Banser) yang ditugaskan untuk menjaga keamanan jemaat Gereja Sidang Jemaat Pantekosta (GSJP) Eben Haezer Mojokerto.
Di tengah rangkaian perayanan natal, hari ini 24 tahun yang lalu sebagian kita tidak akan pernah lupa peristiwa kematian Riyanto. Ia adalah salah satu anggota Bantuan Ansor Serbaguna (Peristiwa yang divisualisasikan dalam film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo ini, Rianto yang masih berusia 25 tahun dengan penuh keberanian memeluk bom yang diletakkan di dalam gereja dan membawanya ke selokan yang jauh dari kerumunan. Tak begitu lama, suara ledakan keraspun terdengar dan Riyantopun terpental beberapa puluh meter.
Tak pelak lagi, peristiwa yang merupakan rangkaian dari bom Bali ini membawa duga yang mendalam bagi Sukarmin dan Katiyem serta kedua adik Riyanto. Mereka kehilangan putra sulung dan kakak yang menjadi harapan dan tumpuan keluarga. Duka ini terasa hingga saat ini, Katiyem bunda Riyanto enggan mengingat peristiwa itu dan menolak untuk mengurai Kembali peristiwa itu.
Dibalik pengorbanan pejuang toleransi dan kemanusiaan sederhana ini terdapat pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa. Salah satunya adalah pentingnya cinta kasih tanpa memandang perbedaan latar belakang. Di tengah kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi yang berpangkal pada disrupsi di segala bidang cinta kasih menjadi bagian terpenting agar terhindar dari adu domba sesama anak bangsa.
Pemuka agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengembangkan sikap ini. Apa yang dilakukan Riyanto tak lepas dari pembelajaran agama yang ia terima terutama dalam memandang perbedaan agama. Semangat toleransi yang dipupuk dan dikembangkan oleh Nadlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia terpatri dengan baik. Dalam gerak Langkah hal ini diimplementasikan oleh badan otonom (Banom) NU seperti Muslimat, Fatayat, GP Ansor, IPNU, IPPNU, PMII dan yang lainnya.
Spirit kebangsaan dan kemanusiaan yang diikrarkan oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asya’ri ketika mendirikan Nadhlatul Ulama 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H). Gaya hidup Hubbul Wathan Minal Iman (Cinta kepada tanah air sebagian dari iman) membuat setiap insan Nadlatul Ulama memiliki semangat persaudaraan sesama anak bangsa (Ukhuwah Wathaniah). Dalam pengembangannya semangat itu berkembang dengan persaudaraan sesama manusia (Ukhuwah Basyariyah).
Dalam perspektif Kristiani, spirit ini selaras dengan salah satu hukum kasih yang terdapat dalam Matius 22:39, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Kekristenan menempatkan kasih kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang.
Secara figuratif hal ini dilukiskan dalam kisah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Dalam peristiwa ini Yesus memberikan perumpaman tentang pertolongan yang diberikan oleh orang Samaria yang dianggap kelompok marginal kepada korban perampokan. Berbeda dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat yang tidak mau menolong, orang Samaria yang dianggap warga kelas dua.
Dalam pelayanan Yesus selama tiga setengah tahun, pelayanan sosial menjadi salah satu orientasi yang dimiliki. Pada awal masa pelayanannya, Yesus melakukan mujizat air menjadi anggur dalam sebuah pesta pernikahan. Demikian juga dengan mujizat kesembuhan yang dilaksanakan. Yesus tidak memandang latar belakang seseorang dalam menolong.
Dari Riyanto kita belajar bahwa cinta kasih antar anak bangsa dan manusia harus menjadi dasar interaksi yang dibangun antar umat beragama. Tanpa adanya sikap ini, hubungan antar manusia termasuk kerukunan antar umat beragama hanyalah formalitas.
Cinta kasih yang tulus idealnya menjadi dasar dari semua gerakan kerukunan umat beragama dan moderasi beragama. Kedua gerakan ini hendaknya bukan sekedar formalitas dan hanya berkutat di tataran elit pemuka agama maupun pemerintah, namun mengakar dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat beragama.
Cinta kasih yang tulus akan menafikan persepsi, stigma maupun sentimen negative antar umat beragama. Bagi sebagian komunitas Kristiani, “peristiwa Riyanto” membawa pengaruh yang siginifkan bagi pemahaman terhadap Islam. Jika selama ini Islam diidentikkan dengan teroris dan penyebar ketakukan berbalik 180 derajat.
Dibalik peristiwa ini, gambaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin (kehadirannya di tengah masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta) mengemuka di kalangan Kristiani maupun umat beragama lain.
Kedekatan antara keluarga almarhum Riyanto dengan pihak gereja GSJP hingga saat ini mengingatkan pada pepatah “tak kenal maka tak sayang.” Makin kuatnya pengenalan antar umat Beragama dan keyakinan akan membawa kepada kebersamaan dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini secara perlahan namun pasti akan mengikis sekat dan persepsi negatif antar umat.
Tema natal Nasional 2024 “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem (Lukas 2:15) menggambarkan tentang adanya cinta kasih dan damai sejahtera dalam kesederhanaan sekaligus keterbukaan bagi semua golongan. Jika dikaitkan dengan perisitiwa Riyanto, semangat cinta kasih harus menjadi bagian dari hubungan antar umat di Indonesia.
Cinta kasih akan memampukan kita memahami dan bahu membahu antar umat dalam menghadapi tantangan global dan menyongsong dengan baik bonus demografi. Selamat Natal 2024. Terimakasih Riyanto sudah memberikan pembelajaran berharga bagi kami tentang cinta kasih dan ketulusan.
*Penulis adalah Dosen STTIAA dan Pemerhati Moderasi Beragama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H