau kalah dan menerima bahwa pasangan incumbent tersebut memang bersifat arogan dan tempramen. Terlebih setelah adanya debat kandidat yang ditayangkan oleh Metro TV beberapa hari yang lalu, yang jelas-jelas pasangan incumbent terlihat sangat meremehkan dan menghina saingannya.

Pertanyaannya adalah, mengapa mereka (para pendukungnya) seolah-olah tutup mata dan tutup telinga atas apa yang sudah terjadi di Jakarta selama masa kepemimpinan dipegang oleh calon incumbent ini? Mengapa mereka sangat bersikeras mati-matian mengatakan bahwa justru saingan si incumbent lah yang hancur dan bobrok karena tidak amanah dengan meninggalkan daerah yang sedang dipimpinnya. Padahal kalau mau dibandingkan, sangat ketara sekali siapa yang benar-benar hancur dan bobrok serta tidak amanah dalam mengemban tugas yang dipercayakan rakyat kepada mereka (pasangan incumbent).

Hal yang benar-benar membuat saya tertawa hingga terjengkang dan geleng-geleng kepala adalah saat membaca gerak-gerik pendukung incumbent yang mulai terlihat gerah dan agak menyerah beberapa hari belakangan ini sehingga tak sengaja mereka pun ikut menyetujui bahwa Jakarta sudah hancur dibawah kepemimpinan calon incumbent dan apabila dipegang dengan yang bukan ahlinya, maka akan semakin hancur. Ya, mereka secara tidak sadar mengatakan dan mengakui bahwa Jakarta memang sudah hancur ditangan pasangan incumbent. Sayangnya, mereka tidak beruntung karena ternyata banyak sekali dari para kompasianer yang sangat kritis dan cepat tanggap dengan tulisan dalam situasi yang semakin memanas ini, hingga pada akhirnya semua perkataan pendukung incumbent dilemparkan lagi mentah-mentah oleh para pendukung calon Gubernur yang menginginkan perubahan untuk Jakarta hingga mereka (pendukung incumbent) bungkam dibuatnya.

Sempat terlintas dipikiran saya, kira-kira apa ya yang mereka (pendukung incumbent) lakukan saat dirinya terpojok oleh tulisan-tulisan dan kritikan-kritikan pedas yang dilemparkan oleh pendukung calon Gubernur yang menginginkan perubahan? Mungkinkah mereka memaki-maki pendukung dari kubu seberang yang kontra dengan pilihan mereka, atau justru memaki-maki diri sendiri dan membentur-benturkan kepalanya atas kebodohannya dalam berucap yang menyebabkan perihal tersebut menjadi bumerang bagi dirinya sendiri? Hihihi...

Salam Jakarta menuju perubahan ;)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun